Presiden terpilih nantinya harus mampu melakukan rekonfigurasi hutan Jawa untuk melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa dan perluasan ruang kelola rakyat untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan.

Rekonfigurasi hutan Jawa harus dimulai dari perubahan paradigma dengan memaknai hutan sebagai satu kesatuan utuh, tidak hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu ataupun non kayu. Rekonfigurasi hutan Jawa juga memerlukan perubahan paradigm pada tataran pengelolaannya, dari hanya sekedar bisnis lahan maupun pengusahaan hutan, dikembalikan menjadi pengelolaan hutan yang tidak sekedar lahan dan tidak sekedar pengusahaan. Proses perubahan paradigm pengelolaan hutan Jawa seharusnya juga dimulai dengan merevisi Undang-Undang Kehutanan sebagai dasar kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia.

“Tata ulang terhadap persoalan tata kuasa atas lahan hutan Jawa mendesak untuk dilakukan, mengingat dalam satu dekade terakhir ini banyak terdapat konflik lahan yang telah menimbulkan korban jiwa,” kata Nurul Firmansyah, Koordinator Program, Perkumpulan HuMa Indonesia pada Diskusi dan Launching Roadmap “Rekonfigurasi Hutan Jawa (Sebuah Peta Jalan Usulan CSO)”. Nurul menambahkan “Pengurusan hutan jawa kedepan harus merubah paradigma. Dari kehutanan berbasis komoditas menjadi kehutanan sosial. Akses dan kontrol masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan menjadi elemen penting”

Perkumpulan HuMa Indonesia (2013) mencatat, dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 konflik terjadi di Jawa, yang hutannya diurus oleh Perum Perhutani. Sementara itu, dalam catatan ARuPA dan LBH Semarang, dalam satu dasawarsa terakhir ini Perum Perhutani telah menganiaya, mencederai dan menembak setidaknya 108 warga desa di sekitar hutan yang diduga/dituduh mencuri kayu atau merusak hutan. Dari jumlah tersebut, 34 diantaranya tewas tertembak atau dianiaya petugas keamanan hutan dan 74 orang lainnya luka-luka. Dari 64 kasus penganiayaan dan penembakan tersebut, sebagian besar diselesaikan tanpa proses hukum.

“Negara seolah-olah absen dan tidak pro aktif membantu warga Negara yang mengalami ketidakadilan dan kemiskinan kronis,” tutur Ronald Ferdaus dari Arupa mewakili Koalisi Pemulihan Hutan Jawa (KPH Jawa).  Ketidakberdayaan Negara makin terlihat ketika 17 warga Kecamatan Bantarsari, Cilacap, Jawa Tengah ditangkap Polres Cilacap pada 7 November 2013 lalu dengan tuduhan “menebang pohon atau memanen atau mengangkut hasil hutan tanpa ijin”. Mereka divonis dengan Pasal 50 ayat (1), 3 jo 78 UU 41/1999 tentang Kehutanan. 15 (lima belas) diantaranya dipenjara 6 (enam) bulan, 2 (dua) sisanya divonis 8 (delapan) bulan penjara.

“Padahal lahan tersebut sudah kami garap sejak zaman penjajahan. Pemerintah belum pernah mengambil alih atau membeli lahan tersebut dari warga, karena sampai detik ini pun kami tidak pernah menerima uang pembelian atau ganti rugi. Sudah 8 tahun kami mengurus penukaran tanah namun tidak pernah bisa selesai,” cerita Sugeng, dari organisasi tani – SeTAM, Cilacap. “Kami berharap pengelolaan hutan Jawa di masa depan tidak memenjarakan masyarakat”, tambah Sugeng

Langkah penting yang harus dilakukan menuju realisasi rekonfigurasi hutan Jawa adalah dengan merekonstruksi kebijakan mulai dari UU sampai Peraturan Pelaksana. Di ranah UU, perlu untuk mengganti UU No. 41 /tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU yang baru. Penggantian ini setidaknya merevisi Pasal 6 ayat (1) terkait dengan pengklasifikasian hutan menurut fungsi konservasi, lindung dan produksi. Dan di ranah Peraturan Pemerintah, perlu untuk mencabut PP No. 72 Tahun 2010 tentang Perum Perhutani, yang menjadi sumber masalah hutan Jawa. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?67482

Untuk melihat artikel Sana-Sini lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
____________________________________________

Supported by :

Hosana