oke3Saniah LS rela mengadu nasib ke Negeri Jiran untuk memperbaiki masa depannya. Pengalaman enam tahun menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia telah membuka jalannya menuju kesuksesan di negeri sendiri. Berbekal kegigihan dan kesabaran yang ditempanya selama menjadi TKW, perempuan asal Lhokseumawe yang biasa dipanggil Nia ini banting setir menjadi jurnalis dan meraih posisi top di perusahaan media lokal.

Lahir sebagai anak ketujuh dari sepuluh bersaudara di sebuah keluarga sederhana, Nia harus rela hidup dalam keterbatasan finansial. Ayahnya, Syafar Leles adalah seorang prajurit TNI berpangkat Letda yang bertugas di Kodim Lhokseumawe. Sedangkan ibunya, Syarifah, hanya seorang ibu rumah tangga. Untuk menambah penghasilan keluarga, ibunya Nia menjadi pedagang kaki lima.

“Masih ingat olehku saat panas menyengat, Ibu menumpang berteduh di kedai orang dan saat hujan ia hanya menutupi kepalanya dengan plastik. Maka itu aku tidak sanggup melihat ibu-ibu berjualan dengan kondisi seperti Ibukuwaktu itu. Tanpa terasa, air mata ini pasti berlinang dengan sendirinya,” ucap Nia.

Kegigihan orang tuanya mencari nafkah membuat Nia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Sejak duduk di bangku SD, perempuan kelahiran 1 April 1973 ini tidak lagi minta uang jajan kepada ayah dan ibunya. Bersama kakaknya, ia mencari uang dengan cara berjualan ikan, permen, hingga roti isi selai. Selama pekerjaan yang dilakukan halal, tidak ada rasa minder atau malu dirasakan Nia.

Jadi TKW Selamatkan Harga Diri

Akibat kondisi keluarga yang pas-pasan, tak jarang Nia mendapatkan kejadian yang memilukan. Dari banyak kejadian, ada satu peristiwa yang sangat membekas di benak dan hati Nia, terbawa sampai saat ini. Yakni ketika itu ia diusir saudara ibunya lantaran ia berpakaian kumal dan kumuh. Kejadian masa kecil tersebut sangat mengusik dirinya. Rasa terhina membuatnya bertekad untuk memajukan taraf hidup dirinya dan keluarga.

“Perih sekali kejadian itu di hati ini, tapi aku sembunyikan rapat-rapat sehingga tak ada yang tahu, termasuk bapak ibuku. Tanpa kusadari ini memecut tekadku untuk berhasil. Aku mau mengharumkan nama orang tuaku dengan berkarya,” ungkapnya.

Bersama Ibunda.

Usai menamatkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Banda Aceh tahun 1992, tekad bulat Nia untuk mengubah nasib semakin kuat. Kembali ke daerah asalnya di Lhokseumawe, perempuan kelahiran 1 April 1973 ini meminta restu orang tua untuk bekerja sebagai TKW di Malaysia. Butuh waktu sekitar setahun untuk mendapatkan izin dari sang Ayah. Sambil menunggu turunnya izin, Nia mengisi waktunya dengan bekerja sebagai penjaga toko buku.

Setelah izin orang tua dikantongi, Nia menjajal tes saringan masuk menjadi TKW melalui PJTKI PT Wira Karitas. Lulus tes pada 1995, ia pun berangkat ke Malaysia, bekerja di pabrik elektronik National-Panasonic Matshusita Electronic Motor. Ongkos terbang ke Malaysia melalui Bandara Polonia Medan, Nia harus berutang sebanyak Rp750 ribu kepada PJTKI. Secara bertahap, utangnya dilunasi dengan dicicil lewat pemotongan gaji.

Di pabrik elektronik yang berlokasi di kawasan Kedah, Nia bergabung bersama lebih dari 400 TKW lain asal Indonesia. Tak sampai setahun, ia naik jabatan menjadi seorang analis. Enam bulan kemudian, jabatannya kembali naik menjadi staf produksi di divisi Power Motor Assembly. Hingga pada 21 Juni 1997, Nia mendapatkan posisi sebagai junior charge atau junior supervisor dengan gaji lebih dari RM430.

“Aku bertanggung jawab membawahi sekitar 30 pekerja. Alhamdulillah grupku ini mendapat predikat line terbaik karena kualitas yang mampu dijaga. Juga aku dan kawan-kawanku selalu memenuhi target yang diinginkan atasan,” cerita Nia.

Di perusahaan tempatnya bekerja, Nia menunjukkan kemampuan kepemimpinan yang baik. Ia dipercaya menjadi ketua asrama yang diisi oleh ratusan pekerja asal Indonesia. Asrama pimpinannya berhasil meraih predikat terbaik dan dijadikan asrama percontohan.

Bukan hanya itu, Nia juga mampu memompa semangat rekan-rekannya sesama buruh migran asal Indonesia. Ia memotivasi teman-temannya untuk mengikuti berbagai kejuaraan olahraga dengan mengatasnamakan perusahaan. Prestasi olahraga yang diperoleh Nia dan timnya membanggakan perusahaan dan menaikkan citra pekerja asal Indonesia.

“Karena mengharumkan nama perusahaan, makanya di kilang (pabrik) kami tidak ada perbandingan antara pekerja lokal dan pekerja luar. Kami bisa naik pangkat sama seperti orang Malaysia. Dan aku adalah satu-satunya anak Indonesia yang memakai baju biru yang menjadi charge,” ucap Nia bangga.

Terbentur izin dari otoritas pemerintah setempat, Nia mesti mengakhiri perjalanan karirnya di Negeri Jiran setelah enam tahun. Kontrak kerja Nia tak bisa diperpanjang lagi dan tak diperbolehkan menetap di Malaysia.

Kuliah Jurnalistik

Berhenti menjadi TKW dan kembali ke Tanah Air tak membuat harapan dan semangat Nia pupus. Pada 2001, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya dengan berkuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P) Yayasan Ani Idrus Waspada di Medan, Sumatera Utara. Sembari kuliah jurusan jurnalistik, ia juga bekerja di PT Asahi Denki di Belawan agar bisa membayar biaya kuliah dan kos selama di Medan.

Hanya dua semester saja Nia sanggup menjalankan kuliah sambil bekerja. Pada semester tiga, ia berhenti bekerja dan berkonsentrasi penuh terhadap kuliah. Kemudian satu semester setelahnya, Nia mencoba menulis untuk media massa lokal di Medan. Dalam setiap tulisannya, Nia selalu menggunakan nama Saniah LS. Singkatan LS di nama belakangnya merujuk kepada nama orang tuanya, yakni Leles dan Syarifah.

Saat diwisuda.

Demi meraih pengalaman, Nia rela tidak menerima gaji. Pekerjaan jurnalistik pertamanya di Tabloid Aplaus The Lifestyle (Grup Analisa) hanya dihargai Rp 50 ribu per tulisan. Gaji kecil tidak menjadi hambatan dan menyurutkan semangat, Nia bekerja di perusahaan media cetak itu hingga lima tahun lamanya. Di perusahaan media pertamanya tersebut, perempuan yang memulai kuliah di usia 21 tahun ini bahkan sempat menjabat sebagai chief editor dan mendapatkan gaji di atas Rp 2 juta.

Lima tahun bekerja untuk perusahaan media di Medan, Nia memutuskan untuk pulang ke Aceh. Sejumlah media cetak di Aceh pernah dijajal olehnya. Antara lain Tabloid Modus, Harian Serambi Indonesia, dan Harian Aceh. Terakhir, Nia bekerja untuk Majalah Aceh Tourism dengan posisi sebagai pemimpin redaksi (Pemred). Jurnalis yang kini berusia 41 tahun ini juga tercatat sebagai kontributor untuk Majalah Kartini dan Majalah Inspirasi Usaha Makassar.

“Bekerja sebagai jurnalis, pernah aku tidak digaji, tapi malah disuruh jual koran. Ada juga uang transporku yang menguap. Tetapi semua aku ikhlaskan, karena bagiku semata mencari pengalaman,” ucapnya.

Di luar kegiatannya sebagai jurnalis, kini Nia aktif dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia Aceh (FJPI-A) selaku Ketua. Ia juga aktif mengajar sebagai dosen luar biasa di jurusan komunikasi FISIP Unsyiah. Selain itu ia juga mengajar kelas fotografi di SMA Fatih Bilingual, Banda Aceh.

Petik Himah Jadi TKW

Enam tahun menjadi TKW di Malaysia menjadi pengalaman yang tak terlupakan untuk Nia. Apalagi kehidupan buruh migran yang dijalaninya pada tahun 90-an sangat berbeda dari realita TKW di masa sekarang.

Sebagai tenaga kerja di negeri orang, Nia tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar maupun siksaan dari perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan, kata Nia, perusahaan tempatnya bekerja sangat memanusiakan pekerja. Tidak ada diskriminasi antara pekerja Malaysia maupun pekerja asing.

Dengan teman-teman.

Nia menambahkan, perusahaan Malaysia tempatnya bertugas juga tidak menilai kemampuan seseorang dari segi fisik semata. Pekerja dengan keterbatasan fisik tetap mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan pekerja lainnya. Nia pun mengaku pernah bekerja bersama pekerja tunawicara di dalam timnya.

“Itulah hebatnya Malaysia. Mereka memberi kesempatan bekerja tanpa melihat pekerja itu memiliki terbatasan fisik atau tidak. Semua beroleh kesempatan yang sama,” ungkapnya.

Nia mengakui bahwa kondisi TKW di zamannya lebih baik. Menurutnya, perjuangan TKW masa kini lebih sulit dibandingkan 20 tahun lalu. Dulu, ia tidak perlu merogoh kocek terlalu besar untuk mendapatkan pekerjaan di Malaysia. Berbeda dari calon TKW zaman sekarang yang harus mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah untuk mendapatkan pekerjaan. Belum lagi nasib naas akibat perlakuan kasar majikan yang terus membayangi para TKW di luar negeri.

“Kalau dulu, meski dengan gaji sedikit, kami tidak banyak pemotongan dan hak kami juga sama dengan pekerja Malaysia,” ucapnya.

Selama mengadu nasib di Negeri Jiran, Nia tidak pernah melupakan jati dirinya sebagai warga negara Indonesia. Ia justru berusaha mengenalkan Indonesia kepada rekan-rekannya dari negara lain, seperti Malaysia sendiri, India, China, dan Thailand. Saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman kerja, Nia tetap berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini membuat teman-teman Nia menjadi terbiasa dan akhirnya mau belajar bicara bahasa Indonesia.

Bagi Nia, bekerja di negeri asing bukanlah perkara mudah. Menjadi tenaga kerja di luar negeri bebannya dua kali lipat dibanding mencari nafkah di negeri sendiri. Seperti pesan ayah tercintanya, Nia menyebut pekerjaan TKW di luar negeri lebih berat karena harus menjaga nama baik negara. Ia juga menegaskan bahwa menjadi TKW bukan berarti tak dihargai di Tanah Air.

“Aku selalu bilang kepada para TKW yang sudah seperti saudaraku, kita datang ke Malaysia membawa nama negara, bukan nama orang tua. Jadi, tolong jaga nama baik negara kita. Mari sama-sama kita tunjukkan kalau kita bekerja ke Malaysia bukan karena kita orang terbuang dari negara kita, melainkan mencari rezeki di sini, karena di negara kita kurang lapangan pekerjaan,” pungkas Nia.

Demikianlah sekelumit kisah hidup Saniah LS, yang mengajarkan kepada kita, bahwa hidup sebuah perjuangandanharus diperjuangkan. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?66124

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln