Nasi makanan pokok orang Indonesia, sehingga ada yang menyatakan, rasanya belum makan kalau belum bertemu nasi. Bagaimana ke depan nanti, mengingat adanya ancaman berupa krisis pangan? Pada tahun lalu saja, 2012, Indonesia telah mengimpor 996,23 ribu ton beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Ir Liesa Larasati MM, memberikan ulasannya kepada Kabari, sekaligus menawarkan solusi untuk terus bisa makan ‘nasi’. Bagaimanakah itu?

Perubahan iklim yang ekstrim di alam raya ini menimbulkan dampak buruk yang menyebabkan gagal panen. Amerika Serikat mengalami kekeringan, lalu cuaca kering melanda Eropa Timur, tapi banjir justru menggenangi Afrika dan India. Organisasi Pangan Dunia (FAO) mencatat penurunan hasil panen beras, jagung dan kedelai. Tapi kelangkaan produksi bahan pangan tersebut justru melambungkan harganya di pasaran. Tentu ini dirasakan sulit oleh masyarakat, termasuk di Indonesia. Bila berlarut, bukan tidak mungkin terjadi apa yang dikhawatirkan para pengamat ekonomi dunia, yakni terjadinya krisis pangan seperti pada 2007-2008 lalu.

Sangat mengkhawatirkan, terlebih nasi makanan pokok di Indonesia. Bahkan di daerah, seperti Sumbawa Barat, yang semula mengandalkan jagung telah bergeser selera ke nasi. Berarti kebutuhan akan beras akan terus tinggi. Harus dicari jalan keluar! Meningkatkan produksi beras? Tidak mudah, karena amat mahal membuka area persawahan baru. Terlebih banyak lahan telah berubah fungsinya menjadi perumahan, perkantoran atau pertokoan.

Ir Liesa Larasati, MM, menjelaskan tentang jalan keluar untuk menghadapi ancaram krisis pangan. Para akademisi yang tergabung di PT Bermitra Abdi Selaras (BASS) seperti Prof Dr Yonny Koesmaryono, Dr Lala M Kolopaking dan Prof Dr Eriyatno menciptakan teknologi BNP (beras non padi) yang belum ada di dunia ini. Dengan teknologi ini, kita semua tetap dapat menyantap ‘nasi’ meski hanya ada jagung, sorgum, talas atau umbi-umbian lainnya.

BNP Tangkis Krisis Pangan

Insinyur teknik industri pertanian dan magister bisnis internasional kelahiran Denpasar, Bali, 26 Desember 1963 itu menjelaskan, teknologi BNP merupakan terobosan karya anak bangsa yang dapat menyejahterakan masyarakat luas dengan memenuhi hajat mereka. Jadi, sebagai Direktur Utama, Liesa tak melulu mendulukan keuntungan laiknya sebuah bisnis. Tetapi juga peduli akan sesama. Terlebih banyak kelebihan dari teknologi ini, seperti lebih efisien menyiapkannya, karena tak perlu lahan luas seperti halnya membuka sawah. Cukup memanfaatkan pekarangan rumah atau lahan tidur yang ada di sekitar.

“Rasa beras non padi ini legit, lebih sehat karena kandungan gulanya sedikit, tidak memakai pemutih dan campuran pengawet apa pun, lebih cepat mengolahnya, serta tidak mudah basi atau berubah jadi kuning. Segala usia pun dapat menikmatinya. Sangat aman bagi penderita diabetes atau mereka yang sedang berdiet,” tambah ibu dari dua putra ini.

“Teknologi ini karya anak bangsa dan belum ada di dunia, dan dengan bangga kami persembahkan terobosan ini untuk masyarakat luas. Karena itu kami tidak mempatenkan teknologi itu, melainkan membagikannya kepada siapa saja di Indonesia maupun mancanegara. Harapan kami kelak tiap kabupaten menerapkannya, sehingga masyarakat mampu mandiri pangan setempat swasembada lokal, dan tidak lagi terdengar anak yang mengalami gizi buruk atau busung lapar,” lanjutnya.

