Acong terkejut melihat beberapa pemuda bermata sipit mengenakan baju kotak-kotak ala Jokowi-Ahok di Berkeley. Mereka duduk bersama di satu restoran, dan terdengar riuh ngobrol dalam bahasa Indonesia. Siang itu Labor Day 2012 di AS, 17 hari menjelang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Gempita pemilihan kursi nomor 1 dan 2 di Jakarta, ternyata tidak hanya ramai di tanah air dan internet. Tapi, terlihat juga dengan “fashion statement” di California.

Siapa Ahok? Itu sapaan akrab untuk Basuki Tjahaja Purnama, calon Wakil Gubernur DKI Jakarta asal Belitung yang notabene Kristen dan Tionghoa. Ahok yang minoritas ini menang telak dalam Pemilu Bupati Belitung Timur di tahun 2005. Asal tahu saja, mayoritas penduduk Belitung pemeluk Islam. Ahok dianggap sebagai bupati bersih dan sukses dengan program yang menjangkau rakyat kebanyakan di Belitung.

Acong, nama panggilan akrab buat satu hoakiau yang mengungsi dan menetap di Amerika gara-gara Kerusuhan Mei 1998. Seperti Ahok, Acong pergi ke gereja dan bermata sipit. Waktu hengkang dari Jakarta lebih dari 10 tahun lalu, Acong ingat betul mana ada orang Tionghoa yang mencalonkan diri dalam Pilkada. Zaman kerusuhan menghantam kota-kota Indonesia, banyak orang Tionghoa memilih menutup diri dan mencari selamat. Di tahun 2012, siapa sangka ada Tionghoa nekad mencalonkan diri wakil pemimpin Ibukota, etalase Indonesia?

Lewat twitter, blog dan facebook, Acong mengikuti betul pencalonan Ahok sebagai orang nomor dua di Jakarta. Awalnya kurang sreg. Pasalnya, Acong tidak mengerti bagaimana mungkin Ahok mau-maunya digandeng oleh Prabowo Subiyanto (Partai Gerindra).

Sejak awal perjalanan Ahok melewati Pilkada, Jakarta tidak pernah sepi dari terpaan isu SARA. Mulai dari video youtube “Koboy Cina Pimpin Jakarta” yang mengancam warga Tionghoa terulangnya tragedi Mei 1998 jika mereka memilih Ahok. Selebaran gelap dan akun twitter yang secara gencar mendiskreditkan Ahok, sampai khotbah Rhoma Irama yang menghimbau satu jamaah di Jakarta untuk memilih pimpinan Jakarta yang sama agamanya. Bahkan, Nara, pasangan Foke, masih sempat-sempatnya mengucapkan salam “haiya” yang lebih dinilai sebagai hinaan (bukan gurauan akrab) buat Ahok dalam sebuah acara debat televisi.

Semua serangan berbau SARA ternyata tidak membuat takut warga Tionghoa Jakarta. Pasangan Jokowi-Ahok tidak hanya menang di kantong-kantong warga Tionghoa Jakarta. Bahkan, banyak anggota PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pun yang memilih Jokowi-Ahok, bukan pasangan Foke-Nara yang diusung PKS.

20 September 2012 Pilkada Jakarta putaran kedua dilangsungkan. Hasil hitung cepat menyatakan, Jokowi-Ahok sebagai pemenang. Pengumuman KPU Jakarta mencatat bahwa pasangan nomor 3 Jokowi-Ahok unggul mendapat suara 53.82 persen disusul pasangan 1 Fokoke-Nara 46.18 persen.

Sejarah Indonesia akan mencatat, bahwa Jokowi yang mewakili mayoritas Jawa dan Ahok yang mewakili minoritas Tionghoa akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.

Dari Amerika, Acong merasa prestasi Ahok ini patut dicatat sebagai langkah besar untuk komunitas Tionghoa. Meski cuma Wakil Gubernur, setidaknya ini adalah jabatan publik yang dipilih rakyat (bukan seperti Menteri yang dipilih Presiden).

Meski tidak punya hak pilih, Acong turut senang. Karena, terbukti sudah, warga Jakarta yang majemuk semakin cerdas dalam memilih pemimpinnya. Bukan karena faktor SARA, tetapi memilih berdasar prestasi dan inovasi yang diajukan calon pemimpin mereka. Meritokrasi datang juga di Indonesia! (1006)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?49733

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :