KabariNews – Proses peradilan yang berdampak besar bagi jutaan orang yang menanti akses obat Hepatitis C dengan harga terjangkau telah dimulai di India pada hari Jumat (26/2) lalu. Kantor Hak Paten India memulai peradilan untuk menentukan apakah Gilead Sciences, sebuah perusahaan farmasi dari Amerika Serikat, berhak memiliki hak paten atas sofosbuvir, obat hepatitis C yang saat ini dijual oleh perusahaan tersebut di Amerika Serikat seharga US$1000 untuk setiap butir pil.

Peradilan ‘oposisi paten’ tersebut diajukan oleh beberapa pengacara dari Initiative for Medicines, Access & Knowledge (I-MAK) pada bulan November 2013 bersama dengan Delhi Network of Positive People (DNP+).  Dalam tuntutannya, para pengacara tersebut berargumen bahwa sofosbuvir adalah “pengetahuan sains lama,” dan tidak memenuhi standar yang dibutuhkan untuk memperoleh hak paten di India. Organisasi kemanusiaan medis internasional Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas (MSF), yang mengandalkan obat-obatan generik untuk kegiatan medisnya di seluruh dunia, mendukung upaya ini untuk menjamin tersedianya produksi sofosbuvir generik. Hak paten untuk sofosbuvir telah ditolak di Mesir, China dan Ukraina, dan oposisi paten juga telah diajukan di Argentina, Brazil, Rusia, Thailand dan Uni Eropa.

Para pengunjuk rasa yang sebagian besar adalah pasien hepatitis C dan HIV mengadakan demonstrasi di luar kantor hak paten Delhi untuk mendesak para pejabat kantor tersebut agar tidak menyerah terhadap tekanan yang dialami pemerintah India untuk memberikan hak paten secara cepat dan membabi buta kepada perusahaan obat multinasional. India terus-menerus mengalami tekanan berat dari perusahaan-perusahaan semacam itu serta dari pemerintah AS untuk melonggarkan kebijakan patennya demi menjamin agar perusahaan-perusahaan tersebut lebih mudah mendapatkan hak paten.

“Gilead memasang harga yang sangat tinggi di banyak negara dan memakai hak paten untuk menghalangi orang-orang di negara lain membeli versi lain obat ini dengan harga rendah dan efektivitas sama,” demikian dinyatakan Loon Gangte dari DNP+. “Ini artinya penjatahan global. Saya merasa seperti masih berada di masa-masa awal perjuangan memperoleh perawatan HIV, di mana hidup atau matinya seseorang tergantung pada di mana dia tinggal.”

Gilead meluncurkan sofosbuvir di akhir tahun 2013 dengan harga of $1000 per pill ($84.000 untuk perawatan selama 12-minggu) di AS, dan mengenakan harga yang sama tingginya di berbagai negara berkembang lainnya. Gilead memiliki perjanjian lisensi dengan beberapa produsen di India yang telah mulai mengembangkan dan memasarkan versi generiknya, namun perjanjian tersebut tidak mencakup sejumlah negara berpenghasilan-menengah yang memiliki jumlah kasus hepatitis C sangat tinggi. Artinya, sekitar 49 juta orang di negara-negara semacam ini, yaitu mewakili lebih dari 40% kasus hepatitis C di dunia, tidak memiliki akses atas obat tersebut.

“Gilead ingin dunia menganggap bahwa perjanjian lisensi mereka telah memecahkan masalah akses obat ini secara global, tetapi hari ini negara-negara seperti Thailand, Malaysia dan Brazil diminta membayar ribuan dolar untuk membeli sofosbuvir dari Gilead, sementara versi generik buatan India sudah tersedia dengan harga hanya $335 per 12-minggu perawatan,” kata Tahir Amin, pengacara dan salah satu pendiri I-MAK. “Perjanjian lisensi ini adalah cara Gilead mengendalikan pesaing mereka di India, dan merupakan upaya untuk meyakinkan kantor paten bahwa mereka berhak atas paten dari senyawa yang didasarkan pada sains lama.”

Diperkirakan bahwa 150 juta orang di seluruh dunia terinfeksi virus hepatitis C, dan 700.000 orang meninggal karena virus ini setiap tahunnya. Bila tidak diobati, virus ini dapat menyebabkan cirrhosis dan kanker hati. Perawatan sebelumnya hanya berhasil menyembuhkan setengah dari pasien dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak bisa ditolerir, sedangkan Sofosbuvir dan ‘antivirus tindak-langsung’ lainnya kini dapat menyembuhkan pasien dalam waktu hanya 12 hingga 24 minggu. Akan tetapi karena harga yang sangat tinggi, banyak orang di negara kaya maupun negara miskin yang tidak dapat memperoleh pengobatan ini.

“Gilead menyatakan bahwa harga obat ini didasarkan pada nilai yang diberikannya, tetapi pengobatan yang tidak terjangkau oleh setiap orang adalah hal yang sia-sia,” kata Dr. Isabelle Andrieux-Meyer, Viral Hepatitis Advisor di MSF. “Kami telah mulai merawat penderita hepatitis C di beberapa negara, dan kami ingin mengembangkan upaya ini, tetapi kami hanya dapat meyakinkan pemerintah untuk melakukan hal tersebut apabila ada akses dengan harga terjangkau di manapun orang membutuhkan. Hak paten dan perjanjian lisensi terbatas tidak boleh menghalangi upaya negara-negara berpenghasilan menengah untuk menyediakan pengobatan yang dibutuhkan rakyatnya untuk bertahan hidup.”

India disebut-sebut sebagai ‘farmasi dunia berkembang,’ karena negara ini memproduksi banyak versi generik dari obat-obatan yang dipatenkan di tempat lain. Lebih dari 80% obat-obatan HIV yang dipakai di negara berkembang berasal dari India, yang mampu memproduksi obat-obatan ini karena undang-undang patennya menetapkan persyaratan yang tinggi sebelum sebuah obat dapat memperoleh paten, sehingga produsen obat generik dapat berkompetisi dan mendorong turunnya harga.

“Obat hepatitis C seperti sofosbuvir adalah senyawa yang relatif mudah dan murah dibuat,” kata Dr. Andrew Hill, seorang farmakologis di Liverpool University yang menerbitkan sebuah studi yang menunjukkan bahwa sofosbuvir dapat diproduksi dengan harga serendah $101 untuk perawatan selama 12-minggu. “Gilead telah menjual dua obat hepatitis C senilai lebih dari $32 milyar dalam waktu dua tahun, dengan keuntungan tahun lalu sebesar $18 milyar. Proyeksi keuntungan masa depan untuk obat hepatitis C ini sangat mencengangkan, dan sama sekali tidak berhubungan dengan biaya yang dibutuhkan untuk membuat obat tersebut.” (1009)