perahu eretan“Arusnya lagi kenceng ya bang” kata salah penumpang perahu eretan yang siap dihantarkan oleh Sugihanto. “Iya lagi lumayan kenceng bu” Sugiyanto. Tak berapa lama pria asal Brebes ini secara perlahan mengemudikan perahu kayunya secara perlahan ke tepi seberang. Recehan keping tak lebih dari seribu rupiah pun masuk ke kotak kayu yang telah disediakan oleh Sugiyanto.

“Ya, sekali jalan minimal seribu rupiah bolak balik gak seberapa banyak” katanya kabarinews.com. Jumlah itu pun tergantung dari keikhlasan dari penumpang yang dibawa olehnya. Dalam sehari penghasilan Sugiyanto tak menentu. “Bisa lebih besar atau kecil lagi uang yang dikasih penumpang” tuturnya.

Perahu eretan yang dinahkodai oleh Sugiyanto merupakan pemandangan biasa yang sering dijumpai di sungai yang berada di samping jalan Gunung Sahari Raya. Perahu ini melayani penumpang yang ingin menyebrang dari jalan Gunung Sahari Raya ke Jalan Kartini Raya begitupun sebaliknya. Perahu eretan, berbeda dengan perahu-perahu pada umumnya karena tidak menggunakan mesin melainkan dijalankan dengan tenaga manusia. Dengan kawat  terbentang di ‘dermaga’ di sisi sungai itu perahu ini bisa bergerak maju mundur.

Perahu Eretannya biasa bersandar di belakang jejeran kios ikan hias di Jalan Kartini. “Saya mulai ngangkut penumpang dari jam tujuh pagi sampai sembilan malam” papar Sugiyanto. Perahunya pun dapat mengangkut sampai sekitar 20 orang dan kebanyakan penumpangnya adalah masyarakat umum dan para pekerja yang berkantor di sekitaran Gunung Sahari. “Ramainya itu waktu sore, bisa ngantri naik perahu ini” katanya.

Sugiyanto, nahkoda kapal eretanSugiyanto mengatakan tadinya ada beberapa perahu eretan di sungai ini. Tapi berhubung banjir kemarin dan arus sungai yang kuat ada perahu yang harus tengelam tak kuat menahan arus sungai. Perahu eretannya pun sampai terangkat lumayan tinggi. Sugihanto seraya menunjuk bekas cat merah di tiang kayu dermaga sebagai bukti perahu terangkat cukup tinggi. “Cat merah itu dari kapal ini, cat bawahnya kan berwarna merah” katanya.

Hanya saja Sugiyanto bukan merupakan pemilik perahu eretannya ini.  “Perahu ini ada yang punya dan tiap hari saya harus setor lima puluh ribu” katanya. Dia menjadi nahkoda perahu ini baru beberapa tahun. Tadinya, kata pria yang telah dikarunia tiga anak ini, dirinya bekerja serabutan dari menjadi supir angkot sampai tukang ojek. Bahkan, menjadi seorang kuli tani disaat tak menjadi nahkoda perahu eretan. “Ya jadi kuli tani saja macul sawah di Brebes waktu pulang kampung, maklum gak punya sawah” paparnya.

Menjadi nahkoda kapal ini tentu ada suka duka yang dirasakan oleh Sugiyanto. Dia mengatakan paling tidak enak baginya adalah ketika harus “jaga” malam perahu eretannya. Terkadang ada saja mobil tangki yang isinya tinja  membuang isinya di sungai ini. Bisa dibayangkan baunya seperti apa, bagus jika tidak ada baunya, katanya, sampai-sampai Sugiyanto harus mual-mual mencium bau tinja yang ada di sungai itu. Tak hanya Sugiyanto saja yang harus merelakan hidungnya tersengat bau tinja. “Pedagang makanan di pinggiran sungai jalan Kartini disini kalau malam sama kayak saya, kadang-kadang saking keselnya pernah truk tinjanya itu sampai dikejar-kejar” tuturnya. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?62174

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan