Membaca buku sejarah bagi sebagian orang itu mengasyikkan, terlebih lagi jika buku itu masuk dalam kategori buku kekiri-kirian dan buku sejarah. Rasanya seperti memasuki dimensi yang berbeda saat membacanya. Tak heran jika buku dengan kategori ini termasuk buku yang banyak dicari oleh orang. Cek saja lapak-lapak online saling berlomba menjual buku dengan kategori ini.
Nah, berbicara soal buku sejarah umumnya mereka yang menulis buku dengan kategori ini adalah mereka yang dulunya kuliah di jurusan sejarah atau pernah bersinggungan dengan hal-hal yang berbau pendidikan sejarah. Namun yang satu ini sedikit berbeda, sebab banyak para penulis buku sejarah ternyata bukan dari jurusan sejarah dan terdorong oleh hobi yang tidak tertuntaskan pada masa mudanya karena sebab tertentu.
Contohnya saja Ivan Taniputera , penulis sekaligus kolektor buku asal Semarang. Kuliahnya dulu seperti yang dikatakannya, bukan dari jurusan sejarah melainkan dari jurusan Teknik di salah satu Universitas di Jerman. Lantas kenapa pria lulusan Jerman ini menyukai sejarah? “Saya suka sejarah ini hanya karena hobi saja” katanya.
Kegemarannya terhadap sejarah baik itu sejarah Indonesia maupun Barat seperti yang diakui oleh pria yang tinggal di Tanah Mas ini sejak dirinya masih duduk di sekolah dasar. Keinginannya pun nanti selepas sekolah ingin kuliah di Jurusan sejarah. Namun apa daya, kenyatan berkata lain orang tuanya tidak mengizinkan Ivan untuk kuliah di jurusan sejarah. Alasannya cukup klise, orang tuanya tidak melihat masa depan sang anak jika kuliah di jurusan itu. “Ya saya bisa berbuat apa, saya harus menuruti kemauan orang tua saya” kata Ivan.
Tapi namanya juga hobi yang baginya terbawa sampai mati, Ivan pun menuangkan hobinya tersebut dalam sebuah buku. Dengan sumber-sumber sejarah sekunder berupa buku yang banyak dia cari dimana saja termasuk di lapak buku online, buku sejarah pertamanya pun tercipta. Judulnya “Kerajaan-kerajaan Nusantara Pasca Keruntuhan Majapahit: Sejarah Dan Hikayatnya”. Terlihat dari judulnya, buku tersebut banyak menceritakan riwayat perkembangan berbagai kerajaan mulai dari zaman hikayat/penuturan lisan hingga tersedianya dokumen-dokumen sejarah, seperti laporan-laporan asing, naskah-naskah perjanjian (korte serta lange verklaring), dan lain sebagainya.
Tak ayal, buku tersebut menjadi referensi berharga bagi mereka yang ingin mengenal sejarah daerah masing-masing dan menjadi pelengkap bagi kajian sejarah nasional. Kita dapat menarik pula berbagai pelajaran berharga terkait kejatuhan berbagai kerajaan ke dalam belenggu kolonialisme.
Hanya saja soal buku sejarahnya ini ada yang bilang ini tak lebih dari kumpulan kompilasi belaka. Namun terlepas dari anggapan tersebut, Ivan yang notabene bukan berasal dari jurusan sejarah membuktikan dirinya mampu untuk menuliskan sebuah buku sejarah. Tak hanya satu buku saja yang berhasil dibuatkan, Ivan juga membuat buku yang mengulas mengenai sejarah China yang berjudul “History Of China” dan satu buku dengan judul “Sains Modern dan Buddhisme”.
Pecinta Dunia Militer
Selain Ivan Taniputera, ada lagi Priyono. Pria asal solo ini bisa dikatakan sebagai seorang penggila sejarah militer dan pernah bercita-cita menjadi seorang prajurit. ”Saya pernah ikut werving 93 tapi tidak selesai, saya bahkan sudah dapat nomor tes werving.Angkatan saya katanya masih rekor yang diterima 1200an seluruh indonesia. Yogyakarta yang ikut 700-an. Dari 700, susut sampai Semarang dan sampai Malang susut lagi” tutur Priyono.
Namun sial, ada satu kendala yang menghalanginya masuk tentara, yaitu tinggi tidak sesuai dengan standar yang diterapkan saat itu. “Tinggi saya saat itu hanya 160 m lebih, padahal saya berupaya untuk meninggikan tinggi dengan berenang” kata pria yang bekerja di bagian Litbang salah satu media di Solo ini.
Gagal menjadi prajurit boleh saja, tetapi itu tak menghentikan langkah “militer” Priyono untuk menyalurkan hasratnya, terlebih lagi dia banyak bergaul dengan kalangan militer dan suka menulis. Jadilah buku karya pertamanya yang berjudul “Infanteri: The Backbone of The Army” yang diterbitkan oleh Mata Padi Pressindo tahun 2012.
Dan sepertinya karyanya pun akan terus berlanjut, kini dia sedang mempersiapkan naskah bukunya yang membahas soal operasi Seroja di Timor Timor. Fasih Priyono bertutur kata soal operasi yang sebagian orang menganggap operasi ini sebagai momen invasi Indonesia ke tanah Timor Timur. Mulai dari peran tentara Kopasus atau yang saat itu bernama Kopassandha yang menurutnya krusial dalam operasi ini sampai senjata yang banyak digunakan
Priyono pun berkisah, “Kopassandha saat itu ada tim yang undercover, ada yang pakai seragam undercover sebelum 7 Desember 1975 dan menggunakan nama cewek seperti tim umi, tim susi, tim tuti yang aslinya merupakan tim nanggala” katanya. Dan mereka diterjunkan dengan satu kompinya hanya beberapa orang saja dan menyasar target-target vital atau strategis.
Kopassandha, kata Priyono, harus merebut dili karena pusat fretilin juga ibukota, kota terbesar kedua setelah Baucau. Dan baru direbut tanggal 9 atau 10 Desember 1975, operasi ini terkandung unsur politis dan militernya, politisnya diharapkan dapat ditumpas juga para pimpinan fretilin secara militer sebagai pancangan, gerak ke daerah berikutnya selain dari udara, dili juang diserbu lewat laut bila dili dikuasai. “Waktu 7 Desember 1975 Kopassandha merebut tempat-tempat penting senjata kita jelek SP-1 buatan pindad sering macet, amunisi jelek, kalau panas moncong memerah, tidak bisa dipasangi bayonet ini seperti yang dikatakan oleh para veteran” tuturnya. (1009)
Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?61867
Untuk melihat artikel Hobi lainnya, Klik di sini
Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________
Supported by :