Mama-Yosepha-menerima-penghargaaan-HAM-di-Jakarta

Mama-Yosepha-menerima-penghargaaan-HAM-di-Jakarta

Setiap manusia tentu tidak ingin hidup di tengah ketidakadilan. Namun sayang, saat itu terjadi, tidak semua orang mau bersuara, berbuat dan memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka.

Nama Mama Yosepha, perempuan asal Amungme, Timika, Papua, telah popular di Indonesia. Kondang karena kerelaann keluar masuk penjara melawan ketidakadilan dan kekerasan di tanah kelahirannya, Papua. Sementara tiga perempuan muda yakni Agustina Salle, Yohana Ginting dan Suryati Lilin ikhlas menembus hutan dan bukit perawan di daerah pedalaman untuk mengajarkan masyarakat pedalaman membaca dan menulis.

Mereka berasal dari generasi yang berbeda-beda, tetapi memiliki satu persamaan, yakni teguh memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan bagi sesama.

Mama Yosepha

Hidup sebatang kara sejak usia 10 tahun membuat Yosepha Alomang terpanggil untuk mendedikasikan hidupnya bagi keluarga dan melayani orang sakit. Perempuan bertubuh mungil kelahiran Tsinga pada 1959 ini dikenal sebagai dukun terlatih di Desa Amungme.

Kemudian tinggal di kampung Agimuga, dekat lahan pertambangan PT Freeport Indonesia, ia dan keluarga mengandalkan hasil perkebunan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Naasnya, kebun di kampung halamannya nyaris lenyap terkena aktivitas tambang. Air sungai menjadi keruh dan gunung habis digasak mesin bulldozer.

Ditambah lagi dengan perlakuan tak simpatik dari pegawai pertambangan itu. Melihat kondisi tersebut, batin Mama Yosepha serasa disayat. Bersama pihak Gereja Katolik, ia mendirikan Koperasi Kulalok yang memasarkan hasil kebun mereka. Uniknya, perusahaan di sekitar kampungnya justru pembeli sayuran dari luar Pulau Papua.

Perlawanan Yosepha dilakukan dengan unjuk rasa menentang PT Freeport dengan aksi buka baju. Dalam aksinya, nenek dengan tujuh cucu dan enam orang anak ini menuntut agar perusahaan membayar ganti rugi atas tanah dan lingkungan kampungnya yang lenyap akibat aktivitas pertambangan.Aksi Yosepha tersebut telah membuatnya berurusan dengan aparat penegak hukum.

Sejak 1983 hingga 1994, Yosepha keluar masuk penjara sebanyak 18 kali. Terakhir pada 2014, ia ditahan atas tuduhan keterlibatan dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tak hanya itu, Yosepha bersama 15 orang perempuan lainnya juga pernah menjadi korban penyekapan. Mereka dimasukkan dalam sebuah ruangan yang berisi kotoran manusia sebatas lututnya.Makan dan tidur dihabiskan diruangan itu.

Penculikan dan penyekapan yang pernah dialaminya membawa trauma bagi Yosepha.Ia menjadi takut setiap dikunjungi oleh orang asing. Ia bahkan pernah tidak bisa tidur nyenyak dan tidak bisa makan selama setahun karena khawatir diculik saat sedang beristirahat.

Kegigihan dan keberanian Yosepha dalam membela warganya mendapat sorotan dari dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1999, perempuan yang menikah di usia 15 tahun ini dianugerahi penghargaan Yap Thiem Hien sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM). Sejak menerima penghargaan itu, Mama Yosepha terus mengikuti berbagai aksi perjuangan HAM di tingkat nasional bahkan internasional. Ia sempat diundang mengikuti aksi di Thailand untuk menolak kekerasan dalam rumah tangga.

Pada 2011, Yosepha mendirikan Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAHAMAK).Yayasan tersebut didirikan dengan menggunakan uang hadiah dari penghargaan HAM. Pada tahun yang sama, Yosepha diundang ke San Fransisco, Amerika Serikat untuk menerima penghargaan Anugerah Lingkungan Goldman. Penghargaan diberikan atas upaya Yosepha yang gigih melindungi hutan, gunung, dan sungai di sekitar area pertambangan di Papua.

Di balik aksinya memperjuangkan HAM di Papua, ada kegalauan yang dirasakan Yosepha terkait budaya dan adat di daerahnya. Ia miris, karena perempuan Papua tidak punya hak untuk menyampaikan pikiran dan tidak mendapatkan peran dalam upacara adat. Ia pun berharap perempuan Papua bisa berani menyampaikan aspirasi dan tidak hanya sekedar menjadi “gula-gula” yang diperebutkan para lelaki.

Agustina Salle – Yohana Ginting – Suryati Lilin

Tiga perempuan ini rela meninggalkan kota yang modern dan tinggal bersama masyarakat suku pedalaman yang primitif. Misi mereka sama, yakni mengenalkan peradaban kepada masyarakat suku pedalaman demi kehidupan yang lebih baik.

Agustina Salle di antara anak didiknya

Agustina Salle di antara anak didiknya

Distrik Momi Waren di Kabupaten Manokwari Selatan menjadi rumah kedua bagi Agustina Salle. Pada 2003, gadis asal Toraja ini pertama kali yang menjejakkan kaki di daerah pedalaman tempat tinggal Suku Sough, masyarakat asli Mandacan yang datang dari daerah Pegunungan Arfak. Agustina yang biasa disapa Tina langsung tersentuh begitu melihat sorot mata anak-anak suku Sough yang polos.

Layaknya di zaman nenek moyang, suku Sough hidup berpindah tempat atau nomaden.Tinggal di kawasan terisolasi, membuat mereka hidup dalam komunitas yang eksklusif.Banyak dari mereka yang mati muda karena penyakit dan keterasingan. Agar tidak punah, mereka banyak yang menikah dini.

Ditemani dua rekannya, Arnie dan Tarmi, Tina memutuskan tinggal bersama warga Suku Sough. Pelan-pelan mereka mengajarkan anak-anak suku pedalaman tersebut membaca dan menulis. Awalnya sulit, apalagi suku tersebut hidup berpindah-pindah dan tidak menetap.

Usaha Tina dan rekannya untuk memperkenalkan baca dan tulis akhirnya disambut baik oleh para orang tua anak Suku Sough.Warga akhirnya bergotong royong membangun sebuah sekolah yang dinamakan TK Narwastu.

Berawal dari satu TK dengan 20 murid, kini Momi Waren memiliki TK dan PAUD di lima dusun. Meski begitu, gurunya tidak bertambah, hanya Tina, Artie, dan Tarmi.Akses jalan yang sulit membuat guru-guru di sekolah Momi Waren tidak bertahan lama.

Tina berharap keberadaan sekolah di Momi Waren bisa menekan jumlah perkawinan usia dini dan tingginya angka mati muda di distrik tersebut. Wawasan yang diberikan di sekolah diharapkan menjadi modal bagi penduduk Momi Waren untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Yohana Ginting dan anak didiknya

Yohana Ginting dan anak didiknya

Sementara di Long Bawan, Nunukan, Kalimantan Utara, Yohanna Ginting berusaha memberantas buta huruf yang menjangkiti warga di wilayah itu. Bersama suaminya, Ir Benny Budi Sidharta dan Dra.Adel Vina, Yohanna mengajar di SMA Kristen Terpadu.

Awalnya, SMA ini hanya mendidik 13 orang murid dengan usia di atas 20 tahun. Namun, murid berusia dewasa itu tidak bisa membaca maupun menulis. Dengan gigih, Yohanna meningkatkan minat dan motivasi siswanya untuk belajar membaca.

Hasilnya terlihat beberapa tahun kemudian. Sekolah ini mencetak lulusan intelektual yang berkualitas dan berkarakter dengan tingkat kelulusan mencapai 98%. Satu prestasi yang membanggakan bagi SMA di pedalaman rimba Kalimantan. Alumni sekolah ini kebanyakan telah menjadi sarjana, dokter, guru, pendeta, PNS, polisi, pengusaha, bahkan pilot. Yohanna Ginting kini mengarahkan beberapa murid untuk menjadi guru-guru lokal di sekolah tersebut.

Suriati ajari anak pedalamaan sikat gigi

Suriati ajari anak pedalamaan sikat gigi

Bergeser ke Morowali, Sulawesi Tengah ada Suriati Lilin yang juga berkorban untuk mengajarkan baca tulis. Demi mengajar di daerah pedalaman Morowali, Suriati bersama rekannya tinggal di gubuk-gubuk beratap daun dan berdinding anyaman bambu.

Pertama kali mengajar, perempuan yang biasa disapa Suri ini menjadi pusat perhatian murid-muridnya yang berasal dari Suku Wana.Kulit yang mulus dan rambut lurus dan bersih membuat Suri dianggap sebagai makhluk asing dari bulan.Setiap tindak tanduk Suri pun selalu menarik perhatian murid yang kemudian ditiru beramai-ramai.

Meski jauh dari kota dan kerap homesick, Suri dan rekan-rekannya tetap bertahan di Morowali untuk menjadi guru. Ia pun berharap, suatu saat anak-anak didiknya bisa sukses dan menjadi berkat bagi orang lain. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?62248

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :

th_Alan180x180copy