Rachmi AziahDuduk diantara ratusan penonton lainnya di Gedung Theater Taman Ismail Marzuki dalam perhelatan 100 tahun Ismail Marzuki yang digelar pada akhir bulan Mei lalu.  Hati kecil Rachmi Aziah Ismail Marzuki sempat gelisah, kenapa dirinya tidak didampuk di atas panggung sebagai keturunan sang maestro yang masih tersisa alih-alih sebagai bagian dari peringatan seabad Ismail Marzuki.  Namun kegelisahan itu perlahan hilang manakala tergantikan oleh munculnya rasa syukur dari wanita berumur 64 tahun ini karena masih ada  yang mengingat jasa-jasa dari mendiang bapaknya,  Ismail Marzuki. ”Biarlah yang penting karya-karya bapak masih banyak yang mengapresiasikan contohnya ya seperti di hari itu” kata Rachmi kepada kabarinews.com beberapa waktu yang lalu.

Ismail Marzuki seperti yang diketahui merupakan musisi, komponis sekaligus pahlawan nasional. Terlahir dengan bapaknya yang memiliki bisnis bengkel mobil di wilayah Kwitang, Ismail Marzuki mulai mencipta lagu mulai tahun 1931 dengan lagu pertamanya berjudul O Sarinah yang menggambarkan suatu kehidupan sebuah bangsa yang tertindas. Setelah itu sekitar 250 lagu berhasil ia ciptakan dalam kurun waktu tahun 1930-1950. Lagu-lagunya memiliki bermacam-macam tema dan aliran musik.  Lagu-lagu dihasilkan hampir mewakili jamannya, semangat patriotisnya, cinta, dan perasannya yang romantis. Sebut saja Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka, Gugur Bunga, Sepasang Mata Bola, Aryati, dan Juwita Malam, adalah beberapa contoh lagu yang mewakili karyanya.

Ismail Marzuki adalah seniman otodidak yang mengembangkan bakat musiknya hanya berdasarkan naluri perasaannya yang ingin mengekspresi-kan apa yang dirasa, dilihat, dan yang diharapkan. Seperti yang dikatakan oleh seniman, Jose Rizal Manua, Ismail Marzuki merupakan seniman yang ilmu musiknya dipelajari secara otodidak. Namun demikian, pengetahuan (teori) musik dan keterampilan musik dasarnya telah ia miliki, yang mendukung bakat musiknya. Ia merasakan rasa musikal yang menggelegak dengan memunculkan melodi-melodi sederhana tetapi indah yang sangat diterima telinga masyarakat pada umumnya. Ia melihat kejadian, penderitaan masyarakat pada umumnya yang tertindas pada zaman kolonial.

Ratusan karya tercipta, namanya pun bersanding dengan sederat tokoh nasional Indonesia lainnya.  Namun semasa hidupnya Ismail Marzuki tidak pernah dikarunia oleh seorang anak. “Saya ini sebenarnya anak angkat dari bapak ” kata Rachmi. Pernah ada upaya untuk mengadopsi anak, namun takdir berkata lain anak yang diadopsinya sebelum Rachmi meninggal dunia sewaktu masih kecil. Rachmi pun bilang, kemudian bapak memutuskan untuk mengangkat anak lagi, kali ini dia mengangkat anak dari adiknya ibu Ismail Marzuki, yaitu dirinya.

Rachmi berusaha keras untuk mengingat kenangan bersama sang bapak di saat singkatnya, maklum saja umurnya baru 8 tahun, Ismail Marzuki sudah dipanggil Yang Maha Kuasa karena menderita penyakit paru-paru basah di tahun 1958 dan meninggalkan dia untuk selamanya. Ismail Marzuki, kenang Rachmi, merupakan sosok ayah yang sangat menyayangi keluarga dan saudara-saudaranya. “Bapak itu supel orangnya dan tak pernah menyangka bapak merupakan seorang yang menciptakan karya-karya yang disukai oleh masyarakat Indonesia” bilang dia. Sebagai anaknya, tak pelak merasa bangga terlebih lagi bapaknya diangkat sebagai pahlawan nasional di tahun 2004. “Nah itu diatas mas nya duduk ada foto kliping dari koran saat bapak diangkat jadi pahlawan nasional” sambung Rachmi.

Ismail MarzukiHanya saja memorabilia peninggalan dari sang bapak tidak banyak ditemui dari rumah kontrakannya yang terletak di Perum Bappenas A12 RT 01/ RW 06, Cinangka Wates, Kecamatan Sawangan, Depok. Hanya nampak kenang-kenangan dari beberapa piagam yang diberikan oleh pembesar negeri ini dan dua foto dari sang bapak yang berpose sendiri dus foto dengan istri tercintanya,  Eulis Zuraidah. Eulis Zuraidah penyanyi keroncong grup Hea An asal Bandung. Eulis ini adalah sumber inspirasi lahirnya lagu Panon Hideung, yang mengadaptasi lagu Rusia Ochi Chernye

Sedikitnya memorabilia, Racmi bilang bukan karena tidak ada tempat melainkan sewaktu ibunya tinggal di Bandung di tahun 1980-an pernah mengalami kebanjirannya. “Ibu mungkin lupa atau gimana jadi ya banyak yang rusak” kata dia. Setelah ibunya tinggal bersamanya, kemudian Rachmi mencari-cari peninggalan Ismail Marzuki yang masih tersisa. Contohnya saja accordion dan biola yang kemarin-kemarin sempat di pamerkan saat perayaan 100 tahun Ismail Marzuki di TIM.

Selain sayang sanak familinya, Ismail Marzuki, kata Rachmi, juga sering mengajak dirinya di hari libur atau minggu bersama-sama jalan-jalan ke lapangan Ikada atau ke Pasar Ikan atau ke mana saja, berdua atau pun bersama ibunya, terkadang naik motor dari tempat tinggalnya dulu di kampung Bali, Kebon sirih. “Dulu jalan-jalan sekalian mencari inspirasi untuk lagu-lagunya” kata Rachmi. Nah, lagu-lagunya ini juga  banyak tercipta disaat malam hari. “Bisa jadi angin malam plus kebiasan rokok yang membuat lambat laun  kesehatan bapak jadi terganggu” sambung dia.

Tumbuh di rumah yang hanya ditinggali oleh ibu, bapak dan dirinya sewaktu masih tinggal di rumahnya yang dulu, Rachmi mengatakan bapaknya suka sekali masak.   Untuk memanjakan lidah para penghuni rumah beragam masakan  bisa dibuatnya, mulai dari makanan sehari-hari dari sayur asem, gado-gado dan  makanan lainnya. Sang bapak melarangnya untuk makan di luar karena pikirnya lebih enak makan makanan di rumah. “Ya ada kalanya juga makan diluar tapi itu juga jarang “ kata Rahmi.

Sebagai seoarang anak walaupun bukan anak kandungnya. Setiap ada waktu senggang atau di waktu tertentu Racmi akan menyempatkan diri untuk ziarah ke persinggahan terakhir sang bapak yang berada di TPU Karet Bivak. “Makamnya sekarang bersebelahan dengan Ibu saya yang wafat tahun 2001, saya pasti kesana untuk ziarah” pungkas Rachmi.(1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?66735

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan