Eksekusi pancung terhadap TKW Ruyati binti Satubi asal Sukatani, Bekasi, Jawa Barat pada 18 Juni 2011 itu sangat mengoyak batin. Tak seorang pun dari keluarga maupun Kantor Perwakilan Indonesia di Arab Saudi diberitahu. Pemerintah RI pun melakukan moratorium pengiriman TKI ke luar negeri, lalu membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk menyelamatkan WNI/TKI dari hukuman mati. Berikut wawancara Kabari dengan advokat Humphrey R Djemat, SH, LLM, FCB, Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang ditunjuk sebagai juru bicara Satgas.
Sebelum moratorium, jumlah TKI di Timur Tengah mencapai 1,5 juta orang dan di Malaysia lebih banyak, 2,5-3 juta orang. Agar kasus Ruyati tidak terulang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membentuk Satgas guna menyelamatkan WNI/TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati. Landasan hukumnya berupa Keputusan Presiden (Keppres) No 17 Tahun 2011 dan Keppres No 8 Tahun 2012 masing-masing berlaku selama 6 bulan.

 

“Pak Presiden SBY mengumpamakan tugas Satgas adalah menjalankan misi yang impossible menjadi possible,” ujar Humphrey. “Anggota Satgas yang terdiri dari berbagai latar belakang ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI, dipimpin oleh Ketua Dr Maftuh Basyuni, SH dan 4 menteri sebagai pengarah: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan Hak Assasi Manusia dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.”

Pendataan Kasus dan Jumlah WNI/TKI Hukuman Mati

Langkah awal Satgas adalah mendata kasus dan jumlah sebenarnya WNI/TKI yang terancam hukuman mati. Pasalnya, data yang ada di kementerian terkait hingga Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) berbeda-beda. Tim Satgas secara serentak menyebar ke penjara sampai Rumah Sakit Jiwa di negara-negara penempatan WNI/TKI, sehingga bisa diperoleh data sebenarnya.

“Hasil temuan Satgas , WNI/TKI yang terancam hukuman mati ternyata lebih banyak. Dari data semula, 28 kasus di Saudi Arabia dan Malaysia 149 kasus, ternyata ada 42 kasus di Arab Saudi dan di Malaysia 151 kasus. Kesimpangsiuran ini terjadi akibat tidak dipatuhinya konvensi internasional Mandatory Consular Notification (MCN), di mana negara wajib memberitahu kantor Perwakilan bila ada warga negara tersebut mengalami kasus hukum. Arab Saudi mengakui MCN, tetapi terbentur cara kerja aparat yang tidak mendukung. Sementara Malaysia, entah kenapa, tidak mau mengakuinya,” kata Humphrey lagi.

“Berbeda dengan Indonesia, atau Tiongkok yang menghormati MCN. Bahkan di Negara Tirai Bambu ini, jika Kantor Perwakilan belum punya pengacara, mereka telah menyiapkan pengacara pro bono untuk memberi pendampingan hukum. Jadi, kepatuhan terhadap MCN itu tergantung pada sikap politik suatu negara.”
Angka WNI/TKI hukuman mati sangat dinamis. Dari segi kasus hukumnya, hingga 14 Juli 2012, jumlahnya sebanyak 288 orang dengan hukuman mati. Rinciannya, di Saudi (65) kasus pembunuhan, sihir dan zina, lalu Malaysia (192) kasus narkoba, pembunuhan atau pemilikan senjata api, Tiongkok (25) dan Iran (3) kasus narkoba, Singapura (2) dan Brunei Darussalam (1) kasus pembunuhan.

Advokasi dan Bantuan Hukum

Selanjutnya Satgas melakukan advokasi dan bantuan hukum, diawali dengan menilai penanganan kasus hukum, lalu memberi masukan kepada Presiden tentang langkah penyelesaian dan penanganan kasus hukum WNI/TKI di negara penempatan. Tentu semua dilakukan dengan mengindahkan sistem politik, hukum, budaya dan tradisi di negara tersebut. Yang penting, memastikan WNI/TKI mendapatkan upaya keadilan yang optimal, sambil mengupayakan pembebasan atau pengurangan hukuman dengan memperhatikan kaidah hukum, keadilan dan kemanusiaan.

Di Arab Saudi, ada qisash , hukuman bagi pelaku pembunuhan. Prinsipnya, nyawa dibayar nyawa, tanpa ada yang bisa mengintervensi, termasuk Raja Abdullah Bin Abdulaziz Al Saud sekalipun. Namun ada peluang untuk membebaskan diri dari hukuman mati, yaitu apabila keluarga korban mau memaafkan (tanazul), dengan atau tanpa diyat (uang darah).

Belakangan, sejak kasus pembebasan TKW Darsem dengan pembayaran diyat sebesar Rp 4,7 miliar oleh Pemerintah RI, tampak kecenderungan semacam dikomersialisasikan. Seperti, pada kasus Satinah binti Jumadi Ahmad, pihak keluarga menganggap Pemerintah RI yang akan membayarnya, sehingga mereka menuntut diyat 10 juta real atau setara dengan Rp25 miliar.

Untuk kasus yang sifatnya umum (takzir) seperti pelaku terorisme, sihir/guna-guna yang dianggap mengganggu keamanan negara ada upaya mendapatkan pengampunan (ta’zir) dari Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud, selaku penguasa pemilik hak publik. Begitu pun dengan hukuman mati dalam bentuk rajam bagi pelaku zina.

Satgas kemudian mendorong Pemerintah RI untuk menyiapkan pengacara tetap (retainer lawyers) dan in-house lawyers, yaitu pengacara yang biasa digunakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Mereka ditugaskan untuk mendampingi WNI/TKI secara maksimal dalam menjalani proses hukum. Humphrey di Satgas dalam Divisi Advokasi dan Litigasi, memimpin proses uji kelayakan pengacara tetap. Didapat 9 pengacara tetap, sebanyak 4 kantor pengacara di Arab Saudi, lalu empat kantor pengacara di Malaysia dan 1 kantor pengacara di Singapura.

“Retainer lawyers dan in-house lawyers ini gigih berjuang menyelamatkan WNI/TKI yang terancam hukuman mati itu semaksimal mungkin. Tampak hasil yang berarti dalam dua periode penugasan Satgas, sebanyak 76 orang dibebaskan dari hukuman mati: 24 orang di Saudi Arabia, 27 orang di Malaysia, 22 orang di Tiongkok, 2 orang di Iran dan 1 orang di Singapura. Jumlahnya sangat dinamis, kini lebih banyak lagi yang telah terbantu,” jelas Humphrey, penuh syukur.

Pencapaian ini juga didukung oleh berbagai pihak di dalam dan luar negeri. Satu hal yang mendukung sekali adalah pendekatan dan kerjasama yang dilakukan dengan pihak berwenang di negara penempatan WNI/TKI. Di Arab Saudi, Satgas bertemu dengan Gubernur, Menteri Kehakiman dan Wakil Menteri Dalam Negeri sampai pimpinan dan anggota Lajnah(Lembaga Pemaafan dan Perdamaian) di Mekkah, Jeddah, Thaif, dan Madinah. Lembaga yang didirikan berkat kemurahan hati dan kebijaksanaan Raja Abdullah ini dimaksud untuk mendorong tercapainya pemaafan dari pihak ahli waris korban. Satgas memanfaatkan sebaik-baiknya peluang ini.“Satgas juga menyusun Buku Besar yang diisi oleh UKK (Unit Kerja Khusus) tentang data WNI/TKI yang terancam hukuman mati atau hukuman berat lainnya. Tiap kali ditulis tangan untuk menjaga akurasi data, dan tidak boleh ada coretan. Ada juga Buku Tambahan yang diketik di komputer. Sosialisasi pengisian Buku Besar ini sudah dilakukan ke beberapa Perwakilan RI di kantung-kantung penempatan TKI,” lanjut Humphrey R Djemat, tentang langkah penanganan kasus WNI/TKI di sektor hilir, luar negeri.

Perbaikan di Hulu

Ditambahkan Humphrey, yang sangat penting adalah memperbaiki kondisi di hulu, yaitu di Tanah Air. Di antaranya, memperbaiki peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat, menghilangkan dualisme dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI, serta pembentukan lembaga kepanjangan BNP2TKI di tiap provinsi dan kabupaten/kota.

Selain itu disarankan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi difokuskan sebagai pengawas pelaksaan penempatan dan perlindungan TKI. Kemudian mendirikan Latihan Kerja Luar Negeri (BLK LN) di daerah sumber TKI untuk menyiapkan TKI yang terampil. Mempertahankan kerjasama BNP2TKI dengan Asosiasi Advokat Indonesia, khususnya dalam pengurusan klaim asuransi WNI/TKI. Yang tak kalah pentingnya adalah, melakukan pengawasan terpadu dan berkala pada proses pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dan memberi sanksi tegas bagi pelanggaran, misalnya mencabut izin operasi dan memutus kerjasamanya.

“Satgas merekomendasikan terus memberlakukan moratorium terhadap TKI ke luar negeri sampai masalah di dalam negeri dan kasus-kasus hukum di negara tujuan diselesaikan secara menyeluruh. Bila kelak mengirim TKI, sebaiknya proses rekrutmen dilakukan secara benar, menempatkan TKI formal berbasis kompetensi dengan standar terukur secara bertahap, dan mengirimkan ke negara yang terikat kerja sama dengan melakukan memorandum of understanding,” ujar Humphrey di akhir wawancara. (1003)

Untuk share  artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?51730

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :