Bila Anda berpeluang ke Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, Anda coba bertanya tentang Bapak Matheus Deta Raya. Semua orang pasti tahu, karena pria kelahiran Wainyapu 5 Mei 1945 itu adalah Kepala Desa (Kades) di Desa Waiha, Kodi Balaghar, Sumba Barat Daya. Masyarakat menyeganinya, karena meski hanya tamatan SMP, ia cukup mampu menjalankan tugasnya sebaga Pak Kades, sapaan masyarakat setempat untuknya.
Tapi yang tak kalah membuatnya kesohor adalah kehidupan pribadinya. Ia punya 12 istri yang total memberinya 52 anak, 218 cucu dan 3 orang cicit. Benarkah itu? Ya, demikianlah adanya lelaki tinggi bertubuh gempal yang senang makan sirih seperti kebiasaan masyarakat setempat lainnya.
Menikah 12 Kali Berturut-turut
Matheus belakang hari setelah semakin berumur, ia tinggal bersama istri ke-12 bernama Yusnita Dadi Mema. Sesekali istri keempatnya, Maria Muda Ngila, sering main di situ, karena ia tak punya anak, sehingga ia membagi kasih sayangnya kepada anak-anak Yusnita-Matheus. Uniknya, anak-anak Matheus dari istri-istri yang lain, juga betah tinggal di sana. Jadilah rumah itu seperti asrama tempat penampungan anak-anak. Di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga itu, mereka ada yang ngobrol, bercanda, makan, minum susu atau bahkan bermain,
Di satu sisi, Matheus merasa bangga bisa memperistri 12 orang sekaligus. Tetapi di sisi lain, menyesalinya, karena memberi cap buruk baginya sebagai lelaki lupa daratan. Selain juga tanggung jawab yang disandangnya besar sekali. Ia merasa dikejar-kejar rasa berdosa. Karena itulah kini ia acap bertobat dengan menggelar pesta adat, sekaligus membersihkan kampung dengan memotong 44 ekor ternak kerbau.
Menikah pertama saat umur 20 tahun dengan Maria Wonda Ngura (wafat—Red) pada 1960. Kemudian menikah lagi berturut-turut, satu sampai 2 kali dalam setahun. Mereka adalah Ribka Ra Borak, Tiala Loghe, Maria Muda Ngila, Dorkas Kali Ghoba, Loghe Rehi, Pati Kaka (wafat—Red), Boro Muda (wafat—Red), Boro Gheda, Maria Wora Pati, Maria Wonda Mete dan terakhir Yusnita Dadi Mema. Di antara mereka kakak beradik, yakni istri ke-2 dan ke-6, serta istri ke-4, ke-5 dan ke-7.
Mereka rukun, kompak dan saling menyayangi. Tidak cemburu meski Matheus lebih sering bersama istri ke-12 tahun-tahun terakhir. Mereka bersikap positif kepada Yusnita sejak awal pernikahan. Bahkan istri tertua ikut pergi membayar belis (mahar) saat Matheus mempersuntingnya. Kini tak hanya para istri yang ikhlas menolongnya, tetapi juga anak-anak mereka yang berjumlah puluhan untuk membantu ibu tirinya itu di sawah. Apa sih daya tarik Matheus?
Yusnita, satu-satunya istri yang lulusan SMA, mengaku terpikat pada Matheus karena ia tampan dan gagah, terutama kalau sedang memakai kalambo (berpakaian adat) lengkap dengan selempang dan ikat kepala. Kami semua mencintai dan menghormatinya. Mereka semua mau menenun kain khusus untuk sang suami.
Punya Kiat Tersendiri
Matheus bukan orang kaya raya, tapi ia berusaha memenuhi kebutuhan material dan spiritual ke-12 istrinya. Di awal rumah tangga, istri ke-1 hingga ke-4 tinggal serumah, tapi punya kamar sendiri-sendiri. Matheus mengatur sampai kini ia tidur sendiri di kamar pribadinya. Seiring bertambahnya jumlah istri dan anak, begitu ada uang, ia mendirikan rumah, juga memberi sebidang kebun dan ternak bagi masing-masing istri. Ini semua jadi sumber mata pencaharian bagi tiap keluarganya.
Yang menjadi pertanyaan orang, sebelum berdiri di masing-masing rumah, bagaimana Matheus dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami. Ia menyusun jadwal untuk tiap istri. Ketika giliran ‘piket’, istri tersebut mendatangi kamar Matheus. Kini, setelah berumur, Matheus tak bisa lagi berkeliling menyambangi 8 istri yang masih ada, karena cukup melelahkan. Ia lebih sering di rumah istri ke-12, dan baru berkumpul semua saat ada acara keluarga atau hari besar. Kegiatannya sebagai kepala desa, tiap pukul 5 pagi, berkeliling kampung dengan berjalan kaki, dan kembali ke rumah pukul 7 pagi. Begitu terus.
Rahasia Matheus membuat para istrinya setia adalah, bagaimana ia membuat semua istri merasa diistimewakan. Dicontohkannya, saat tiga istri berkumpul dengannya, kebetulan ia hanya membeli sirih pinang dan 12 batang tembakau. Bila dibagi tiga, masing-masing istri mendapat empat batang. Pemberian yang sepele. Akhirnya sirih pinang itu disembunyikannya.
Dengan sembunyi-sembunyi, Matheus memberi empat batang sirih pinang ke istri yang satu, dengan pesan agar ia tak cerita-cerita kepada istri yang lain. Pesan serupa diulanginya ke kedua istri tersebut, sambil berpesan ‘Jangan bilang ke yang lain ya’ dan ‘Karena aku cinta kau, maka kuberi kau sirih pinang ini. Jangan kasih tahu yang lainnya.’ Hati masing-masing istri merasa berbunga-bunga, lalu bercerita kepada keluarga mereka betapa Matheus lebih mencintai mereka daripada istri-istri yang lain. Padahal cinta Matheus tidak pilih kasih dan membeda-bedakan.
Tak Niat Berpoligami
Meski nyatanya telah 12 kali menikah, Matheus mengaku tak pernah punya niat berpoligami. Semua terjadi karena murni jatuh hati, juga menolong keluarga yang susah, dan juga menambah tenaga kerja untuk menggarap kebun-kebun miliknya. Berhektar tanah, kata Matheus, dapat dikerjakan bersama. Apalagi sekarang masing-masing istri dan anak-anaknya mengurus kebun sendiri-sendiri.
Adakah keingininan Matheus menikah lagi? Ia menolak, karena telah membuat pemulihan atau gelar pesta adat sebagai bentuk pertobatan. Ia merasa capek juga menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu rahasia kejantanannya. Pasalnya, ia tak punya ajimat atau pun ramu-ramuan khusus untuk vitalitasnya sebagai pria. Menurutnya, yang dilakukan selama ini hanyalah menjaga kebugaran fisik dengan berjalan kaki pagi hari, lalu tiba di rumah mandi air dingin. Juga makan cukup gizi dan sayur mayur.
Utamakan Pendidikan Anak-anak
Kini ada 52 anak Matheus dari perkawinannya. Mereka telah besar dan sebagian bisa mencari nafkah sendiri. Tapi sewaktu mereka masih kecil, jumlah anak yang banyak sekali itu tentu memusingkan kepala Matheus. Tapi dari ceritanya, ia tetap optimis. Dan kebetulan fisiknya juga masih kuat, sehingga kuat bekerja keras di kebun. Dasarnya, dia juga tak pernah bisa diam. Selalu saja ada yang dibuatnya untuk menambah penghasilan bagi keluarga.
Meski memiliki banyak anggota keluarga, mereka tak pernah kelaparan. Kebutuhan keluarga selalu tercukupi dengan hasil panen sebanyak 12-15 lumbung padi. Ini yang membuat keluarga mereka bertahan.
Di samping menanam padi sendiri, mereka juga beternak angsa, ayam, babi, kambing dan kerbau. Tidak banyak kawanan ternaknya, tapi cukuplah untuk menghidupi keluarga. Dengan hasil ternaknya, kebutuhan keluarga akan gizi juga dapat dipenuhi. Mereka juga berkebun cendana, jati dan mahoni yang diketahui memiliki nilai jual yang baik. Pengelolaan semua itu tak lagi menjadi tanggung jawab Matheus, tetapi telah diteruskan ‘tongkat estafet’nya kepada anak-anak yang telah besar dan dinilainya mampu menangani pekerjaan berat itu. Anak-anak bertanggung jawab membantu ibu masing-masing.
Sementara gajinya sebagai kepala desa dipegangnya sendiri. Itu ditujukan untuk membiayai kebutuhan keluarga bila terjadi hal-hal yang tidak terduga. Misalnya, ada istri atau anak yang sakit, Matheus yang membiayai pengobatannya.
Perhatian Matheus sendiri saat ini tercurah untuk pendidikan anak-anak keturunannya. Dari 52 anak itu belum ada yang jadi sarjana. Daniel Anaote, anak dari istri pertamanya, pernah kuliah di Kupang, Nusa Tenggara Timur tapi berhenti di tengah jalan. Keinginan Matheus anak-anaknya jadi orang, bekerja dengan baik. Karena itu ia sangat mendukung anaknya, Yusnita Anaote, yang ingin melanjutkan pendidikan dari Sekolah Menengah Kejuruan bidang kesehatan di SMK Pancasila ke perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur. Beberapa anaknya terus bersekolah, di antaranya di Sekolah Menengah Pertama.
Pendidikan anak menjadi prioritas Matheus untuk menjadi generasi yang maju dan tangguh. Ia yakin cita-citanya memperjuangkan pendidikan anak-anaknya akan berhasil. Terlebih jika ia melihat perjalanan hidupnya sendiri. Dia hanya memiliki ijazah SMP, tapi ia mampu memenangkan pilkada sehingga menjadi Kepala Desa selama puluhan tahun. Sebelumnya, ia diangkat menjadi Kades menggantikan ayahnya, Kades Martinus Marum Hemba, yang meninggal dunia saat menjabat. Matheus sendiri waktu itu adalah Sekretaris Desa.
Dengan riwayat dirinya yang beristri 12 orang itu, bagaimana sikap Matheus jika ada di antara anak-anak atau cucunya yang ingin mengikuti jejaknya? Matheus sejujurnya tak berani melarang, tetapi bila ada yang ingin punya istri 1-4 orang, dia meminta mereka mengurus kewajiban membayar belis sendiri. Seperti aturan ayahnya, ia juga melunasi belis untuk pernikahan ke-2 hingga terakhir. Ayahnya hanya membayar belis untuk pernikahan yang pertama. Bila mampu, terserah, katanya. Belis untuk mempersunting istri sebanyak 10 ternak, bisa 5 ekor kuda dan 5 ekor kerbau. (1003)
Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?58398
Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini
Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
_____________________________________________________
Supported by :