Suatu sore itu dari luar rumahnya di wilayah Pondok Kelapa, suara tanding ulang piala dunia di TV terdengar sayup-sayup dari ruang keluarga. Oyong yang hari itu tak banyak melakukan kegiatan di luar rumah nampak dengan rambutnya yang mulai memutih dari balik pintu ruang tamu. “ masuk dulu duduk, sebentar ya saya bawakan dulu album foto saya waktu di timnas PSSI” katanya. Sesaat kemudian, dia pun membawakan album yang berisikan foto-fotonya saat bersama timnas PSSI. Terlihat di fotonya, Oyong masih nampak muda sekali dengan rambutnya yang panjang “ya bisa dimaklumi, pemain bola di Indonesia pada era saya itu banyak yang gondrong rambutnya, pemain luar negeri pun kan banyak yang gondrong saat itu” tuturnya.

Oyong Liza dikenal sebagai pemain belakang tim nasional sepak bola Indonesia yang tangguh pada dekade 1970-an. Kepada kabarinews.com, pria yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 10 November 1946 ini mulai berkisah saat momen-momen manisnya tercipta ketika masih membela timnas garuda Indonesia bertanding melawan tim papan atas dunia.

Alkisah, Oyong kecil begitu mencintai si kulit bundar. Sampai-sampai, untuk menyalurkan rasa cintanya Oyong bergabung bersama klub bola di kampung halamannya di Sumatera. “Nah, waktu itu di kelas Junior ada pemanggilan untuk seleksi dalam rangka persiapan untuk tanding di Kualalumpur di tahun 1963. Lantas saya pun datang kesana” tutur Oyong.

Saat itu dia masih duduk di bangku kelas 3 SMP. “saya sih senang dan mau saja karena ada suatu kebanggaan juga karena dulu jarang juga pemain bola yang berasal dari Sumatera” kata dia. Oyong pun pergi ke Salatiga selama 3 tahun dan tinggal disana untuk melatih keterampilannya di sekolah bola. Selain melatih ketrampilan bola, dia pun belajar teknik bola dengan cara mengamati pemain-pemain senior saat mereka latihan. Dan dari situ, Oyang kemudian mengolah kemampuan dan menggali kemampuan bersepakbolanya sendiri.

Sampailah di tahun 1965 sampai 1966, Oyong ditunjuk untuk memperkuat PSSI Junior. Singkat kata, Oyong akhirnya masuk dalam skuad timnas untuk kejuaran sepakbola asia di Bangkok tahun 1967 sebagai pemain bek kiri. “Dan di sana menjadi juara dua saat final melawan Israel”katanya. Setelah itu Oyong pun melanggeng terus merumput bersama skuad timnas garuda dan Persija sampai tahun 1979.

Oyong mulai masuk dalam jajaran tim Persija di 1969. Di saat yang sama, Persija ketika itu diperkuat oleh para pemain senior seperti Maman Damiri, Salomon Nasution, Arwiyanto dan Surya Lesmana. Dari para seniornya, Oyong mulai menggali lebih dalam kemampuan mengolah di kulit bundar. “model latihannya dulu ini yang junior-junior masuk, jadi latihannya saat itu yang junior disisipkan saat latihan dan bergabung dengan para seniornya. Dulu seperti itu, kalau ada yang junior yang bagus masuk lagi jadi ya berkesinambungan iramanya mengikuti prmain senior latihan” kata dia.

Oyong pun mulai berkibar saat membela Persija di tahun 1973. Tahun itu merupakan tahun keemasan Persija dan sepakbola Jakarta yang mampu merebut tiga gelar bergengsi sekaligus. Dia juga tergabung dalam skuad PON DKI Jakarta dan ikut menyumbangkan medali emas untuk Jakarta. Setelah itu Oyong juga turut membawa Persija juara Divisi Utama Perserikatan 1973 dan Piala Quoch Khan di Vietnam. Tak hanya sebagai pemain saja belakang saja, Oyong pun pernah didaulat sebagai kapten Persija saat klub dengan julukan macan kemayoran ini merebut gelar juara di tahun 1975.

Bertempur Lawan MU di Tahun 1975 dan Korea Utara

DSC00419

Ada satu momen yang tidak terupakan olehnya sebagai pemain bola, yaitu saat memperkuat timnas saat bertanding melawan kesebelasan Manchester United di tahun 1975 dan Korea Utara di tahun 1976 pada pertandingan pra-olimpiade. “ saya waktu itu tetap sebagai pemain belakang dan Manchester United tidak mampu menembus pertahanan Indonesia saat itu” kata dia.

Pertandingan dengan setan merah, merupakan turnamen segitiga yang dijadikan ajang pemanasan sebelum pertandingan Pra Olimpiade 1976 melawan Korea Utara. Pertandingan PSSI yang kala itu bersama PSSI Tamtama melawan MU merupakan partai pembuka. Prestasi MU kala itu sedang merosot-merosotnya. Trio emas George Best, Denis Law, dan Bobby Charlton sudah meninggalkan MU. Ditambah lagi, Mereka tidak mendatangkan seluruh pemain intinya seperti yang telah dijanjikan. Rombongan mereka hanya 14 orang yang terdiri dari 12 pemain, seorang pelatih, dan seorang manajer. Namun bukan berarti MU dapat dipandang remeh.

Di hadapan 7000 penonton, skuad PSSI dengan Oyong sebagai pemain beknya terus berupaya mematahkan serangan lawan. Serangan- serangan dilancarkan oleh trio penyerang Indonesia, yaitu Waskito, Risdianto, dan Andi Lala. Namun sayang, gawang MU gagal dijebol oleh PSSI dan pertandingan pun harus berakhir dengan skor kacamata karena gawang Ronny Pasla pun jarang dihajar tembakan penyerang MU

Setelah itu setahun kemudian tepatnya di tahun 1976, Oyong kembali tergabung dalam skuad PSSI pra-olympiade. “Itu kan dulu ada enam negara seperti Korea Utara, Malaysia, Singapura, dan Papua Nugini. Timnas bertemu dengan kesebelasan Korea Utara dipartai final ” kata dia. Partai Final antara Indonesia versus Korea Utara, merupakan partai final dengan jumlah penonton terbanyak saat itu. Kurang lebih jumlah penontonya mencapai ratusan ribu orang. Gelora Bung Karno dipenuhi oleh para penonton dengan pelbagai suku, agama dan dialeg bahasa daerah yang kental menyatu untuk membela Tim Nasional Indonesia. Bahkan penonton yang berdatangan terus menerus itu, akhirnya tumpah ruah meluap ke lintasan lari dipinggir lapangan.

Namun sayang, kesebelasan Indonesia tidak mampu mengambil keuntungan lebih banyak dari situasi dan posisinya sebagai tuan rumah dan gagal menekuk Korea Utara.  Timnas PSSI dikalahkan dengan skor  5-4 melalui adu penalti yang menegangkan seluruh penonton di stadion dan juga penonton dirumah diseluruh tanah air ini karena pertandingan itu juga disiarkan secara langsung  oleh TVRI. “ eksekusi tembakan saya waktu itu tidak masuk ke gawang lawan jadinya timnas gagal lolos deh ke Olimpiade di Montreal, Kanada” kata Oyong.

Gagal melawan Korea Utara bukan berarti gagal di pertandingan-pertandingan selanjutnya. Oyong termasuk anggota skuad Persija yang juara di tahun 1979 sebagai pemain lini belakang. Persija yang diperkuat pemain senior dan juniornya mampu membawa macan kemayoran kembali meraih gelar juara di tahun 1979 melalui sundulan striker, Andi Lala.

Setelah final itu, Oyong tidak lagi masuk dalam skuad Persija di kompetisi 1980. “saya tidak lagi di Persija karena diskors karena tidak bermain di kompetisi Persija” tutur Oyong yang lantas bekerja penuh di Bulog sampai pensiun. Namun Oyong mengatakan seraya kembali mengingat kejayaannya sebagai pemain bola di era 1970-an, bahwa rasa malu itu penting diterapkan sebagai pemain bola dimanapun berada terutama di Indonesia. Terlebih algi jika saat mengalami kekalahan. “dan materi bukan lah yang semata-mata dicari dari kami para pemain sepakbola saat itu karena kita pakai lambang garuda di dada itu bangganya minta ampun.” pungkasnya. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?67363

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan