KabariNews – Perpisahan orangtua di saat balita mengajarkan arti hidup bagi Bayu Gawtama. Hidup yang sulit menjadikannya menjadi pribadi gigih. Tahun 2013, ia membangun Sekolah Relawan. Tak hanya itu, ia mengambil keputusan berani dengan memutuskan meninggalkan kemapanan karir. Bagaimana kisahnya?

Cuaca yang cerah menyambut Kabari saat tiba di kantor Sekolah Relawan di daerah Depok, Jawa Barat. Tak lama menunggu, Bayu Gawtama tiba. “Tunggu sebentar ya,” ucapnya kepada Kabari. Pria yang akrab disapa Gaw ini mulai bercerita kepada Kabari tentang Sekolah Relawan. Dijelaskan Gaw, Sekolah Relawan adalah lembaga yang fokus pada edukasi, pendidikan, keterampilan relawan juga pemberdayaan masyarakat.

17 TAHUN

Kenapa namanya Sekolah Relawan karena berdasarkan pengalaman 17 tahun bergerak di bidang sosial kemanusiaan. Saya melihat banyak relawan ini tinggi antusias untuk membantu orang lain tapi sering kali, aktivitas kawan-kawan ini tidak dibarengi dengan skill dan wawasan yang cukup sehingga saya terpikir harus ada lembaga yang mengedukasi, dan memberi keterampilan untuk meningkatkan skill para relawan,” ujar pria kelahiran 10 Februari 1974.

Lanjut Gaw, Sekolah Relawan ini didirikan sebagai sarana untuk belajar bersama-sama. “Jadi mendirikan bukan karena saya lebih jago, lebih hebat tapi ayo kita belajar bersama-sama, terampil sama-sama, profesional sama-sama. Biar bekerja di lapangan lebih bagus lagi,” terang Ayah dari 4 orang anak ini.

Sekolah Relawan ini didirikan tahun 2013. Ini merupakan ide Gaw sendiri. Seiring waktu, ia mengajak beberapa teman untuk bisa diajak diskusi dan membangun Sekolah Relawan bersama-sama.

Sekolah Relawan tidak hanya mengedukasi tapi juga memberi bantuan langsung ke masyarakat. ”Karena relawan sayang energinya kalau cuma sampai tahap edukasi, mereka juga diberi kesempatan untuk bergerak, berbuat sesuatu. Makanya kita buka ruangnya, kita buka kesempatan untuk para relawan untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari. Makanya kita buat program sosial, kemanusiaan dan program lain termasuk pemberdayaan masyarakat. Karena proses pendidikan tidak selesai di teori, tapi pada pelatihan di lapangan,” jelas Gaw.

Saat bergabung menjadi relawan di Sekolah Relawan, banyak hal yang diajarkan. “Jadi mulai dari yang mendasar, apa sih relawan, ngapain aja relawan, lalu apa yang dilakukan relawan. Tujuan ngapain jadi relawan, motivasinya apa. Sampai hal-hal yang perlu mereka pelajari atau tingkatkan. Misalkan jadi relawan itu ga cukup hanya bermodalkan semangat. Tapi harus dibekali dengan keterampilan, kemampuan. Misalnya ketrampilan berkomunikasi, ini juga penting. Menghadapi masyarakat kan ga asal ngomong. Lalu kalau mereka masuk dalam tim rescue, ada pelatihan rescue. Kalau mereka memberdayakan masyarakat, keterampilan bergaul, partisipasi, bagaimana menggerakan masyarakat, itu ada training-nya,” kata Gaw.

RAGAM PROGRAM

Sekolah Relawan memiliki empat program utama. Pertama, edukasi kerelawanan. “Isinya forum sharing, keterampilan, dan pelatihan,” kata Gaw. Kedua, kegiatan sosial kemanusiaan. Membantu penanganan bencana, orang sakit, hingga masalah-masalah sosial. Ketiga, pemberdayaan masyarakat. “Jadi kita punya program Tatar Nusantara. Pengiriman relawan yang menjadi fasilitator, pendamping masyarakat. Mereka stay selama 1 tahun di daerah-daerah tertentu. Daerah terpinggirkan, tertinggal,marginal. Kita naruh relawan-relawan pendamping. Keempat, advokasi.

Tak hanya empat program di atas, program lain dari Sekolah Relawan adalah memberikan makan gratis kaum miskin melalui Free Food Car. “Jadi Free Food Car itu layanan makan gratis. Kita membawa kendaraan, datang ke satu tempat di Jabodetabek. Bisa ke kampung, pinggir jalan, atau lampu merah. Yang kita tau di situ banyak target duafa, fakir miskin, musafir yang bisa makan di situ. Konsepnya adalah kita melayani. Kita bawa meja, kursi, bawa makan prasmanan. Jadi siapa pun yang mau makan kita layani, sepanjang mereka, musafir, fakir miskin dan duafa. Di sini relawan kita latih untuk bisa melayani. Karena pemahaman relawan di sini bukan hanya memberi atau berbagi tapi melayani. Melayani itu jauh di atas memberi,” tukas pria yang telah menulis 8 buku ini.

Program Free Food Car ini telah berjalan lebih dari satu tahun. Saat awal, hanya menyediakan makanan satu minggu sekali. Kini setiap hari tersedia makanan gratis di lokasilokasi tertentu di Jabodetabek. “Sekarang setiap hari jalan dan pindah-pindah tempat di Jabodetabek. Yang menarik sekarang, Free Food Car ini begitu  menginspirasi kawan-kawan di berbagai daerah. Misalnya Bandung, Lampung, Surabaya, Blora dan berbagai daerah lain. Jadi mereka bikin sendiri, program sama dengan nama yang beda. Mereka minta izin. Saya selalu bilang, silakan. Karena masalah sosial ini tidak bisa kita selesaikan sendiri. Semakin banyak orang terlibat, terinspirasi hal yang sama, berarti pekerjaan kita makin mudah,” terang Gaw.

Setiap hari makanan yang disiapkan minimal 100 porsi. “Tergantung lokasi, ada lokasi kita bawa 200, abis cepat. Kita bawa yang 100, baru 2-3 jam abis. Misalnya Pasar Rebo, kita bawa 1 jam abis,” katanya.

Program pemberian makanan gratis ini ditujukan kepada kaum duafa, fakir miskin dan musafir. Karena itu, tim Sekolah Relawan selalu menyambut dengan tangan terbuka siapa saja yang mau datang untuk makan. “Kita ga pernah nanya, itu kan hak masing-masing. Keputusan masing-masing orang untuk menjadi duafa atau fakir miskin. Jadi kita anggap yang makan di situ ya fakir miskin. Kalau ada orang yang sebenarnya mampu tapi makan di situ berarti mendoakan untuk jadi fakir miskin. Kita berpikir positif aja. Jadi suatu waktu, ada seorang pria, belum tua, gaya parlente, ikut makan di kita. Seorang relawan ga boleh pikir negatif, harus berpikir positif. Bagian dari melayani biasa ngajak ngomong. Akhirnya laki-laki yang parlente ini kita ajak ngomong juga, dia memang secara penampilan terlihat mampu, tapi ternyata bajunya bagus karena sudah berhari-hari lebih dari 2 minggu cari kerja, belum pulang. Jadi dia hanya punya ongkos tapi ga punya uang untuk makan. Itu kategori musafir, dia sangat terbantu dengan konsep seperti ini. Dengan ngobrol kita tau masalah sebenarnya,” jelas Gaw.

Tak hanya Free Food Car, program teranyar dari Sekolah Relawan adalah Food Box. Yakni  memberi makan gratis yang disediakan di dalam box. “Ini tren baru yang mau kita bangun. Bahwa menggerakan partisipasi masyarakat, jadi bagaimana caranya orang berderma tanpa harus dengan uang, tapi dengan makanan. Makanya kita siapkan tempat, showcase, box-box makanan yang ada di titik-titik tertentu. Jadi kemudian orang bisa setiap hari atau kapan pun dia bisa taruh makanan, hingga kemudian orang duafa atau fakir miskin tinggal ambil saja,” ucapnya.

Saat awal, konsep Food Box ini ditaruh di pinggir jalan. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, diputuskan Food Box ini diletakkan di lokasi tertentu. “Awalnya konsep di jalanan tapi mohon maaf belum berani naruh makanan di pinggir jalan. Karena bisa jadi ilang tempatnya. Lalu soal keamanan makanan, kita ga tau orang taruh makanan apa, bagus atau ga, halal atau ga, sehat atau ga. Kita taruh logo relawan tapi orang keracunan, maka masalah dengan kita. Akhirnya kita putuskan bekerjasama dengan beberapa pihak. Masjid, rumah ibadah. Kenapa masjid karena ada pengurus, jadi kita bisa bekerjasama. Atau dengan pihak lain, misalnya Rumah Sakit. Baru-baru ini ada (Food Box) di RSCM. Jadi kita kerjasama dengan pengurus mushola di RSCM,” kata pria yang hobi membaca ini.

Hingga saat ini, Food Box ini ada di 14 titik. Mulai dari Kemang, Bogor, Depok, hingga Blora, Jawa Tengah.

Gaw bersyukur melalui program ini, menggerakkan partispasi masyarakat. “Program yang baik itu didukung masyarakat. Di Masjid Raya Bogor sudah kita siapkan food box, jadi siapa saja warga Bogor yang mau ngisi. Daftar via WhatsApp. Ada yang mau tanggal 1, 2, 3 jadi akhirnya penuh, selama 30 hari. Ini berarti kita berhasil menggerakan partisipasi masyarakat,” tukasnya tersenyum. “Yang mau ngasih itu minimal 50 porsi per hari,” sambung Gaw.

Program lain yang tak kalah menginspirasi adalah Ketuk Berkah. “Ketuk Berkah ini kita ingin menghadirkan satu konsep baru, kita ga pengen yang namanya orang bagi-bagi sembako tapi kemudian orang duafa dikumpulin. Nah, kita ga pengen kayak gitu. Kita lebih pengen ada cara baru yaitu datangin aja satu per satu. Jadi sudah ketahuan itu tempat lansia, orang duafa, karena hasil survei kawan-kawan. Jam 8 atau 9 malam kita datangi rumahnya, ketuk pintu, bawa sembako. Jadi relawan itu bergerak, relawan itu mendatangi. Jadi konsepnya seperti itu,” kata Gaw.

Yang diberikan adalah sembako dan makanan. “Makanan siap masak, kayak ayam, tempe siap goreng Kita beli sebelum diantar,” tukas Gaw yang saat ini setiap bulan bisa membagi 30 paket. Jika ada yang tertarik menyumbang, setiap paket ini harganya Rp 250 ribu.

SUKA DUKA

Membangun organisasi dari awal memang tidak mudah. Namun, Gaw memiliki tekad yang kuat. “Selama 6 bulan pertama Sekolah Relawan ini belum banyak orang yang mau bantu. Saya punya keyakinan bahwa kebaikan itu ada jalannya, kebaikan itu ada pengikutnya. Saya yakin dengan itu. Kita hanya perlu konsisten, sejauh mana saya mampu konsisten dengan jalan itu, maka orang lain mulai lihat dan percaya, dia konsisten. Orang lain butuh fakta. Gue ga boleh nyerah, gue harus jalan terus. Sehingga orang lain mengikuti,” katanya tegas.

Dijelaskan Gaw bahwa berbagi itu tidak hanya dengan materi. “Yang kita bagi tidak hanya materi, saya punya lebih dari materi, jaringan, akses, sahabat. Konsep berbagi itu kita ga bisa sendiri. Konsep berbagi itu berjamaah, bersama-sama. Ketika saya ga punya uang untuk berbagi, tapi saya punya teman-teman yang bisa bantu. Di saat saya ga punya apa-apa. Apa-apa itu saya ga punya materi, ya. Tapi saya punya apa-apa yang lain. Membantu ga selalu materi, dengan akses, jaringan yang kita punya. Saya punya sahabat yang bingung abisin duit, sini duit loe gue abisin dengan cara yang benar,” katanya.

Mengakhiri pembicaraan dengan Kabari, Gaw memiliki mimpi untuk Sekolah Relawan. “Sesuai visi Sekolah Relawan, relawan sebagai pemimpin bangsa, kita berharap semua pemimpin bangsa ini, mau level RT, RW sampai presiden itu adalah orang-orang yang pernah jadi relawan. Orang-orang yang pernah jadi relawan itu akan tau seperti apa itu kebutuhan masyarakat dan keluhan masyarakat. Jadi pemimpin dengan latar belakang relawan, dia akan punya keberpihakan kepada masyarakat dan seni tertingggi dari kepemimpinan adalah melayani,” pungkasnya.