Ke depan, Liesa bersama tim bertekad terus menyempurnakan teknologi BNP dan melahirkan temuan baru. Untuk itu mereka menindaklanjuti MoU kerja sama dalam penelitian dengan akademisi di dalam dan luar negeri. Maret lalu misalnya, mengunjungi Michigan State University di East Lansing, Michigan dan University of Washington di Seattle,(Washington State) AS, serta National Food Research Institute (NFRI) di Jepang untuk bersama-sama melakukan penelitian di bidang industri pangan sehat dan energi terbaru, semata mengantisipasi masalah kelangkaan sumber daya alam.

“Kami sendiri tengah bersiap mengindustrikan produk BNP bernama Brasia yang kelak bisa dibuat camilan sebagai industri rumahan oleh para ibu. Tentu kami tidak bisa berjalan sendiri. Dukungan investor swasta, pemerintah daerah, pendanaan CSR atau blending financing sangat dibutuhkan untuk dapat membangun industri teknologi BNP berskala usaha kredit menengah (UKM) di tiap kabupaten. Masyarakat tak pusing lagi soal makanan,” tandas Liesa yang juga aktif sebagai pengurus di IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) DKI Jakarta.

Ilmu Sistem Untuk Indonesia Yang Lebih Baik

Selain mengurusi seputar teknologi pangan, Liesa juga menikmati kesibukannya di PT Bermitra Inovatif Sistem Andalan (BISA), sebuah unit bisnis dari organisasi nirlaba Research Center for System and Development atau sering disebut Center for System.

“Saya tertarik bergerak di kedua bidang usaha ini, karena dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas dan bersifat jangka panjang. Di BASS, mengadakan pangan sehat yang dalam jangka panjangnya menyehatkan bangsa kita, sekaligus meningkatkan ketahanan pangan. Sedangkan di BISA, saya yang berlatar belakang swasta dapat bekerja sama dengan para akademisi. Direkturnya adalah Prof Dr Eriyanto, pakar Ilmu Sistem di Indonesia, dan anggota tim dari berbagai disiplin ilmu. Menyenangkan sekali,” kata Liesa yang didukung penuh oleh suami, anak-anaknya maupun keluarga besar.

Di Indonesia sendiri, ilmu sistem ini belum terlalu populer. Boleh dibilang, sebuah green field, bidang usaha yang masih baru dan belum banyak yang menekuninya. Padahal, ilmu ini sangat penting dalam memudahkan individu maupun organisasi dalam menyelesaikan permasalahan. Dengan penerapan ilmu sistem, permasalahan dapat teratasi dengan baik, efisien dan efektif. Adapun yang dilakukan BISA adalah memberi pelatihan dan konsultasi, utamanya menyebarluaskan konsep, pola pikir dan metodologi dalam menerapkan pendekatan sistem. Mengapa Liesa justru tertantang untuk menekuni bidang usaha yang baru, seperti orang membuka hutan yang masih perawan?

“Saya merasakan kepuasan tersendiri dengan kegiatan saya di dua bidang usaha yang terbilang baru di Indonesia. Selain tertantang, yang terutama bahagia dapat melakukan sesuatu untuk menolong sesama. Semoga kiprah yang kami lakukan dapat memberi manfaat,” tutur Liesa.

Dari mana datangnya karakter positif pada diri editor buku ‘Ilmu Sistem’ Jilid 1 oleh Prof Dr Eriyatno, MSAE (2012) dan sekarang tengah menyusun buku jilid keduanya itu? Bak perumpamaan ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’, Ir Liesa Larasati MM mewarisi karakter dan nilai-nilai dari orang tuanya, (alm) Soemadji Kartohamidjojo dan Lestari Soemadji.

“Boleh jadi saya mendapatkan nilai-nilai yang saya pegang hingga sekarang dari mereka. Rasa peduli dan empati kepada sesama lebih dari Ibu ya. Dari kecil saya melihat Ibu begitu memperhatikan orang lain, sehingga secara alami terserap juga. Dari Ayah, saya mendapatkan nilai tentang kedisiplinan, kejujuran dan bekerja sungguh-sungguh dan tuntas,” ujar Liesa di ujung pembicaraan. (1003)

Untuk nonton video Part 2, Klik disini
Untuk nonton video Part 3, Klik disini

Untuk share  artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?55545

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :