Sejarah membuktikan, bahwa peran pemuda sangat banyak dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Buktinya, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kaum muda masa itu telah terpanggil untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya, kemudian semangatnya mengkristal hingga memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun ada anggapan, semangat pemuda itu telah memudar kini. Benarkah? Kakak beradik Nurul Parameswari Susantono dan Diannisa Paramitha Susantono, juga Iko Uwais, dan Dogie menangkis penilaian itu.

Hampir setiap hari media massa melansir berita tentang tindakan negatif, bahkan pelanggaran hukum dan nilai-nilai yang melibatkan kaum muda sebagai pelakunya. Ada tawuran, pesta narkoba, hingga tindakan berbau asusila. Semua itu sangat memiriskan hati. Hanya oknum yang melakukan, tetapi tetap saja mengusik nurani juga, karena pemuda Indonesia telah mengukir nama mereka dengan tinta emas dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Jadi, amat disayangkan jika pengorbanan dan perjuangan mereka dirusak oleh ulah-ulah tak bertanggung jawab.

Namun, di tengah pemberitaan itu, ada hal-hal yang melegakan di sisi lain. Masih banyak pemuda-pemudi yang melakukan hal positif di bidang yang mereka minati masing-masing. Tidak memaksakan diri, melainkan kiprahnya berjalan secara alami. Tidak pula muluk-muluk. Yang pasti, mereka melangkah dengan niat menggugah sesama di lingkungannya untuk mau melakukan perbaikan dan perubahan yang membangun.

Dua mahasiswi Universitas Indonesia, Nurul Parameswari Susantono (20), kini tengah menyusun skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan adiknya Diannisa Paramitha Susantono (18), duduk di semester II Fakultas Kedokteran. Keduanya menekuni disiplin ilmu yang berbeda, tetapi mempunyai benang-benang merah yang sama: berbuat, melakukan perubahan yang baik. Terdengar klise, tetapi nilai-nilai seperti ini semakin langka saja di kota besar seperti Jakarta. Boleh jadi, mereka dapat menginspirasi kaum muda yang lain.

Aktif dan Dinamis

Nuya, sapaan akrab Nurul, kini menyongsong tahap akhir studi S1 –nya, tetapi yang menarik, ia masih saja mau dan sempat melatih adik-adik kelasnya di SMA Labschool, Kebayoran, Jakarta Selatan. Ia melatih LAMURU, Labsky Drum Community, yakni mengasah bakat musik mereka dengan membuat bunyi-bunyian atraktif dari barang-barang bekas. Bahkan ia juga aktif berperan dalam kegiatan Skylite, Labsky Live Performance and Art atau pun Skylite Musicals. Di sana ia mengolah pertunjukan sebagai sutradara dan penulis naskah.

Sikapnya yang energik dan dinamis itu juga terbawa hingga ke lingkungannya sebagai mahasiswi. Di kampus, ia aktif bersama teman-temannya bermusik orkestra dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Dari kegiatannya itu, mereka telah beberapa kali diundang manggung. Nurul pun masih sempat mengikuti ASES Summit di Stanford University, Stanford, California, Amerika Serikat pada awal Maret lalu. Dengan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh dunia, ia belajar kewirausahaan dari para pakar internasional, lalu membentuk tim startup hingga melakukan pitching di depan Venture Capital.

Terlihat suatu pembelajaran bagi kaum muda di Tanah Air, bahwa bila sejak dini telah dibiasakan terlibat dalam berbagai kegiatan, maka seseorang akan terbentuk menjadi pribadi yang mandiri, terampil bergaul, dan cermat dalam mengelola waktu. Jadwal kegiatan padat, tapi tidak kehilangan suka citanya. Begitu pula yang terlihat pada Diannisa, yang menekuni kedokteran karena terinspirasi oleh kakeknya, Brigjen (purn) Dr. Muhammad Susantono, SKM.

“Saya sangat berminat menolong orang secara langsung, karena itu di kampus saya ikut di organisasi Central Indonesian Medical Students Activities. Sedangkan di luar kampus, saya amat menikmati kegiatan di Indonesian Future Leaders (IFL). Keduanya memberi ragam aktivitas yang banyak, mulai dari bidang kedokteran, menambah ilmu dari pertukaran hasil riset, seminar sampai terjun memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Diannisa.

IFL sendiri merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berdiri pada 2009, dengan fokus kegiatan memberdayakan pemuda agar kelak dapat berperan sebagai katalis perubahan sosial. Diannisa bergabung bersama lebih dari 500 relawan dan 8.000 lebih pendukung yang tersebar di Indonesia, juga di mancanegara. Dalam kegiatannya itu, mereka saling berbagi ilmu pengetahuan dan kecakapan, serta menggugah kesadaran untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat yang membutuhkan. Tak tertutup kemungkinan,untuk memberi masukan yang membangun kepada berbagai pihak.

“Millennium Development Goals (MDGs) berakhir pada 2015. Di Indonesia ada yang sudah tercapai, seperti menurunnya jumlah penderita TBC dan angka kematian ibu-anak. Tapi dibandingkan negara lain, tetap masih tertinggal. Di sini IFL memberi masukan, dan kami membangun diri agar berdaya, sehingga memungkinkan dapat melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Kalau melakukan kegiatan sosial ke masyarakat, bahagia sekali, rasanya berguna bagi orang lain,” lanjutnya.

Mengenai gencarnya pengaruh-pengaruh yang datang mencecar dari luar, yang kian dimudahkan oleh penerapan teknologi canggih, Diannisa tidak menampik hal itu. Dengan adanya teknologi, menjadi mudah memperoleh informasi apa pun. Tantangannya, pemuda mesti berhati-hati dan cermat memilah-milah informasi, juga meneruskannya ke titik-titik yang tepat. Media sosial yang ada memungkinkan orang mudah mengungkapkan maksudnya, di sisi lain gampang mendengar hal-hal yang tidak baik. Jadi, yang terpenting adalah harus waspada dalam memilah informasi dan menyikapinya.

Pemuda yang Berkarya Internasional

Iko Uwani, satu-satunya aktor Asia yang masuk dalam daftar 25 Breakout Stars of 2012 versi Rotten Tomatoes. Lewat kepiawaiannya bersilat, ia mampu menggebrak panggung hiburan sekaliber Hollywood. Dalam pembuatan film The Raid versi Hollywood pada 2012, ia tampil bukan sekedar membintangi sebuah peran, melainkan juga aktif di belakang layar. Bersama Yayan Ruhyan, ia berkibar menjadi koreografer tarung.

Ada lagi, pemuda bernama Dogie. Ia berhasil mewujudkan gairah bermusik di masyarakat dengan menciptakan efek suara pada gitar. Hebatnya, kualitasnya sama dengan alat asli yang mahal, bahkan diakui lebih dramatis. Diawali sejak 1998 ia meniru efek gitar a la Jimi Hendrix Fuzz Face dengan memakai kaleng kotak rokok. Kemudian bersama teman-temannya membangun REVOLT!! Music  pada 2010. Ia manfaatkan kamar tidurnya sendiri sebagai bengkel kerja. Siapa sangka jika sekarang karyanya ternyata diapresiasi oleh musisi lokal dan internasional. Salah satu efek produksi REVOLT! Music adalah A Bit Late (echo & delay), Saringar (reverb), dan CompFRESHer (compressor).

Desainer muda di Tanah Air yang menggeluti batik sungguh bangga melihat perkembangan yang ada di dunia mode dunia. Berkat kegencaran mereka mengenalkan batik ke luar negeri, tidak kurang dari rumah mode Gucci, misalnya, memasukkan batik sebagai bahan untuk membuat rancangan mereka. Gambar-gambar di sini cukup menjadi bukti. (1003)

Untuk share  artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?53625

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :