KabariNews – Lagu Koes Bersaudara terdengar begitu membahana seantero ruangan ketika kali pertama datang ke rumahnya. Alunan nada seakan-akan memaksa diri mengiringi untuk bernostalgia pada era 60-an di mana pada masa itu Koes Bersaudara berdiri bagaikan bintang yang bersinar terang dalam jagad musik Indonesia. Kesan itulah yang pertama tertangkap dari rumahnya yang terletak di perumahan Pasadena Semarang. Rumah yang sederhana tetapi menyimpan sejumlah harta musik terpendam yang tak ternilai harganya.

Menyinggung soal piringan hitam koes bersaudara berarti kita membicarakan piringan hitam kuno yang sekarang sudah susah untuk ditemukan dan berbicara mengenai piringan hitam berarti membicarakan mengenai kolektor musik lawas. Kota Semarang ternyata memiliki seorang yang giat mengoleksi piringan hitam kuno, kaset dan majalah musik lawas, yaitu Hari joko Santoso.

Dengan koleksi kaset yang berjumlah ribuan ditambah dengan setumpuk piringan hitam dalam keranjangnya sepertinya ia layak menyandang predikat sebagai salah satu kolektor musik Indonesia sepanjang masa yang paling lengkap yang dimililki oleh kota lumpia ini. Album perdana Godbless Huma di atas Bukit atau pun album Badai Pasti berlalu, salah satu karya musik masterpiece yang sekarang mungkin sudah susah untuk dicari bahkan di pasar barang loakan sekalipun, di kediamanannya itu terjejer rapi dengan sedereten album Titik Puspa dan album piringan hitam tahun 1960-an dan 1970-an lainnya. Kedua album tersebut hanyalah dua diantara sekian banyak kaset dan piringan hitam langka yang dimilikinya.

Saat ditanya mengenai aktivitas hobinya dalam mengoleksi kaset ayah tiga orang anak ini menjawab, ”Hobi orang kan bermacam-macam, ada yang suka judi, ada yang suka bermain wanita, namun saya lebih suka mengumpulkan kaset-kaset lama atau piringan hitam karena dibalik itu semua ada sensasi tersendiri ketika mendengarkan kembali kaset-kaset lama”katanya. Dan ia pun mengakui di saat dirinya mendengarkan kaset-kaset lawas, ia merasa energi yang terpantulkan dari kaset tersebut merasuk ke dalam dirinya, Alhasil membuat dirinya kembali menjadi lebih fresh dan berenergi, rasa penat dan rutinitas kerja yang dilakukannya sehari-hari seakan-akan sirna oleh lagu-lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi lama. Selain itu alasannya mengkoleksi kaset dan PH kuno karena ingin mendokumentasikan perjalanan sejarah dunia permusikan negeri ini.

Aktivitas hobinya dalam mengoleksi kaset sudah ia jalani belasan tahun. Bermodalkan atas informasi grup-grup musik dari majalah-majalah lawas yang dimilikinya, misalnya Aktuil, Top atau majalah sejenisnya dan pengalamannya sebagai seorang musisi lokal, perlahan tetapi pasti, tanpa ada minat berlebih barang itu harus segera ingin ia miliki, lantas Ia pun mencari kaset-kaset tersebut. Album–album rekaman itu didapatkan dari hasil penjelajahan di pasar loak. Tidak jarang saat di berburu kaset lama tersebut, ia mendapatkan bonus barang antik lainnya, seperti radio tape kuno yang masih cukup bagus untuk dipakai atau gramaphone untuk memutar piringan hitam.

Selain Hari mempunyai kaset-kaset yang terpajang rapi dalam salah satu sudut rumahnya, ia juga mempunyai beberapa pemutar piringan hitam atau gramaphone. Kondisi fisiknya memang sudah renta tetapi suara yang keluar masih terdengar jernih di telinga, “Gramaphone ini saya cari di sekitaran Semarang saja, tidak di tempat lain” kata dia. Gramapohe yang dimilikinya diproduksi pada kisaran tahun 1940-an.

Prestasi tersendiri bagi barang produksi lawas yang bisa bertahan menembus beberapa dekade waktu tapi masih dalam kondisinya yang prima. Dia menambahkan sudah sangat jarang sekali barang-barang seperti ini dijual di toko-toko dan faktor kebetulan kadang-kadang menjadi hal yang menentukan. Soal harga dari pemutar piringan hitam yang dimiliki ia mendapatkan barang-barang tersebut dengan harga yang terjangkau atau tidak terlalu mahal dan barang itu Ia dapatkan dari daerah semarang dan sekitarnya. “Saya lupa berapa harganya waktu saya beli” kata dia.

Suasana rumahnya terasa sangat jadul dan memaksa kita untuk kembali menerawang ke masa lalu disaat ia menyetel kembali lagu-lagu dari piringan hitam yang didendangkan penyanyi Tety Kadi dan Lilies Suryani. Ia berkata pernah ada seseorang tamu yang berasal dari luar kota berkunjung ke rumahnya sekedar hanya untuk bernostalgia mendengarkan suara penyanyi dari dekade 1960a-an. Dengan suguhan kopi hangat ditambah beberapa batang puntung rokok yang siap disulut, alunan lagu pun diputar.” Tamunya itu betah sampai pukul 2 dini hari, saya pun hanya bisa menemaninya” kata dia.

Hobinya ini tentunya tidak dapat berjalan lancar apabila tidak didukung oleh sang istri tercinta, ”Ruangan kasetnya ini dulunya tidak seperti ini, tadinya ruangan ini adalah tempat menjahit istri saya, dan kaset-kaset dibiarkan begitu saja di kardus-kardus, tetapi karena kasihan sering melihat saya membongkar-bongkar kardus apabila ada teman datang yang ingin melihat koleksi saya, maka dibuatlah ruangan ini khusus untuk kaset”, ujar Hari.

Selain kesibukannya sebagai kolektor kaset, ia juga tercatat sebagai pegawai Dispenda Jateng, selain itu ia juga menjadi anggota grup musik J-Plus, band spesialis pembawa lagu-lagu koes bersaudara atau pun koes plus. Hari pun pernah memperkuat jajaran formasi kelompok musik Congrock 17 dari Semarang, grup musik spesialis pembawa musik keroncong yang telah dimodifikasi, tetapi sekarang posisi hanya sebagai koordinator grup musik tersebut.

Congrock 17 itu sendiri kehadirannya dalam dunia musik lokal Semarang cukup fenomenal karena dalam perjalanan karirnya pernah pentas mengiringi presiden RI SBY dalam rangka menyambut kemerdekaan RI ke-6 dan pergi ke tur ke Eropa bareng Titik Puspa, serta mendapatkan anugerah MURI sebagai grup musik yang konsisten dengan ideom musiknya sendiri dan terus bereksistensi selama lebih kurang 25 tahun dalam dunia musik keroncong Indonesia. (1009)