KabariNews – Walau terlahir sebagai penyandang tunarungu, Rachmita Harahap berhasil membuktikan bahwa tunarungu pun dapat berprestasi di bidang pendidikan. Tak tangung-tanggung, Rachmita yang kini menjadi dosen perguruan tinggi swasta di Jakarta ini mendirikan Sehjira Foundation. Sebuah yayasan yang memberikan kemandirian terhadap penyandang tuna rungu dengan memberikan berbagai pelatihan keterampilan.

Pembukaan Rakernas HWDI di Aula Kartini Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Pembukaan Rakernas HWDI di Aula Kartini Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Sekilas penampilan wanita yang satu ini sama seperti wanita kebanyakan lainnya. Ia tampil percaya diri di acara pembukaan Rakernas Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) di aula Kartini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Rachmita Harahap namanya atau biasa disapa Mita. Ditemani anak semata wayangnya, Nabilla Putri Rasheedah, ia tampil percaya diri. Kekhasannya baru terlihat ketika diajak berbincang. Suara yang keluar dari mulutnya terbata-bata. “Sejak kecil saya tunarungu, jadi ngomongnya ya seperti ini,” kata Mita kepada KABARI.

Ternyata Mita merupakan satu dari 4 anak dari 6 buah hati pasangan Masniari Siregar dan Ali Panangaran Harahap. Ia dilahirkan sebagai anak ke-4 pada 1969. Ia maupun tiga kakaknya tunarungu. “Keluarga besar semuanya normal, hanya keluarga saya saja yang banyak tuna rungunya,” kata Mita. Namun keterbatasan ini tidak lantas menjadi masalah. Ia dapat berkomunikasi lancar dengan mereka semua, juga bisa bertoleransi, bertukar pikiran, saling mendorong, sehingga tidak merasa sendiri di dunia ini.

Mita menaruh hormat kepada ibunya tercinta. “Mama pribadi yang luar biasa tegar dalam merawat anak-anaknya yang lahir berbeda dari orang kebanyakan. Mama tidak pernah minder atau malu dengan kondisi diri kami. Bahkan Mita kecil dan kakak-kakaknya diperlakukan sama seperti adik-adiknya yang normal. Dari balita, ia pun sudah terbiasa membaur dengan masyarakat. Apa rahasianya hingga dapat bersosialisasi dengan baik?

Yang pertama kali dilakukan adalah bersahabat dengan diri sendiri, menerima kenyataan yang ada yang terlahir sebagai tunarungu. Dengan memahami kondisi ini, perlahan akan tumbuh rasa percaya diri dan juga bisa mensyukuri karunia Tuhan.

Mita yang sulit bicara karena tunarungunya, dari kecil sudah belajar terapi wicara. Dia belajar sendiri dengan dibantu saudara-saudara dari keluarga besarnya. “Saudara banyak mendorong saya agar terus belajar dan tidak pernah berputus asa,” tuturnya.

Beserta Promotor dan peserta Miss Mister Deaf World - Indonesia 2015

Beserta Promotor dan peserta Miss Mister Deaf World – Indonesia 2015

Mita pun bisa berprestasi di sekolah normal. Dia berhasil lulus di SDN Kertajaya 10 dan SMPN 6 Surabaya, yang saat itu merupakan sekolah favorit dengan nilai memuaskan. Begitu juga saat lulus SMU 1 Serang, nilainya gemilang. Bahkan sewaktu SMU, ia ikut berbagai kegiatan ekstrakulikuler seperti tenis dan marching band. Ia terpilih sebagai mayoret terbaik di Kota Serang.

Untuk jenjang pendidikan tinggi, Mita berniat masuk universitas, tetapi niatnya sempat terhalang oleh biaya. “Ayah saya mau pensiun waktu itu. Bagaimana soal dana pendidikan saya? Akhirnya Ayah tetap mendukungnya untuk kuliah. Biar Bapak yang pikirkan, katanya. Mendengar perkataan sang Ayah, Mita pun ikut ujian UMPTN dengan target masuk Universitas Indonesia atau Institut Teknologi Bandung.

Namun, usahanya gagal. Mita pun memutuskan kuliah di Universitas Mercubuana, mengambil jurusan Teknik Arsitektur, diterima lalu lulus dengan predikat cum laude. Dengan meraih prestasi tersebut, Mita mendapat beasiswa dari Probosutedjo (Ketua Yayasan Menara Bhakti) untuk melanjutkan studi Program Magister Seni Rupa dan Desain di ITB, dan lulus dengan nilai yang baik.

Setelah meraih S2, Mita kembali ke Universitas Mercubuana untuk mengajar. Pada tahun 2000, statusnya sebagai karyawan kontrak di Bagian Perancang Pengawasan dan Penataan Fasilitas Gedung dan Ruangan Kampus, sambil menjadi Dosen Tidak Tetap Jur. Teknik Arsitektur. Tahun 2005, statusnya masih dosen tidak tetap. Mita sedih, karena belum juga diangkat menjadi Dosen Tetap. “Saya merasa ada diskriminasi. Kenapa saya hanya dilihat dari fisik saja, bukan dari kemampuan saya mengajar di kelas?” tuturnya.

Daripada rungsing sendiri, Mita segera menghadap Rektor dengan membawa dokumen-dokumen dan bantuan dari teman-temannya di lembaga bantuan hukum. Alhasil, sejak Oktober 2005 statusnya berubah menjadi karyawan tetap di Bagian Workshop Desain Interior Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Sampai saat ini Mita satu-satunya dosen penyandang tunarungu di universitas Mercu Buana. Selama mengajar, Mita mengaku tidak ada masalah dan kesulitan dalam memberikan materi perkuliahan kepada mahasiswa. Ia hanya cukup beradaptasi saja dengan keadaan yang ada, tanpa melihat kekurangan di dalam dirinya. Sebelum mengajar, ia terlebih dulu membuat konsep materi dan menerangkan kepada mahasiswa dengan menggunakan perangkat multimedia.

Rachmita bersama Anak tercinta

Rachmita bersama Anak tercinta

“Memang ada saja yang masih ragu dengan kemampuan mengajar saya. Tetapi buktinya? Sampai saat ini tidak ada mahasiswa yang komplain diajarkan oleh saya,” kata Mita.

Kegiatan Mita saat ini juga disibukkan dengan kuliah S3-nya di Universitas Trisakti. Ia mengalami bidang Persepsi Mahasiswa Tunarungu Terhadap Akses Visual di Perguruan Tinggi.

“Metode pengajaran di ruang kuliah bagi anak mahasiswa tunarungu banyak yang tidak efektif. Jadi, harus dicari cara agar materi dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa dengan kebutuhan khusus. Tujuannya, agar proses belajar-mengajar diterima efektif oleh mahasiswa tunarungu. Selain itu para dosen juga harus bisa menguasai bahasa isyarat, berlatih komunikasi dengan mahasiswa tunarungu.”

Sehjira Foundation

Mita seorang wanita yang selalu aktif. Selain mengajar sebagai dosen, ia tetap aktif di kegiatan sosial bersama para tunarungu. Rasa ingin membantu sesama kaum disabilitas membuatnya memutuskan untuk mendirikan Yayasan Sehjira pada 5 Desember 2001. Yayasan Tunarungu Sehjira (Sehat Jiwa Raga) didirikan olehnya beserta sekumpulan relawan yang memiliki hambatan pendengaran sebagai upaya menggalang dana dan menyediakan informasi seputar pendidikan dan lapangan kerja bagi penyandang hambatan pendengaran. Sehjira juga memberikan dukungan kepada para penyandang tunarungu untuk mendapatkan kesetaraan.

Menjadi pembicara Membangun Kampus yang Aksesibel Bagi Mahasiswa Disabilitas

Menjadi pembicara Membangun Kampus yang Aksesibel Bagi Mahasiswa Disabilitas

Melalui Sehjira, Mita ingin memotivasi kaum tunarungu untuk bersemangat mewujudkan sesuatu yang tidak bisa menjadi bisa. Memberikan kebutuhan untuk teman-teman tunarungu dan memberikan pengenalan terhadap potensi dalam diri. Sebagai lembaga non-profit, Sehjira mengembangkan organisasi ini agar eksistensinya dapat membantu pengembangan potensi para anggota untuk mendapatkan hak dan kehidupan yang layak di masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, Sehjira memberikan pelatihan kemandirian, menumbuhkan konsep diri positif pada remaja tuna rungu, pelatihan transformasi diri bagi anak tunarungu, pelatihan Kemandirian Tunarungu Bekerja, program diversifikasi peluang bekerja, pelatihan wirausaha mebel, pelatihan pembuatan film (sablon), memberikan pelatihan komputer, dan yang lain-lainnya.

Mita menekankan, dengan kesabaran, ketabahan dan ketekunan dalam menghadapi berbagai rintangan karena semakin mendapat kegagalan lama-lama semakin akan mendapat keberhasilan karena ujian atau rintangan itu merupakan ujian Tuhan. Dan harus sabar menghadapi semuanya. Kalau tidak sabar dan tekun tidak mungkin sukses. “Saya ingin mendorong teman-teman tunarungu untuk lebih bersemangat menimba ilmu dan keterampilan.” pungkas Mita. (1009)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/77614

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln

 

 

 

 

kabari store pic 1