Sekarang, kita hanya tahu bahwa bulutangkis Indonesia tak semegah masa lalu, tenggelam oleh nama-nama tangguh dari Tiongkok. Namun bulutangkis Tiongkok yang kokoh, tak lahir begitu saja. Nama besar Tionghoa sangat erat kaitannya dengan orang-orang yang lahir di Indonesia dan kemudian pindah ke Tiongkok, menikah di sana kembali ke Indonesia dan karena pergolakan, kembali lagi ke Tiongkok dalam suatu rentang sejarah yang cukup panjang.

Tak banyak orang tahu nama-nama ini : Wan Wen Jiao (lahir di Solo), Tang Xianhu (lahir di Teluk Betung, Lampung), Fang Kai Xiang (sekarang pelatih klub bulutangkis Djarum Kudus) dan Hou Jiachang. Wan Wen Jioa sering disebut sebagai bapak bulu tangkis Tiongkok. Tang Xianhu adalah pelatih juara dunia terkuat saat ini, Lin Dan. Tang (atau sering disebut om Tong oleh Alan) adalah bekas pelatih Tim Nasional Indonesia dari tahun 1987 sampai dengan 1997. Dia juga yang membentuk Alan Budikusuma dan Ardi Wiranata menjadi juara dunia saat itu. Empat nama itu kemudian menjadi sangat terkenal dan penting bagi dunia bulutangkis di dua negara, Indonesia dan Tiongkok.

Rentang Sejarah Panjang

Tang Xianhu (ejaan standar bahasa Tiongkok, pinyin) lahir di Lampung, 14 Maret 1942 juga dikenal dengan nama Tong Sinfu (ejaan bahasa Kanton), dan ketika masih mewakili Indonesia sebagai pemain yunior di akhir tahun 1950-an, memakai nama lahirnya Thing Hian Houw (ejaan bahasa Hokkian, yang biasa dipakai di Indonesia sejak masa Belanda). Sekitar tahun 1950-an, pemain tangguh Indonesia didominasi oleh pemain etnis Tionghoa, misalnya Tan Joe Hok dan Njoo Kiem Bie, dengan beberapa perkecualian misalnya Ferry Sonneville yang keturunan Eropa. Di bagian yunior, Hian Houw termasuk pemain generasi berikutnya.

Di awal tahun 1960, terjadi eksodus besar-besaran orang Tionghoa (belum WNI)
dan keturunan Tionghoa kembali ke RRT. Peristiwa ini terjadi adalah akibat Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959 yang berisi larangan terhadap orang asing (belum/bukan WNI) berdagang eceran di tingkat kabupaten ke bawah ( di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. Peraturan ini menimbulkan perdebatan, karena penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak, Jawa Barat).
PP 10/1959 ini juga menimbulkan ketegangan diplomatik antara pemerintah RI dan pemerintah RRT, karena pemerintah Indonesia menolak permintaan RRT supaya peraturan tersebut ditinjau kembali.
Pemerintah RRT berang dan pada tgl.10 Desember 1959, radio Beijing mengumumkan ajakan warga Tionghoa perantauan supaya kembali ke Tiongkok. Kedutaan Besar RRT di Jakarta segera mendaftar orang Tionghoa perantauan yang tertarik ajakan itu.
Menanggapi himbauan tersebut sekitar lebih dari 100 ribu orang terangkut ke Tiongkok dengan kapal yang dikirim oleh pemerintah RRT. Dalam rombongan ini,termasuk pemain top bulutangkis yunior Indonesia, diantaranya Thing Hian Houw (Jakarta), Houw Ka Tjong (Semarang) dan Fang Kaixiang (Surabaya). Para pemain wanita yang keluar dari Indonesia adalah, Tan Giok Nio dan Leung Tja Hoa. Sampai di Tiongkok, nama-nama mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin menjadi Tang Xianhu, Hou Jiachang, Fang Kaixiang, Chen Yuniang dan Liang Qiuxia. (Liang Qiuxia adalah kakak Tjun Tjun, yang kemudian bersama Johan Wahyudi menang piala ganda putra All England 5 kali berturut-turut).

Di Tiongkok, dengan cepat mereka menjadi pemain-pemain bulutangkis terkenal. Mereka membawa gaya permainan dan latihan speed and power (kecepatan dan kekuatan) yang dikembangkan oleh klub-klub bulutangkis di Indonesia.

Pada masa itu, setiap kali pertandingan internasional tidak ada yang mampu mengalahkan tim dari RRT (Tang cs). Bahkan Erland Kops, juara All England sebelum Rudy Hartono, hanya diberi angka 5 dan 0 dalam suatu pertandingan persahabatan, waktu Kops berkunjung ke RRT. Di masa itu, dua pendekar bulutangkis Hou dan Tang ini dikenal sebagai pendekar jurus monyet (Hou dari Hou Jiachang sama bunyinya dengan hou monyet) dan pendekar jurus macan (Hu dari Xianhu sama bunyinya dengan hu macan).

Selanjutnya,ketika Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) terjadi di Indonesia hubungan diplomatik dua negara terputus dan akibatnya,pertukaran informasi dan budaya antara RI dan RRT juga turut putus.

Saat itu, RRT adalah anggota World Badminton Federation (WBF), sedangkan Indonesia anggota International Badminton Federation (IBF). Sehingga RRT tidak pernah ikut All England, Piala Thomas/Uber, dan turnamen lainnya yang disponsori oleh IBF. Hanya Asian Games yang memungkinkan dua negara bertemu. Hou Jiachang dan Tang Xianhu di masa jayanya (1960-an dan awal 1970-an) tidak pernah bertanding dengan pemain legendaris Indonesia, Rudy Hartono. Pada suatu titik, para pemain RRT itu melawan Iie Sumirat (Indonesia) dalam suatu pertandingan di Bangkok dan kalah. Jadi kita tidak pernah tahu, siapa yang lebih hebat: Hou dan Tang atau Rudy Hartono.

Begitu mereka pensiun, Tang, Hou, dan Liang melanjutkan karier mereka sebagai pelatih RRT. Tang dan Liang kemudian menjadi pelatih kepala tim nasional putra dan putri. Dapat dikatakan, dampak mereka sebagai pelatih jauh lebih besar dari pada sebagai pemain. Para pebulutangkis didikan mereka, mampu bersaing dengan Liem Swie King dan kawan kawan (Indonesia). Pada pertandingan persahabatan di tahun 1980, Indonesia kalah tipis 5-4 oleh tim Tiongkok yang terdiri dari Han Jian dan Luan Jin.

Pemain Tiongkok generasi berikutnya adalah Yang Yang dan Zhao Jianhua. Saat itu pamor Liem Swie King turun karena usia. Icuk Sugiarto (Indonesia) dicatat sejarah sangat kesulitan dan tidak pernah menang melawan Yang Yang. Di bagian putri selalu didominasi oleh Jepang dan kadang-kadang Indonesia. Lantas, anak didikan Liang Qiuxia meraih semua pertandingan internasional di tahun 1980-an, dengan dimotori Li Lingwei, Han Aiping, dan kawan kawan.

Setelah Deng Xiaoping (pengganti Hua Guofeng yang ditunjuk oleh Mao Zedong sepeninggalnya) menjabat sebagai pemimpin RRT, negara itu terbuka lebar untuk banyak hal. Pelatih boleh bekerja di luar negeri untuk mendapatkan penghasilan lebih. Tang Xianhu dan Liang Qiuxia memilih kembali ke Indonesia dan diangkat oleh PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) menjadi pelatih tim nasional Indonesia sejak tahun 1987.

Seorang pemain bulutangkis Amerika keturunan Vietnam pernah berlatih dengan tim Indonesia di tahun 1988. Ia bercerita, latihan sangat berat. Delapan jam sehari, ditambah dua jam latihan main. Jika ada yang kakinya terkilir, pelatih dengan keras akan berkata: “Bangun, atau keluar”.
Hasil dari latihan keras ini? Ardy Wiranata, Heryanto Arbi kembali memenangkan All England berkali-kali. Di tahun 1992, Allan Budikusuma dan Susy Susanti mengawinkan medali emas putra-putri di Barcelona. Pemain-pemain tunggal Indonesia dan ganda putra kembali mendominasi Piala Thomas.

Di bagian putri, Susi Susanti dan kawan kawan untuk pertama kalinya sejak 1976 memenangkan Piala Uber. Susi sendiri mengakui peranan “cik Chiu-Hsia” demikian Liang Qiuxia dipanggil oleh anak didiknya di pelatnas. RRT mengaku kelabakan pada masa itu, karena ditinggal oleh dua pelatih ini. Perlu beberapa tahun untuk membangun bulutangkis di bawah Li Yongbo (bekas didikan Tang juga).
Karena merasa nyaman di Indonesia, Tang dan Liang bahkan mau kembali menjadi warga negara Indonesia. Bahasa Indonesia mereka masih lancar. Bahkan kalau mereka bicara bahasa Mandarin selalu dengan aksen Indonesia. Tapi, mengurus SBKRI, tidak gampang.

“Om Tong bercerita kalau dia kesulitan mengurus naturalisasi. Dia telah mengajukan lebih dari 10 tahun dan menghabiskan biaya sekitar 50 juta dari kantong sendiri. Menjadi pelatih tim bulutangkis nasional juga tak membuat pemerintah memberikan kemudahan baginya untuk menjadi WNI,” kata Alan Budikusuma yang memang dilatih oleh Tong. Menurut Alan, suatu malam Om Tong marah karena petugas imigrasi menyuruhnya mengulang lagi prosesnya dari awal. “Lan, apa sih yang kurang gue lakukan untuk negeri ini? Gue lahir di sini, sudah membawa gelar juara, mendapat penghargaan dari Presiden Indonesia. Tapi semua itu tak ada gunanya,” kata Alan menirukan ucapan om Tong. Kesulitan mengurus SBKRI ini juga dialami Hendrawan. Peraih perak di Olimpiade Sydney ini membuat Presiden (waktu itu) Megawati menuntaskan masalah WNI bagi Hendrawan.

Juni 1998, akhirnya Tang dan keluarganya kembali ke RRT. Di bandara dia diantar oleh para mantan anak latihnya antara lain Alan Budikusuma, Candra Wijaya , Hariyanto Arbi dan Hendrawan. Di RRT, walau tidak jadi pelatih kepala, ia diminta melatih ganda putra dan secara selektif beberapa tunggal putra.

Hasilnya? Bulutangkis RRT kembali naik daun. Ji Xinpeng meraih emas mengalahkan Hendrawan (juga bekas murid Tang) di Sydney tahun 2000. Hanya Taufik yang mampu mematahkan dominasi itu di Athena 2004. Pemain-pemain Tiongkok kembali mendominasi kejuaraan-kejuaraan beregu, baik Thomas, Uber, maupun Sudirman Cup.

 

Dan, Lin Dan adalah karya fenomental Tang. Tangan dingin Tang Xianhu yang juga membentuk Alan Budikusuma, adalah orang dibalik kesuksesan juara dunia yang kini tak terkalahkan selama hampir 7 tahun terakhir.

Jika bukan karena PP10/1959 dan kekacauan rasial tahun 1998, mungkin bulutangkis Tiongkok tidak akan punya nama semegah sekarang . Nama megah itu diluncurkan oleh orang-orang Tionghoa kelahiran Indonesia; Tang, Hou, Liang, dan kawan kawan. Mereka adalah legenda yang sesungguhnya. Tapi, itulah sejarah. (1002)

Daftar Peraih Medali Emas Bulutangkis di Olimpiade 2012.

Tunggal Putra
Emas : Lin Dan (RRT), Perak : Lee Chong Wei (Malaysia), Perunggu : Chen Long (RRT)
Tunggal Putri
Emas : Li Xuerui (RRT), Perak : Wang Yihan (RRT), Perunggu; Saina Nehwal (India)
Ganda Putra
Emas : Cai Yun / Fu Haifeng (RRT), Perak : Mathias Boe/Cartsen Mogensen (Denmark), Chung Jae Sung / Lee Yong Dae (Korea)
Ganda Putri
Emas : Tian Qing/Zhao Yunlei (RRT), Perak :Mizuki Fujii/Reika Kakiiwa (Jepang), Perunggu ; Valeri Sorokina /Nina Vislova (Rusia)
Ganda Campuran
Emas : Zhang Nan / Zhao Yunlei (RRT)
Perak : Xu Chen / Ma jin (RRT)
Perunggu : Joachim Fischer / Christinna Pedersen (Denmark)

Distribusi Medali Olimpiade 2012 di London untuk Cabang Bulutangkis :

RRT : 5 emas, 2 perak, 1 perunggu
Denmark : 0 emas, 1 perak, 1 perunggu
Malaysia : 0 emas, 1 perak, 0 perunggu
Jepang : 0 emas, 1 perak, 0 perunggu
India : 0 emas, 0 perak, 0 perunggu
Korea : 0 emas, 0 perak, 1 perunggu

Artikel ini di edit oleh Kabari staff dan ditulis oleh Wens Gerdyman” , http://hurek.blogspot.com/2008/08/pp-10-mengubah-peta-bulutangkis-dunia.html (IndoMerchant.com ,  http://www.IndoMerchant.com )    Rusia : 0 emas, 0 perak, 1 perunggu

 

 

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?48911

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :