Ketua Kadin, Suryo B Sulisto.

Fakta yang ada, tiap tahun kian bertambah sarjana yang menganggur. Setidaknya, demikian catatan yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS). Banyak sebab di balik fenomena ini untuk mampu menjawab tantangan dunia kerja pada tahun 2020 nanti

Lulus dari perguruan tinggi tampaknya tidak serta merta menjamin seseorang beroleh pekerjaan, setidaknya di sektor formal. Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2012 mencatat, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja ada 110,8 juta orang, yang didominasi oleh lulusan pendidikan sekolah dasar (SD) sebanyak 53.88 juta (48,63 persen), sekolah menengah pertama (SMP) 20,22 juta (18,25 persen), sedangkan universitas hanya 6,98 juta orang (6,30 persen) dan Diploma 2,97 juta orang (2,68 persen).

Keterangan Muhaimin

Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Suryo Bambang Sulisto di Jakarta kepada pers beberapa waktu lalu, salah satu penyebabnya adalah terjadinya kesenjangan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Tiap tahun pertumbuhan tenaga kerja mencapai 2,91 juta orang, sedangkan lapangan pekerjaan yang ada hanya 1,6 juta orang. Ketimpangan ini yang menyebabkan lahirnya pengangguran intelektual.

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, lebih menengarai ketidaksiapan alumni perguruan tinggi dalam menjawab kebutuhan dunia kerja. Kurikulum dan target pendidikan tinggi semata mengejar target jumlah lulusan ketimabng menghasilkan tenaga kerja yang andal dan betul-betul siap mengisi bursa kerja.

Pendekatan Pendidikan Yang Kurang Pas

pelamar-kerja

Pendidikan adalah proses investasi jangka panjang dalam membentuk sumber daya manusia (SDM) sebagai aset penting dalam pembangunan bangsa. Negara maju sudah sangat menyadari hal ini, sehingga mereka terus menyempurnakan sistem pendidikan dan proses pelaksanaannya, dari hulu ke hilir.

Bagaimana dengan di Indonesia? Agaknya kita harus membenahi sektor pendidikan secara serius, dimulai di seluruh jenjang, dari Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pendidikan yang tak sekadar membekali siswa dengan keterampilan berhitung, membaca dan menulis, melainkan membangunnya menjadi manusia yang utuh. Ber-IQ tinggi, juga memiliki emotional quotient (EQ) yang baik, taat beribadah serta memiliki karakter yang positif. Di antaranya jujur, beradab, berwawasan luas, giat bekerja, mau belajar dan kreatif dan proaktif.

Dari tangga-tangga pendidikan itu, secara bertahap peserta didik dilatih hingga sampai ke bangku kuliah, mereka kelak memiliki bekal keterampilan dan keahlian untuk terjun ke dunia kerja secara praktis. Jadi, tidak semata dijejali dengan teori-teori saja. Tidak seperti realita yang terjadi selama ini, sarjana baru saja lulus dia mempunyai nilai akademis yang sangat bagus, tetapi pada saat wawancara kerja, tak mampu menjawab pengetahuan dasar tentang kegiatan perusahaan.

Ada catatan menarik yang diungkapkan oleh Ahmad Bagus Santoso, Departemen Sumber Daya Manusia di PT Indocyber Global Teknologi saat pencarian kerja oleh JobsDB Career Expo di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu banyak sekali pelamar yang datang dengan membawa ijazah dan catatan nilai dengan Indeks Prestasi (IPK) tinggi, tapi mereka sangat mengecewakan, karena pengetahuan standar saja tak mampu menjawab.

Pendidikan Vokasi (Keterampilan)

Kegiatan gali potensi.

Dalam pada itu Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia, Syarief Hasan, memberi masukan dari apa yang dicermatinya selama ini. Pengangguran intelektual yang tinggi di masyarakat, karena peserta didik kebanyakan memburu lowongan kerja di sektor formal, misalnya dengan bekerja di kantor sebagai pegawai. Padahal peluang untuk berkarya dan berpenghasilan yang baik tidak melulu di sana. Terbuka luas peluang bekerja di sektor wirausaha. Karena itu sejak di bangku sekolah dan kuliah, para peserta didik semestinya telah mulai terjun ke sektor wirausaha, terlebih ada fasilitas pinjaman dana bagi mahasiswa yang ingin membuka usaha.

Pendapat senada pernah disampaikan oleh Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Priyo Suprobo, bahwa tingginya angka pengangguran intelektual akibat masih kurangnya minat ke pendidikan vokasi (keterampilan) di masyarakat. Pemerintah perlu mengubah fokus pendidikan tinggi ke bidang vokasi (keterampilan).

Diketahui, pendidikan vokasi seperti politeknik justru kekurangan lulusan untuk disalurkan ke dunia kerja akibat minimnya minat mahasiswa yang mengambil program pendidikan tersebut. Juga karena penyelenggaraan pendidikan vokasi membutuhkan dana yang besar untuk praktikum mahasiswa hingga benar-benar menghasilkan tenaga kerja yang terampil. Untuk itu pemerintah sepatutnya memberikan dana pendidikan yang lebih besar untuk pendidikan vokasi.

Pemuda agen perubahan.

Priyo Suprobo sempat mengatakan lagi, perguruan tinggi perlu membekali mahasiswanya dengan soft skill, terutama pada perilaku dan keterampilan wirausaha. Kedua hal itu sangat berguna bagi mahasiswa. Sebaiknya sejak awal, peserta didik juga aktif di organisasi, selain menjadi ajang pelatihan berkomunikasi, menjalin hubungan pertemanan dan kelak menjadi jaringan (network) yang efektif untuk pengembangan usaha di masa depan.

Senada dengan itu, Prof Ir Joetata Hadihardja, pendiri Universitas Semarang, mengatakan, di samping memiliki bekal hard skill dengan pengetahuan akademis di kampus, mahasiswa mesti membekali dirinya dengan kemampuan soft skill di luar kampus. Misalnya, dengan bergaul dan ikut organisasi kepemudaan atau hobi atau apa pun yang intinya menambah jaringan pertemanan dan relasi, juga memperluas wawasan. Kelak setelah lulus menjadi sarjana, mereka dapat melakukan lompatan agar tidak terlilit dalam lingkaran pengangguran.

Ikhtiar Pemerintah

Sukses Diaspora.

Pendidikan tak bisa berjalan sendiri, melainkan melibatkan seluruh komponen di masyarakat. Adanya pengangguran intelektual yang tinggi, pemerintah tidak tinggal diam. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) membuat Program Tenaga Kerja Sarjana (TKS) untuk mengurangi pengangguran. Sarjana yang terpilih diberi pemahaman dan pelatihan tentang dunia kerja secara praktis, dan mendapat imbalan pula.

Bahkan dikatakan oleh Muhaimin, setiap tahun pemerintah merancang strategi untuk menciptakan lapangan pekerjaan baik formal dan informal, yang diharapkan dapat menyerap para pengangguran intelektual ini. Pilihan lainnya adalah dengan mengikuti program transmigrasi, artinya mereka dapat melakukan pengembangan lahan-lahan pertanian dan industri pengolahan di kawasan transmigrasi.

Sementara itu Kementerian Pendidikan yang mengurusi pendidikan non-formal dan informal (PNFI) tak kalah menciptakan rancangan program untuk memberikan bantuan dana pada berbagai program pendidikan dan pelatihan. Misalnya, pendidikan tentang kecakapan hidup dan juga berupa kursus-kursus pelatihan. Diharapkan, setelah mengikuti program tersebut, masyarakat, khususnya para pengangguran intelektual ini, tergerak untuk bekerja atau membuka lapangan pekerjaan sendiri, sehingga lama kelamaan angka pengangguran dapat lebih ditekan.Bila ada celah-celah untuk mengisi dunia kerja seperti itu, sayangnya, seperti masukan dari masyarakat, informasi mengenai hal ini sangat kurang. Mereka berharap agar informasi mengenai tempat-tempat pelatihan seperti Balai Latihan Kerja (BLK) dikembangkan dan dibuat semenarik mungkin. Juga pengumuman tentang lowongan pekerjaan disebarkan secara baik sehingga cepat terpantau.

Menjawab Tantangan Kerja 2020

Diaspora Indonesia.

Selain membenahi sistem pendidikan dan kurikulumnya dari tingkat terendah hingga Strata 3, sangat bagus jika para peserta didik sendiri membuka wawasan mereka dengan menjalin hubungan dengan teman sebaya di berbagai negara, maupun para pelaku dunia kerja di mancanegara. Tak tertutup memperluas jaringan dengan para diaspora di luar negeri, seperti dinyatakan oleh Kementerian Luar Negeri, bahwa lebih banyak lagi diaspora Indonesia yang mau kembali ke Indonesia untuk membangun negara dengan berbagai kontribusi positif mereka masing-masing.

“Setidaknya Kongres Diaspora Indonesia II (KDI-II) pada 18-20 Agustus lalu di Jakarta, merupakan salah satu cara untuk menarik minat seluruh diaspora Indonesia agar mau berbuat sesuatu kepada negaranya,” kata Kepala Desk Diaspora Indonesia Kementerian Luar Negeri Wahid Supriyadi beberapa waktu lalu pada acara KDI di Balai Sidang, Jakarta.

Selain itu penting menjalin hubungan baik dengan institusi dunia, seperti IFC (International Finance Corporation), yaitu anggota Kelompok Bank Dunia, yang banyak mengupas tentang masalah pekerjaan dan pengangguran di negara-negara berkembang maupun negara maju. Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah gereget para sarjana itu untuk meningkatkan keterampilan dan keahliannya berperan aktif di dunia kerja. Untuk menjawab tantangan kerja 2020 adalah kembali pada sarjana itu sendiri untuk menjadi pelaku, bukan penonton. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?58447

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :

lincoln