Sejuta permasalahan diderita Tenaga Kerja Indonesia (TKI) perempuan di Arab Saudi. Dari gaji tak dibayar, disiksa sampai jadi korban kekerasan seksual, seperti dialami Rin (bukan nama sebenarnya – Red). Ia diperkosa majikannya hingga hamil, tapi Nyonya Rumahnya justru menyeretnya ke kantor polisi. Ia pun dipulangkan tanpa menerima gaji. Kepada Kabari ia berbagi derita hatinya, di sebuah dusun di sudut kota Sukabumi, Jawa Barat.

Tidak mudah membuat Rin bisa dan mau diajak bicara. Pasalnya, tetua adat, keluarga dan Rin sendiri sangat menutup diri. Mereka bilang, untuk apa aib dikorek-korek. Setelah melakukan pendekatan dengan berbagai pihak, Kabari berhasil mewawancarainya. Tampak sekali Rin menanggung beban psikologis yang begitu berat. Sorot matanya nyaris kosong. Bicaranya pun tergagap, patah-patah, seolah menahan emosi dari rasa sakit, kebingungan yang melilit batinnya. Kejahatan seksual perkosaan di Jeddah itu menyisakan tragedi hitam, yang katanya akan terus dibawanya sampai mati.

Tak jauh darinya, seorang balita, sebut saja Aldi, tampak tertidur pulas. Dilihat dari sosok lahirnya, ia kuat mewarisi gen ayah biologisnya, seorang Arab. Rambut keriting, hidung mancung dan kulit yang putih. Belakangan, ujar Rin, ia kerepotan menjawab pertanyaan Aldi yang sering menanyakan siapa ayahnya. Kenapa dia tidak punya bapak seperti teman-temannya di kampung.

Dicerai & Diusir Dari Kampung

Rin kini tinggal bersama ibu dan anaknya saja. Ayahnya telah tiada sejak ia usia 5 tahun. Sang suami telah menceraikannya begitu melihat Rin pulang sedang berbadan dua. Masih segar di ingatannya hari ia tiba di rumahnya. Hari itu rumahnya menjadi heboh. Begitu melihat keadaan dirinya, sang suami langsung ngamuk, dan pergi meninggalkan rumah. Sejak itu ia tak pernah kembali lagi.

“Saya hanya bisa pasrah. Saya tahu dia (suami- Red)) sangat marah dan kecewa. Kami menikah tiga tahun, tapi belum punya anak. Tapi waktu kerja di Arab, saya pulang dalam keadaan hamil. Tapi…, saya juga tidak mau mengalami keadaan ini. Saya hamil karena perkosaan…,” sesaat nafas Rin memburu. Lalu ditekannya emosinya hingga mereda kembali.

Ceritanya berlanjut. Sewaktu hamil tua, ia dipulangkan oleh majikannya. Tanpa gaji, hanya pegangan 100 real, sekitar 250.000 rupiah! Ia merasakan beban hidup yang berat. Uang tak punya, perut besar, dan yang paling berat, harus menanggung aib dan bikin malu orang tua. “Kasihan Mak,” katanya. Air matanya sudah kering.

Ia sadar risiko yang dihadapinya sangat berat kalau pulang ke kampung. Selain dicerai suami, juga kemungkinan terburuk, diusir warga kampung. Benar saja, tetangga-tetangganya sempat berbondong-bondong mendatanginya. Meneriakkan kata-kata kasar, menolak keberadaannya di kampung itu. Bawa sial, kata mereka.

Waktu itu Rin hanya bisa menangis, duduk di lantai ruang tamu. Ibunya keluar menemui mereka, tapi itu tidak cukup mengundang belas kasihan. Mereka makin beringas, dan hendak merangsek masuk rumah, menyeret Rin keluar. Amarah warga tak bisa dikendalikan lagi. Dalam keadaan genting itu, datang ulama di dusun itu.

