38844_73298Pemimpin baru Indonesia harus memiliki komitmen yang lebih kuat untuk menyelamatkan hutan dan gambut serta menjamin hak dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Hal ini disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global dalam siaran persnya (21/5).

Untuk mengoptimalkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, Koalisi mendesak pemerintah yang akan datang untuk menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut, memperketat pengawasan dan penegakan hukum, serta meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.

Kebijakan penundaan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang lazim disebut sebagai moratorium belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehutanan Indonesia, padahal masa berlakunya tinggal satu tahun lagi. Pemerintah masih setengah hati menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut yang tersisa dengan memanfaatkan berbagai celah dalam kebijakan yang memang tidak memiliki sanksi ini.

“Di tahun 2014 ini, kita menyaksikan kebakaran hebat yang seharusnya bisa diminimalkan dengan adanya kebijakan moratorium,” ujar Teguh Surya, Pengkampanye Politik Hutan Greenpeace. “Hingga Februari 2014 saja, telah terjadi kebakaran lahan gambut hebat di Provinsi Riau, di mana 38,02 persen di antaranya berada di wilayah PIPIB revisi 5.” Situasi ini membuktikan ketidakseriusan dan minimnya perhatian pemerintah untuk melindungi hutan dan gambut tersisa walaupun aturan perundang-undangan dengan sangat jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemegang izin konsesi wajib melindungi hutan dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan gambut di areal izinnya.

Selain karena kebakaran, hutan Indonesia juga terancam oleh masifnya alih fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan mega proyek yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan lokal. “Pasal pengecualian dalam moratorium dimanfaatkan demi kepentingan proyek-proyek perkebunan skala besar,” ujar Franky Samperante dari Yayasan Pusaka. “Dalam kasus MIFEE di Kabupaten Merauke, hutan alam, hutan rawa dan savana tempat hidup orang Marind dicaplok, dirampas, dan dialihfungsikan untuk pembangunan industri pertanian dan perkebunan skala besar dengan luas mencapai 1.553.492 hektar atas nama ketahanan pangan dan energi”.

Selain itu, di tahun 2013 pemerintah daerah Papua Barat mengusulkan revisi RTRWP dengan perubahan peruntukkan (pelepasan kawasan hutan) seluas 952.683 hektar dan perubahan fungsi seluas 874.914 hektar, sebuah angka fantastis yang akan memperparah laju kerusakan hutan di Indonesia. Abu Meridian dari Forest Watch Indonesia menambahkan, “Tidak hanya Papua Barat, Kepulauan Aru yang tergolong ke dalam kategori pulau kecil juga terancam oleh pengalihan kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan tebu yang dikecualikan dalam Inpres Moratorium. Meskipun rencana tersebut dinyatakan batal oleh Menteri Kehutanan, ancaman belum hilang karena saat ini ada rencana pembukaan perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina.

”Dari aspek penyelesaian konflik kehutanan, pemerintah cenderung lambat merespon kepentingan masyarakat adat dan lokal yang hak-haknya dilanggar. “Konflik kehutanan tidak akan selesai selama tata kuasa hutan begitu timpang, dengan penguasaan masyarakat yang kurang dari 2 persen sementara pemilik izin besar menguasai lebih dari 98 persen. Oleh karena itu diperlukan peninjauan kembali izin konsesi yang tumpang tindih dengan ruang kelola masyarakat,” ujar Henky Satrio dari AMAN.

Selain itu, Koalisi juga menuntut pengesahan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan implementasi Putusan MK 35 yang prosesnya terbilang lambat. “Pemerintah harus segera mengesahkan UU payung untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menetapkan hutan adat sebagai langkah awal untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat atas hutan,” imbuhnya. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?66360

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :

intero