KabariNews – Yayasan Lontar terkenal sebagai penerbit karya sastra bermutu dari sastrawan ternama Indonesia. John H. McGlynn, sarjana sastra lulusan Universitas Wisconsin, Madison, Amerika konsisten menjadi penerjemah karya sastra masterpiece Indonesia. Di antaranya, The Mute’s Soliloquy karya Pramoedya Ananta Toer, hingga puisi indah Sapardi Djoko Damono, Before Dawn. Kabari mewawancarainya khusus untuk Anda!

John di acara Indonesian Publishers di Frankfurt Bookfair 2014

John di acara Indonesian Publishers di Frankfurt Bookfair 2014

Dengan hangat, John McGlynn menyambut kehadiran KABARI di ruang kerjanya di kantor yang terletak di Jl Danau Laut Tawar No 53A, Pejompongan, Jakarta Pusat. Tahun ini di usianya ke-63 tahun, ia masih tetap energik dan penuh semangat memberi makna bagi dunia sastra yang menjadi kecintaannya. Ia terus gigih bergulat menangani karya-karya sastra dari Indonesia.

“Tahun ini Yayasan Lontar rencananya akan menerbitkan buku-buku terjemahan puisi yang terdiri dari 350 sajak, 100 cerpen dan 100 cerpen. Kami melakukan kontrak dengan 100 pengarang. Jadi, bisa dibayangkan!” John memulai obrolan santai hari itu.

John, sapaannya, mulai berkenalan dengan Indonesia pada dekade 1970-an. Pria kelahiran 1952 itu berasal dari keluarga petani di Cazenovia, Wisconsin, Amerika. Pada awal 1970 ia kuliah di Universitas Wisconsin, Madison, mengambil jurusan Seni Desain dan Teater. Waktu berjalan, pada 1973, ia merasa lebih tertarik, lalu pindah ke jurusan Asia Tenggara.

Kebetulan salah satu dosennya di kampus mempunyai wayang kulit dari Indonesia. John sangat tertarik, lalu ia mengangkat wayang kulit sebagai proyek tugas kelas. Ia membuat wayang kulit versi Amerika dari bahan fiberglass, sedangkan tokoh wayangnya mengangkat figur-figur yang di legenda barat.

Namun, proyek itu terkendala bagaimana John memainkan wayang tersebut, atau menjadi dalang. Akhirnya ia mencari dalang dan berhasil menemukan seniman itu di Seattle. Ia pergi langsung ke kota itu untuk menemui dan belajar lebih dalam tentang budaya Indonesia.

Setelah pertemuan dengan seorang dalang yang mengajar di Seattle, pada 1976 John mengambil keputusan untuk pergi ke Indonesia. Sebelum ke sana ia belajar bahasa Indonesia secara itensif dulu. Kemudian ia mendapatkan beasiswa dari US Department of Education, lalu berangkat ke Malang, Jawa Timur. Tiga bulan ia tinggal di sana. “Sesudah itu seharusnya saya ke Yogyakarta untuk belajar wayang, tetapi pada akhir 1976 saya pindah ke Jakarta, lalu belajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia (UI),” lanjut John.

Dari UI, John bertemu sejumlah tokoh sastra Indonesia, seperti Sapardi Djoko Damono yang kemudian menjadi sahabatnya sekaligus memperkenalkannya dengan banyak sastrawan Indonesia lainnya.

Dari situ John sering diminta bantuan oleh para sastrawan untuk menerjemahkan karya-karya mereka. Pada 1979 ia kembali ke Amerika untuk menyelesaikan gelar Master di bidang Sastra Indonesia di Universitas Michigan, Ann Arbor dan kembali lagi ke Indonesia pada 1981.

Pada periode 1976 – 1987 John bekerja sebagai penerjemah lepas di banyak tempat. Dari U.S. Department of State, Perusahaan Film Negara, Dewan Film Nasional, Kementerian Penerangan, survei ekonomi, dan analisa politik. Masa itu John banyak bertemu dengan politikus Indonesia dan pernah bekerja sebagai penerjemah Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selama enam tahun. Namun, menerjemahkan tulisan berbau ekonomi sangat membosankan baginya.

Mendirikan Yayasan Lontar

Buku karya Lontar di Lontar’s 25th Anniversary, Ubud, Bali.

Buku karya Lontar di Lontar’s 25th Anniversary, Ubud, Bali

Pada 1985, Sapardi, dosennya di UI terpilih menjadi pemenang SEA Write di Thailand mendatanginya. Ia memintanya untuk menerjemahkan kumpuluan puisinya. Kebetulan jurnalis dan sastrawan Goenawan Mohamad memberikan dana sedikit untuk menerbitkan. Untuk urusan ini, John pun sering bertemu dengan mereka. Timbul pertanyaan, mengapa tidak ada lembaga penerjemah karya sastra ke dalam bahasa asing? Di luar negeri banyak sekali lembaga serupa itu yang hidup dengan dibiayai oleh pemerintah.

Dari sanalah terpecik ide untuk mendirikan lembaga seperti itu. Goenawan (Susatyo) Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo dan John H. McGlynn bersatu kata, mendirikan Lontar pada 28 Oktober 1987. Tujuan pendirian untuk menerjamahan karya sastra Indonesia sekaligus mempromosikan sastra dan kebudayaan Indonesia ke dunia luar.

Lontar dipilih, karena nama ini memiliki arti istimewa dalam budaya Indonesia. Sejarah berkisah, dunia tulis menulis Indonesia dimulai dengan memakai daun lontar yang dikeringkan, dipotong, dan diawetkan sebagai bahan mentah menulis manuskrip literer. Selain itu lontar juga berarti melempar atau melontarkan gagasan-gagasan kebudayaan Indonesia ke dunia luar. Tanggal 28 Oktober dipilih karena bermakna simbolis Hari Sumpah Pemuda, memperingati momentum lahirnya bangsa Indonesia pada 1928 dengan ikrar ‘Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.’

John mengatakan, untuk Lontar bertahan sebagai lembaga non-profit tidaklah gampang. Tahun pertama berdiri, John masih kerja freelance untuk menyambung hidup. Pada 1990-an Lontar mendapat kucuran dana dari Ford Foundation, karena pada 1991 diadakan Festival KIAS di Amerika Serikat dan memberikan dana untuk menerjemahkan beberapa buku. Dari situ John mulai bekerja full time di Lontar, dan tak perlu mencari kerja di luar.

Buku - Illuminations Buku - KrakatauDalam rentang 28 tahun Yayasan Lontar, kini baru 200 buku yang diterbitkan. Namun, di dalam dua ratus buku itu ada banyak seri drama yang diterjemahkan, pun juga puluhan sandiwara. “Jadi, Jumlah 200 buku itu tidak mencerminkan hasrat karya secara keseluruhan,” ujar John, penuh semangat.

Pada tahun 1991 Yayasan Lontar pernah melakukan survei di perpustakaan-perpustakaan utama dunia yang memiliki arsip manuskrip-manuskrip Nusantara. Hampir 1.000 bentuk manuskrip Indonesia berhasil dilacak pada waktu itu. Yayasan Lontar juga mengumpulkan esai-esai hasil karya para ahli atau peneliti dari dalam dan luar negeri mengenai tradisi tulis di Indonesia.

Puncak kegiatan proyek ini adalah penerbitan buku berjudul Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia yang disusun dan disunting oleh Ann Kumar dan John McGlynn, berisi tentang kumpulan esai dan foto-foto manuskrip Nusantara. Selain itu Lontar juga pernah menerbitkan empat jilid Antologi Drama Indonesia. Terdapat 34 naskah dipilih untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam 3 jilid The Lontar Anthology of Indonesian Drama. Keduanya terbit pada 2010.

Menerjemahkan Karya Sastra Bukan Proses Instan

Bagi John yang telah menerjemahkan atau mengedit hampir 100 karya penulis Indonesia, masing-masing karya sastra, baik cerita legenda, puisi, maupun novel memiliki tantangan tersendiri. Namun itu bisa diatasi asalkan sang penerjemah memiliki kemampuan menulis yang baik. Ditambah juga dengan kemampuan mengalihkan konsep dasar dari sebuah karya ke wadah baru, dan itu berarti sebuah proses penciptaan karya baru. John tidak memungkiri karya terjemahan tidak bisa 100% akurat menuangkan gagasan di karya asli, karena perbedaan bahasa.

Mantan editor Indonesia untuk Manoa, jurnal kesusastraan dari Universitas Hawaii ini, menekankan, terjemahan bukanlah saduran atau ditulis ulang. Kadang-kadang, menurutnya, ada karya yang lebih baik disadurkan, terutama jika tulisan bahasa dalam karya aslinya kurang sempurna. Sering ditemukan terbitan buku seperti itu, dan belum tentu diedit dengan baik pula.

John dalam Lontar’s Board Meeting 2014

John dalam Lontar’s Board Meeting 2014

Lantas, bagaimana dengan proses waktu menerjemahkan karya sastra? Untuk menerjemahkan novel ratusan halaman rata-rata memakan waktu kira-kira satu tahun. Kata John, menerjemahkan adalah proses yang tidak instan. Sangat berbeda dari terjemahan di google translate. “Dalam prosesnya, naskah dibuat menjadi beberapa draft, biasanya terdiri atas tiga atau empat draft. Sebagai catatan, dalam membuat draft pertama, belum berarti kita langsung ke draft kedua, sebab kita harus melupakan karya aslinya. Intinya, kita sedang membuat karya yang baru,” lanjutnya.

Ditambahkan John lagi, karya sastra yang paling sulit diterjemahkan adalah puisi. Proses penerjemahannya dapat memakan waktu lama, bahkan sampai berbulan-bulan. Apalagi jika ada kata yang tidak bisa diterjemahkan, di mana penuh dengan konsep yang bagi bahasa Inggris itu asing. Misalnya, puisi eksperimental dalam bahasa Indonesia, tidak bisa sama dituangkan ke dalam bahasa Inggris.

Akan halnya dengan jenis-jenis karya sastra Indonesia juga memberi John tantanga tersendiri. Sebuah zaman dengan bahasa yang berlaku di zamannya tentu berbeda dari masa kini. Bahasa Indonesia sangat cepat berkembang, berbeda dari bahasa Inggris.

“Dua abad lalu bahasa Inggris sudah baku. Kalau membaca karya Abad 19 tidak jauh berbeda dari bahasa Inggris sekarang. Tetapi sastra Indonesia di Abad 19 yang masih dominan dengan Bahasa Melayu lain sekali dengan yang sekarang. Jadi, harus menggunakan siasat tertentu, yakni mencari kata-kata dalam Bahasa Inggris yang dipakai waktu itu dan harus disesuaikan dengan zamannya,” urai anggota Komisi Internasional di IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) ini.

Banyak orang Indonesia yang memuji karya terjemahannya. Sapardi Djoko Damono memuji terjemahan kumpulan puisi-puisinya periode 1961-2001 (40 tahun) yang diterjemahkan John McGlynn ke bahasa Inggris dengan judul Before Dawn merupakan buku terjemahan terbaik yang pernah diketahuinya. Penerjemahan puisi-puisinya itu hampir tanpa mengalami perubahan makna. Goenawan Mohamad, yang juga penyair dan esais ternama, mengakui karya McGlynn sebagai hasil karya cinta, bahwa McGlynn sangat fokus pada cita-cita Lontar memperkenalkan sastra Indonesia kepada dunia.

Bagaimana respons orang luar membaca karya terjemahannya? Menurut John, buku yang dihargai para kritikus sastra belum tentu laku di pasar. Dicontohkannya, terjemahan buku Pram banyak menuai pujian dan penghargaan. Akan tetapi penjualan untuk karya tersebut tidak naik untuk ukuran buku The Best Seller. “Mungkin karena taste yang berbeda antara buku Pram yang serius dengan buku Laskar Pelangi, misalnya,’ kata John.

Ditambahkan John, Lontar tak pernah ‘bermain’ di ranah novel yang ringan, melainkan menerjemahkan karya sastra yang sudah dinilai oleh kritikus. “Tujuan utama Lontar adalah memperkenalkan Indonesia melalui sastra. Untuk mencapai tujuan itu, kami harus menerjemahkan karya klasik dengan fokus karya sastra kontemporer agar sastra Indonesia bisa diajarkan di sekolah atau universitas di luar negeri dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris,” pungkas John. (1009)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/76971

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln

 

 

 

 

kabari store pic 1