KabariNews – Sistem kesehatan global masih belum siap menghadapi epidemi penyakit massal, hal ini disampaikan organisasi bantuan kemanusiaan Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas (MSF) hari ini. MSF mendorong pemimpin negara-negara G7 yang menghadiri pertemuan G7 di Elmau, Jerman, untuk berkomitmen mengembangkan sistem respons darurat guna menangkal epidemi dan krisis kesehatan internasional, berkaca pada pengalaman wabah Ebola di Afrika Barat. Wabah Ebola juga menunjukan adanya kebutuhan nyata untuk mendanai pengembangan obat-obatan dan diagnostik untuk penyakit yang terabaikan dan untuk memastikan akses obat-obatan untuk pasien di negara-negara berkembang.

“Apabila besok terjadi pandemi global, belum ada respons internasional yang terkoordinasi dengan baik dan memiliki sumber daya yang baik untuk menanganinya. Para pemimpin G7 harus mengakui kekosongan ini dalam sistem kesehatan global dan mengambil langkah kongkret untuk mengatasinya, atau risikonya adalah kehilangan ribuan nyawa dalam epidemi besar berikutnya,” ujar dr. Joanne Liu, Presiden Internasional MSF, Rabu (3/6). “Ada risiko yang akan dihadapi jika kita tidak sungguh-sungguh menghadapi masalah ini: ibarat sebuah rumah sakit, bangsal Unit Gawat Darurat tidak boleh ditutup hanya karena kita ingin berfokus pada pengobatan rutin atau non-darurat – keduanya sama-sama dibutuhkan oleh para pasien di dunia.”

Kegagalan global yang terjadi dalam respons melawan Ebola – tidak memberikan peringatan sejak awal, surveilans yang tidak efektif, respons internasional yang lamban, tidak adanya kepemimpinan, kurangnya vaksin dan pengobatan – bukan kejadian yang baru pertama kali terjadi. Ini adalah kenyataan yang terjadi di banyak situasi darurat yang dihadapi MSF.

“Saat ini ada kekosongan kepemimpinan kesehatan global. Di World Health Assembly minggu lalu di Jenewa, gaung reformasi WHO sepertinya melemah, negara anggota PBB gagal mendapatkan pendanaan tambahan, dan tidak ada perjanjian yang jelas tentang bagaimana mewujudkan respons yang cepat dan efektif,” ujar Florian Wetphal, Managing Director MSF Jerman. “Kami berharap para pemimpin G7 akan menunjukkan kepemimpinan politik dan memprioritaskan situasi darurat kesehatan untuk mencegah tidak terkendalinya epidemi di masa depan.”

Sistem kesehatan dan bantuan global saat ini memberikan penghargaan bagi negara-negara yang mencapai target pembangunan jangka panjang, namun hanya sedikit insentif untuk negara-negara yang mengumumkan wabah penyakit menular karena khawatir akan berdampak negatif terhadap perdagangan dan pariwisata. Ke depannya, negara-negara seharusnya diberikan insentif apabila mengumumkan wabah kepada publik, dan negara-negara maju seharusnya mengirimkan staf dan sumber daya lainnya untuk mendukung Kementerian Kesehatan yang tidak mampu mengatasi wabah sendiri.

Jerman, ketua Pertemuan G7 tahun 2015, telah menetapkan tiga isu kesehatan dalam agenda G7: Ebola, penyakit yang terabaikan, dan resistensi antimikrobial. Kurangnya obat-obatan dan peralatan medis untuk penyakit ini menunjukkan sistem riset dan pengembangan yang terputus, di mana perangkat yang dibutuhkan harganya terlalu mahal, atau bahkan belum dikembangkan.

“Pertemuan G7 telah mengambil langkah positif dengan menempatkan masalah kesehatan dalam agenda, namun mereka tidak membahas bagaimana memperbaiki sistem riset dan pengembangan agar kita bisa mengubah keadaan,” ujar Philipp Frisch dari Access Campaign MSF. “Kurangnya riset dan pengembangan untuk Ebola, resistensi antimikrobial dan penyakit terabaikan adalah masalah besar; jutaan orang menderita penyakit yang hingga kini tidak ada obat atau vaksin yang efektif, karena mereka merupakan pasar yang tidak menguntungkan bagi perusahaan farmasi. Para pemimpin G7 harus memprioritaskan pendanaan riset dan pengembangan untuk kebutuhan kesehatan ini.”

Tuberkulosis yang resisten terhadap obat-obatan termasuk dalam penyakit terabaikan yang membutuhkan obat-obatan, vaksin, dan diagnostik baru. MSF menangani ribuan orang di seluruh dunia setiap tahun, menggunakan rejimen antibiotik dua tahun yang dapat menimbulkan efek samping yang parah — termasuk mual-mual, psikosis, dan gangguan pendengaran—dan kemungkinan sembuh hanya setengah dari pasien yang ditangani. Beberapa jenis penyakit ini kini tidak lagi dapat ditangani karena resistensi terhadap obat-obatan yang ada.

Pada saat yang sama, vaksin dan pengobatan yang tersedia harganya sangat mahal. Obat hepatitis-C baru yang sangat mahal adalah salah satu contohnya, begitu juga beberapa vaksin baru yang tidak terjangkau oleh banyak negara “berpenghasilan menengah”. Negara Jerman telah menunjukkan kepemimpinannya dengan menjadi tuan rumah sebuah konferensi penting di Berlin tahun ini untuk mendanai vaksin-vaksin baru, namun pemerintah Jerman belum berbuat banyak untuk memastikan vaksin yang terlalu mahal bisa terjangkau oleh negara-negara berkembang.

“Negara kaya dan maju harus mengambil langkah segera untuk mengatasi kegagalan pasar dalam riset dan pengembangan farmasi,” ujar Frisch. “Kelambanan komunitas internasional terkait riset dan pengembangan, termasuk negara-negara G7, telah menyebabkan banyak kematian yang bisa dicegah, karena obat-obatan tidak segera dikembangkan atau terlalu mahal. Riset dan pengembangan harus memprioritaskan nyawa dan kesehatan masyarakat, di atas keuntungan.” (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/77650

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Asuransi Kesehatan

 

 

 

 

kabari store pic 1