Chio Thau

Sumringah sudah wajah yang terpancarkan oleh Pegi di sabtu pagi itu (24/4), pasalnya hari itu dia akan melepaskan masa lajangnya dengan menikahi Devi. Bertempat di Gedung Pertemuan Hengki , Kampung Melayu- Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, keduanya akan mengikatkan diri sehidup semati sampai maut datang menjemput. Layaknya proses pernikahan lainnya yang didahuli dengan beberapa tahapan proses, mereka pun melakukan hal yang sama hanya saja ada satu yang menarik dari acara pernikahannya ini. Mereka menggunakan tradisi pernikahan Chio Thau khas Cina Benteng. Boleh dikatakan tradisi pernikahan ini sudah jarang dilakukan.  “Ya sudah jarang tapi karena keluarga kita asli Cina Benteng yang sudah lama tinggal disini, jadi ya kita lakukan pernikahan Ciao Tao” kata salah satu kerabat keluarga mempelai kepada Kabari yang turut serta dalam acara pernikahan itu.

Chio Thau-1

Upacara Chio Thau adalah upacara pernikahan tradisional Peranakan lengkap dengan segala pernak-pernik upacara yang menyertainya.  Upacara Chio Thau ini berasal dari daerah Fujian Selatan (Minnan) semasa periode dinasti Qing (1644-1911), dan mungkin sudah tidak diketemukan lagi di Tiongkok, setelah terjadinya dua revolusi besar di sana. Revolusi Xin Hai 1911, yang menyingkirkan semua produk budaya zaman Qing, dan Revolusi Kebudayaan 1966-1976, yang menghancurkan semua produk budaya yang dinilai feodalistik dan kapitalistik.

Di kalangan Peranakan di Indonesia (Tangerang, Padang dan Makassar) dan juga di Malaysia (Melaka, Pulau Pinang-Singapura), upacara perkawinan tradisional Chio Thau terselamatkan dari kepunahan, karena kaum Peranakan tidak terlalu terpengaruh oleh segala pergolakan politik yang terjadi di Tiongkok, dan hanya memandang upacara pernikahan tradisional Chio Thau sebagai pusaka budaya warisan kakek-moyang mereka yang harus mereka pertahankan mati-matian sebagai identitas budaya mereka.

Disebut Chio Thau karena mempunyai arti yaitu ‘mendandani rambut/kepala’ (to dress the hair), bukan ‘naik ke kepala’―karena, dalam bagian terpenting upacara ini, di atas sebuah tetampah besar warna merah terlukis yin-yang dan menghadap sebuah gantang (dou, tempat menakar beras), pengantin (laki-laki dan perempuan) disisiri oleh ibunya sebanyak tiga kali; setiap sisiran dibarengi dengan doa-doa tertentu: misalnya: sisiran pertama agar si pengantin diberi jodoh yang panjang, sisiran kedua: banyak rejekinya, sisiran ketiga: anak-anaknya semua menjadi orang yang membanggakan, dan sebagainya.

Alur pernikahannya sendiri terdiri atas beberapa bagian, prosesi pertama dilakukan oleh mempelai pria dengan melakukan sembayang di altar yang bernama sembayang Allah, setelah melakukan prosesi ini pengantin pria kemudian menuju altar lainnya yang bernama sembayang luhur. Disana mempelai pria rambutnya akan disisir oleh saudara kandungnya. Sambil mengharapkan  agar panjang umur, berbakti kepada orangtua, dan lain-lain. Tak lama kemudian datanglah sanak famili keluarga dari pengantin pria untuk memberikan sumbangan ke tempat yang telah disediakan tak jauh dari tempat duduk pengantin pria. Sumbangan berupa uang itu dinamakan uang pelita.

Chio Thau-2

Setelahnya, pengantin pria akan memakai jas dan topi khas kapiten cina. Setelah pakaian berganti, pengantin pria lalu melangkah lagi ke tempat sembayang Allah. Balik lagi ke tempat sembayang luhur, disana penganitn pria akan diberikan air oleh orang tuanya. Kemudian pengantin pria akan digiring ke tempat makan yang khusus disediakan. Disana telah menyambut 12 mangkok makanan dengan aneka hidangannya.

Pengantin pria akan duduk bersama saudara kandungannya yang belum menikah dengan ditemani kedua orsang tua yang berdiri di samping anak-anaknya. Orang tuanya akan menyuapi anak-anaknya termasuk pengantin pria. Makan 12 mangkuk hidangan yang memiliki filosofi bahwa tiap bulan memiliki rasa berbeda-beda, ada asam, manis, pahit, asin, dan lain-lain. Apapun yang terjadi dalam kehidupan harus diterima dan tabah menghadapi pelbagai cobaan hidup. Pengantin disuapi nasi melek yang filosofinya sadar akan hakikat hidup dan tidak boleh menggantungkan hidup kepada orangtua. Suapan ini dilakukan oleh orangtua.

Setelah  semua prosesi dilakukan oleh pengantin pria, kini giliran pengantin wanitanya. Untuk pengantin wanita kurang lebih akan melaksanakan prosesi serupa. Untuk uang pelitanya, sanak keluarga dari keluarga perempuan yang akan menyumbangkan sejumlah uang kepadanya. Nah, Setiap prosesi yang dilakukan oleh pengantin pria dan wanitanya akan diiringi oleh irama terompet kawin dan suara tabuhan gendang yang dimainkan oleh beberapa orang. Irama dan tabuhan itu mengiringi setiap prosesi, kecuali untuk sisir rambut dan makan 12 mangkok. “Gak ada irama khusus, iramanya sih buat setiap proses sama semuanya dan pasti kalau ada pernikahan seperti ini pasti ada bunyi terompet ini” kata Hery, peniup terompet. Prosesi pernikahan  dilanjutkan secara simbolis yang dilakukan oleh mempelai wanita dengan cara membuka kancing pakaian mempelai pria. Sedangkan mempelai pria mengambil kembang goyang yang menghiasi kepala mempelai wanita.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?66053

Untuk melihat artikel Nusantara lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

intero