KabariNews – Sebagai diplomat, peneliti, sejarawan, dosen tamu, dan manajer proyek. Professor David Reeve telah tinggal di Indonesia selama sebelas tahun, dan bekerja di empat universitas di Indonesia. David Reeve yang telah mengunjungi Indonesia selama lebih dari 40 tahun ini pun menjadi  seorang dosen pendiri  program Studi Australia di Universitas Indonesia pada 1980-an.

David Reeve juga memiliki stretch tiga tahun di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Muhammadiyah Malang pada dekade 1990-an, sebagai resident director untuk program ACICIS. Dia telah menulis tentang politik di Indonesia, bahasa Indonesia, dan hubungan Australia-Indonesia. David pensiun dari University of New South Wales, Sydney, Australia (UNSW) pada bulan Juli 2006. Dalam wawancara  dengan KABARI beberapa waktu lalu di acara Kongres Indonesia Diaspora ke-3, David Reeve memaparkan mengenai kegiatan ACICIS (The Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) dan aktivitasnya kini.

Kabari: Bisa diceritakan secara singkat mengenai misi dari ACICIS (The Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies)?

Salah satu misi dari ACICIS adalah untuk mendatangkan mahasiwa asing untuk belajar di universitas di Indonesia terutama di kota Yogyakarta, Bandung dan Malang karena kota itu merupakan kota dengan  pendidikan yang baik dan supaya mahasiswa asing dapat bergaul dengan mahasiswa Indonesia. Tujuan kami adalah ingin semakin banyak orang Australia belajar tentang Indonesia di Indonesia dalam Bahasa Indonesia, dan diajar langsung dengan orang Indonesia jadi semacam dekolonisasi pengetahuan. Biasanya orang Australia belajar tentang Indonesia dari dosen Australia. Sekarang ini ada sekitar belasan ribu orang Indonesia belajar di Australia. Kami mengharapkan nantinya adanya perseimbangan antara Indonesia dan Australia,  harus ada sekitar 1700 orang Australia untuk belajar di universitas-universitas di Indonesia. Sampai sekarang jumlahnya masih jauh tapi saya optimis dengan kepemimpinan kuat di Australia akan semakin banyak orang Australia belajar di Indonesia.

Kabari: Di Indonesia sendiri, dimana saja kota yang disasar untuk studi mahasiswa Australia?

Tempat yang bagus untuk orang Australia tentu saja banyak tempat yang menarik di Indonesia, seperti Jakarta dengan UI-nya, Bandung dengan ITB, dan Yogyakarya sebagai kota pelajar. Kami memutuskan kota Yogyakarta sebagai tujuan utama karena kota itu merupakan kota pelajar dan sangat penting karena kota terdapat banyak mahasiswa dari segala penjuru Indonesia. Jika dibandingkan dengan Padang banyak memakai Bahasa Minang berbeda dengan Yogyakarta yang banyak menggunakan Bahasa Indonesia. Dan juga kota Yogyakarta juga relatif murah. Kami mulai  ada program di Atmajaya Jakarta  dan program Hubungan Internasional di Univeritas Parahiyangan, Bandung. Kami juga ingin menempatkan mahasiswa Australia di luar Jawa, luar Jawa juga tak kalah penting, kami dulu memikirkan universitas di luar Jawa. Tetapi karena ada problem keamanan, rencananya kami ingin melebarkan sayap ke luar Jawa tapi belum terwujud karena universitas di Australia relatif segan mengirimkan mahasiswanya jauh dari kantor kami di Indonesia.

Kabari: Selain untuk belajar, adakah hal lain yang diberikan kepada mahasiswa Asutralia?

Tentu Kami juga mendorong mereka untuk menikmati Indonesia secara lebih jauh lebih luas dan kami memang sejauh mungin dan sebanyak mungkin mendorong mereka untuk mengenal Indonesia pada waktu liburnya. Yang mereka  dapat sewaktu  kuliah penting  tapi tidak kalah pentingnya dengan apa yang mereka terima dalam proses mengenal Indonesia atau pengalamannya dan Interaksi mereka dengan masyarakat Indonesia dimana saja

Kabari: Bagaimana dengan tingkat hubungan antara Indonesia dan Australia, dan  mahasiwa Australia yang belajar di Indonesia? Terpengaruhkah dengan kondisi yang ada semisal kondisi politik?

Hubungan Indonesia dan Australia banyak tingkatnya. Tingkat yang paling ribut, adalah hubungan politik dan perdagangan, tetapi diluar bidang itu ada banyak bidang lainnya umpamanya pendidikan, wisata dimana kedua negara berhasil menginsulasikan tingkat bidang itu dari kegoncangan politik. Walaupun ada kegoncangan politik tetapi hubungan budaya, pendidikan dan sebagainya tidak berpengaruh, untungnya kami tidak terganggu dari pasang surutnya hubungan politik antara kedua negara.  Sejatinya Jika Australia  banyak mengeskport sapi ke Indonesia, imbangilah jumlah sapi yang datang ke sini dengan banyaknya mahasiswa Australia yang datang ke Indonesia.

Kabari: Lantas bagaimana dengan intensitas kedatangan mahasiswa Australia untuk menimba ilmu di Indonesia, turun naikkah dari waktu ke waktu?

Turun naik,  naiknya pada dekade 1990-an , dan menurun pada tahun 1998 ditambah soal Timtim dan bom turun secara drastis. Baru tahun ini dan tahun lalu jumlah nya naik mencapai 300 mahasiwa Australia belajar di Indonesia. Angka 300 itu bagus dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Tapi jumlah itu masih sedikit dari yang kami targetkan yaitu 700 orang Australia per-tahun, tetapi kami tetap optimis dan mendorong mahasiswa Australia untuk berminat belajar di Indonesia.

Kabari: Soal tipe mahasiswa, seperti apa tipe mahasiswa yang datang ke Indonesia jika dilihat dari ketertarikan bidang studinya?

Kami mulai dengan orang yang mau belajar Indonesia, kebanyakan yang belajar studi kawasan Indonesia adalah mahasiswa sastra dan sosial politik. Kami sekarang memperluas tipe mahasiwa Australia yang datang ke Indonesia dengan mengandalkan berbagai macam program, seperti program magang, develompemt studies, dan program lainnya. Untuk mengembangkan program  baru memang banyak memakan waktu dan dana, organisasi  ACICIS merupakan organisasi nirlaba yang banyak anggotanya adalah para dosen tetapi kami akan terus mengerahkan energi dan waktu untuk para mahasiswa Australia agar belajar ke Indonesia.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/79678

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln

 

 

 

 

 

kabari store pic 1