“Pak Ustadz menjelaskan, kalau saya bukan penjahat, tetapi korban kejahatan perkosaan. Semestinya dirangkul dan ditolong, bukan dimusuhi atau diusir. Anak yang saya kandung, katanya, suci. Bukan anak haram. Yang berdosa adalah pelaku yang menyebabkan bayi itu lahir ke dunia,” tiru Rin. “Benar sekali. Beban yang saya tanggung, lahir dan batin, sangat berat. Kalau boleh memilih, saya tidak mau mengalaminya. Andai mereka mengusir saya, lalu saya akan tinggal di mana? Bagaimana juga anak saya? Bisa menggelandang, jadi gembel…”

Diperkosa & Hamil Diseret ke Polisi

Dari catatan Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), setelah pemberlakuan moratorium (penundaan atau penghentian sementara- Red) pengiriman TKI ke Arab Saudi, ada 2.230 TKI dipulangkan ke Indonesia. Yang sangat mencengangkan lagi, dari 1.903 orang dewasa pria dan wanita, terdapat 327 anak-anak dan bayi. Berarti sekitar 17% TKI punya anak selagi bekerja di sana. Bila sampai Juli 2012 ada 1,1 juta orang TKI, maka kemungkinan TKW dari Arab Saudi pulang bisa membawa lebih 170 ribu anak!

Merujuk ke kasus yang dialami Rin, ini akibat dari pengiriman TKW ke sana. Masalahnya menjadi bertambah berat, tatkala korban tidak didampingi oleh pengacara. Selain memiliki kendala bahasa, di sana juga masih kuat mengakar adat tradisi yang bersifat turun temurun. Tenaga kerja domestik atau pembantu rumah tangga (PRT) dianggap sebagai budak, yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Karena sudah merasa membayar, PRT disiksa pun menjadi hal yang wajar dan ‘sah’ di mata sang majikan.

Di bidang hukum pun demikian. Masalah PRT tidak masuk ke ranah hukum umum, melainkan diserahkan kepada hukum privat atau pribadi. Pelaku perkosaan jelas sang majikan laki-laki. Tapi ia tidak disentuh sama sekali atau dituntut harus bertanggung jawab. Melainkan si budaklah yang diseret ke pihak berwajib. Rin yang dipersalahkan.

Sampai kehamilan Rin membesar, pada Maret 2010, ia dipulangkan ke Indonesia. Uang untuk membeli tiket pesawat diambil dari gaji Rin yang belum dibayarkan, dan sisanya tidak diberikan. Maksud mengumpulkan real di Arab Saudi, ia pulang membawa anak.

Kondisi Setempat Memungkinkan

Kabari sempat mewawancarai Didi Wahyudi, mantan Koordinator Fungsi Konsuler/Pejabat Fungsi Konsuler (PFK)-1 yang merangkap selaku Koordinator Pelayanan (dan Perlindungan) Warga serta sebagai Kepala Kanselerai di Jeddah, Arab Saudi. Dijelaskannya,bila sekian banyak anak lahir di tengah TKI di sana, salah satu sebabnya adalah kondisi setempat.

Menurutnya, perkosaan bisa saja terjadi. Tetapi selain itu, cukup banyak ditemukan kasus kehamilan di luar nikah antar pekerja itu sendiri. Bila tidak menjadi korban majikan, bukan tidak mungkin ‘bermain api’ dengan sesama pekerja yang berasal dari berbagai negara, seperti Bangladesh.

Dan, karena kondisi alam di sana, bangunan rumah dibuat menyerupai benteng tinggi yang tertutup rapat. Pagar pun dibuat tinggi-tinggi. Majikan dan keluarganya tinggal di tingkat dua, sedangkan para tenaga kerja domestik di bawah. Jadi, di lantai itulah para pembantu yang berlainan jenis kelamin tinggal, tanpa pengawasan dari majikan. Apa pun bisa saja terjadi. Terbukti tidak sedikit TKW yang kemudian pulang punya anak dengan fisiknya mirip seperti orang Bangladesh dan sebagainya.

Dikatakan Didi, sesungguhnya masih banyak permasalahan yang dialami para TKW. Sejak pemberlakuan moratorium, kondisi TKI jauh lebih baik. Dari masukan yang ada, justru TKI yang baru masuk itulah yang menyebabkan masalah-masalah pelik. Sementara para TKI lama sudah bisa menyesuaikan diri dengan keadaan setempat dan bekerja dengan baik.

“Kini sejak ditunjuknya retainer lawyer oleh pemerintah Indonesia, para TKI bisa sejak awal mendapatkan pendampingan secara hukum. Penanganan yang sudah dilakukan oleh Satgas WNI/TKI sepatutnya terus dilanjutkan di masa depan,” ujarnya, sambil menambahkan, “Sangat perlu dilakukan pembenahan dalam penanganan TKI ke Arab Saudi, dimulai dengan pembekalan-pembekalan sebelum diberangkatkan.” (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?51729

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :