KabariNews – Sekilas mainan robot-robotan itu nampak biasa-biasa saja, tak ubahnya dari mainan robot yang biasa kita jumpai di pasar atau pun mal. Namun jika Anda bertanya, soal bahan pembuat robot, robot-robot itu bukanlah robot biasa. Ya, robot itu terbuat dari bahan daur ulang atau reclying.

Adalah seorang Slamet Riyadi, sang pendiri Lumintu yang membuat sampah  bahan daur  ulang itu  menjadi suatu kreasi yang kreatif. “Anak-anak muda di Lumintu tertarik dengan robotik, jadi saya arahkan mereka untuk membuatnya” tuturnya kepada KABARI beberapa waktu yang lalu di Jakarta.

Slamet bercerita, sebelum Lumintu  gemar membuat robot dari sampah terlahir berkat kegelisahannya ketika kena PHK di tahun 1998 silam. Saat itu Indonesia sedang dilanda krisis moneter.  Slamet merupakan salah satu dari sekian banyak orang di Jakarta yang terkena dampak krisis moneter.   Nah, sejak kena PHK Slamet berpikir, ekonomi Indonesia sedang   sulit lantas bagaimana caranya agar dia bisa bertahan dan menafkahi keluarga.

Dengan mengandalkan pesangon seadanya, Slamet  menciptakan peluang bagi dirinya sendiri, untung-untung dapat menghidupi keluarganya. Kebetulan, waktu sekolah dulu Slamet mahir membuat kreasi kerajinan tangan. “Tahun 2000-an awal, daur ulang belum banyak orang melakukannya, saya pun mendaur ulang berbagai jenis sampah dalam berbagai kemasan untuk dijadikan kreasi berupa bunga hias , mainan anak, dan yang lainnya” katanya.

Slamet lalu mendirikan workshopnya di Ciledug, Tangerang dan diberi nama Lumintu. Lumintu sendiri memiliki arti, diambil dari filosofi  hidup masyarakat Sunda yang artinya lumayan, menerima apa adanya seperti rezeki yang kita terima dari Yang Maha Kuasa dan Jawa yang artinya kesinambungan.

Snap 2015-11-24 at 14.10.55Tanpa dinyana kegiatan daur ulangnya mendapat respon dari beberapa lansia (Lanjut Usia)  yang tinggal di sekitaran workshop Lumintu. Mereka datang dan bertanya kepada Slamet, bagaimana caranya mereka dapat berkegiatan alih-alih ingin mengisi kekosongan waktu. Para Lansia itu mengatakan pintar menganyam tikar dari daun pandan. Slamet bercerita, di Tangerang dulunya terkenal dengan sentra industri anyaman pandan.

Hanya saja, karena tergerus perkembangan zaman, sentra industri anyaman pandan sekarang tinggallah kenangan.  Hal ini menjadi tantangan bagi Slamet saat lansia menanyakan bagaimana jika ingin menganyam kembali.   Slamet lalu putar otak mewujudkan keinginan para lansia itu. Bahan baku diganti dengan bahan baku sampah yang dapat menggantikan posisi pandan. Contohnya bekas kemasan pasta gigi, yang sifatnya lentur,  mudah dilakukan kreasi anyaman,  dan para lansia pun dapat melakukannya.

Setelah berinovasi, datang lagi para lansia yang ingin berkegiatan. Slamet berpikir lansia ingin bernostalgia seraya mengingat masa lalu disaat mereka remaja pintar menganyam. Yang berbeda kini hanya bahan bakunya saja, dulunya menggunakan  pandan sekarang menggunakan kemasan plastik aluminium foil.

Hasil para lansia dipasarkan di berbagai pameran, kaki lima, dan  tempat lainnya. Akan tetapi  zaman waktu itu tidak berpihak pada hasil seni daur ulang yang mereka kerjakan, Slamet berkata banyak yang tidak mengerti. “Pernah ketika konsumen ingin membeli bertanya darimana asal bahannya, mereka banyak yang tidak jadi membeli paradigma tentang sampah mungkin dipikirnya kotor” tuturnya.  “Sekali waktu pernah ada  niatan juga untuk mensosialisasikan di sekolah, apa yang saya kerjakan dapat menjadi ekstrakurikuler di sekolah. Tetapi itu mentok, karena banyak yang beranggapan  buat apa anak didik diberikan pelajaran berupa mainan sampah”.

Tetapi Slamet tak patah arang, untungnya ada pihak yang membantu mempromosikan dan memfasilitasi karya daur ulangnya. Dari mulai saat itu workshopnya mulai disambangi oleh para pemerhati lingkungan dan masyarakat. “Visi dan misi Lumintu ini adalah memperkenalkan kreativitas kepada masyarakat dan anak-anak sekolah  dengan mengoptimalkan sampah menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain, dan sampai sekarang tidak berubah” tutur Slamet.

Hingga di tahun 2008, muncul tuntutan dari anak-anak muda yang tergabung dalam Lumintu yang  terinspirasi asumsi bahwa lansia saja bisa kenapa mereka tidak bisa.  Slamet mengapresiasikan ide  tersebut namun masalahnya  anak muda jika dikenalkan seni anyaman mereka menyerah duluan.

“Jadi saya mengenalkan seni anyaman yang mudah tekniknya dan kebetulan mereka senang berkreasi berbeda, menggunakan barang bekas untuk dijadikan kreasi yang unik” katanya.  Ditambah lagi dengan informasi soal dunia robot mulai booming di Indonesia. Mereka lalu membuat robot dari sampah daur ulang.

Slamet berprinsip Lumintu selalu mengedukasi masyarakat mengolah sampah untuk menjadi berkah para pembuatnya. Sebab, sampah sejatinya merupakan sebuah doa bagi mereka yang peduli dan melakukannya. Sampah adalah hasil karya manusia dan tidak ada harganya, akan tetapi jika manusia berpikir bisa bijaksana terhadap sampah, sampah pun akan membawa keberkahan. (1009)