KabariNews –   Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong berkirim surat secara khusus kepada Pemerintah Prancis untuk membantu membatalkan rencana Parlemen Prancis memberlakukan pajak (tax) minyak kelapa sawit mulai 2017 yang dinaikkan secara progresif. Pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen No.367 seperti yang diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Prancis pada 21 Januari 2016 dianggap telah melanggar prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO) dan General Agrement on Tariff and Trade (GATT) Tahun 1994. Demikian ditegaskan Mendag Tom menanggapi rencana pemberlakuan pajak produk minyak kelapa sawit dan turunannya ini.

“Saya paham, ini adalah wewenang Parlemen Prancis, namun saya meminta Pemerintah Prancis untuk tidak mengadopsi Amandemen No.367. Sebaliknya, saya meminta Pemerintah Prancis agar dapat bekerja sama dengan Indonesia untuk mengatasi masalah yang terjadi di Prancis yang berkaitan dengan minyak kelapa sawit,” kata Mendag Thomas Lembong seperti dilansir dari siaran pers Kemendag, Jumat,  (5/2).

Menurut Mendag, penerapan pajak minyak kelapa sawit dan turunannya akan melanggar prinsip perlakuan nasional dan nondiskriminasi WTO dan GATT Tahun 1994. “Hal ini akan menciptakan diskriminasi harga dan akan merugikan Indonesia. Saya kirim surat agar Pemerintah Prancis dapat membantu membatalkan rencana tersebut,” ujar Mendag.

Menurut pria yang akrab disapa Tom Lembong ini, jika rencana itu diberlakukan, harga minyak kelapa sawit Indonesia tidak akan kompetitif. “Pada akhirnya industri makanan di Prancis dan negara-negara Uni Eropa akan mengganti minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya yang harganya lebih murah,” ungkap Mendag Tom.

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Secara langsung dan tidak langsung, sektor kelapa sawit menyerap 16 juta tenaga kerja di Indonesia dan memberikan kontribusi sebesar 1,6% terhadap PDB Indonesia. Sekitar 61 kota di Indonesia, termasuk kota-kota kecil, hidup dari sektor minyak kelapa sawit. Selain itu, pendapatan ekspor Indonesia dari komoditas ini mencapai sekitar USD 19 miliar per tahun.

“Mengingat peran strategis sektor minyak kelapa sawit dalam perekonomian, perlakuan diskriminatif di pasar ekspor akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi, sosial dan politik yang telah dibangun dan dipertahankan dengan susah payah sejak awal 2000-an,” imbuh Mendag.

Mendag Tom menjelaskan bahwa pada Undang-Undang Keanekaragaman Hayati yang akan berlaku di awal 2017, Pemerintah Prancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar EUR 300 per ton pada 2017, kemudian naik menjadi EUR 500 per ton pada 2018, meningkat menjadi EUR 700 per ton pada 2019, serta naik menjadi EUR 900 per ton pada 2020.

Padahal The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Artikel III:2 telah mengatur bahwa produk impor, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak dapat dikenakan pajak internal atau biaya internal lainnya seperti produk dalam negeri. Sementara itu, pada GATT Artikel XX memungkinkan negara anggota WTO untuk mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman, namun penerapannya tidak boleh memberikan pembenaran terhadap diskriminasi, atau pun pembatasan perdagangan internasional.

Menurut Mendag, jika penerapan amandemen tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan, langkah ini juga dinilai tidak tepat. “Indonesia telah mengambil kebijakan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (The Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan dan tidak memberikan kontribusi terhadap deforestasi dan perubahan iklim,” kata Mendag Tom.

Tidak hanya itu, industri minyak kelapa sawit Indonesia juga berpartisipasi dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk memastikan minyak kelapa sawit Indonesia diproduksi sesuai standar untuk keberlanjutan.

Sedangkan jika terkait dengan isu kesehatan, Mendag memastikan hal itu tidak tepat. Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi asam lemak jenuh dari minyak kelapa sawit tidak menyebabkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. “Jika ada pengaturan terkait konsumsi lemak jenuh, maka harus ditargetkan pada seluruh produk makanan yang mengandung lemak jenuh, baik minyak kelapa sawit, minyak nabati lainnya, atau lemak hewan,” imbuh Mendag.

Mendag Tom sekali lagi menegaskan bahwa Pemerintah akan selalu berupaya untuk melindungi akses pasar produk Indonesia. “Pemerintah Indonesia akan melakukan segala upaya untuk melindungi dan menjaga kepentingan akses pasar produk Indonesia di luar agar tidak mendapat hambatan,” pungkas Mendag. (1009)