KabariNews – Membangun Sekolah Relawan sejak 4 tahun lalu merupakan cara Bayu Gawtama membalas jasa kepada orang-orang yang telah menolongnya. Bagi Gaw, hidupnya banyak dibantu orang. Karena itu, melalui Sekolah Relawan, ia ingin membantu orang lain.

“Saya dari kecil, hidup saya banyak dibantu orang. Jadi saya bernazar, gue harus jadi orang, sukseslah berada. Sehingga gue bisa bantu orang lain. Jadi berbagi itu bukan karena kita kaya, tapi kita pernah merasakan atau berada di posisi yang sama. Jadi ketika orang lapar, kenapa saya berbagi makanan, karena saya pernah lapar. Kenapa saya peduli supaya anak-anak bisa sekolah, karena saya pernah terlunta-lunta ga bisa sekolah,” cerita Gaw kepada Kabari.

Perceraian orangtua membuat hidup Gaw semakin sulit. Ragam pekerjaan telah dilakoninya “Bapak ibu cerai ketika usia 5 tahun. Saya ikut ibu. Saya banyak bantu ibu untuk mencari nafkah. Ibu itu dulu guru ngaji yang keliling kemana-mana. Saya pagi jual nasi uduk, lontong. Ibu bikin gorengan, saya ngider. Itu yang saya jalani dari kecil. Pernah jadi tukang koran, tukang semir sepatu di Grogol. Saya ngamen di bis. Kalau nyari makan, saya ke warung padang tapi saya nyuci piring dulu. 100 piring cuci, dapat 1 piring nasi. Itu yang saya jalani,” kata anak ke 2 dari 5 saudara.

Karena proses hidup yang sulit, membuat Gaw sangat peka dengan kebutuhan orang lain. Sejak tahun 2000, ia telah menjadi relawan diberbagai organisasi. “Ikut bantu kemana-mana, kalau ada bencana saya terjun. Lama-lama saya gabung dengan sebuah komunitas 1001 buku. Komunitas yang peduli pada akses baca anak-anak. Dulu kita bantah, kata siapa anak Indonesia rendah minat bacanya. Ternyata ga. Yang ada, akses membacanya yang kurang. Jadi buku dibagi ke anak-anak jalanan. Anak miskin bisa baca buku,” kata pria yang menyelesaikan studi jurusan Manajemen Informatika di STMIK Indonesia.

Saat kuliah, Gaw membiayai sendiri kuliahnya. “Saya dari zaman kuliah juga kerja. Saya kerja di pabrik. Untuk bisa kuliah saya harus kerja. Saya bukan anak yang dikuliahin orangtua yang punya duit. Pagi kerja, malam kuliah. Saya jalani,” ujar pria yang pernah kerja di bank ini.

Selain di Bank, Gaw pernah menjadi wartawan lalu bekerja di beberapa lembaga kemanusiaan. “Saya berkiprah di beberapa lembaga kemanusiaan di Indonesia. Saya pernah di ACT, dari 2005-2015. Terakhir saya Direktur Program di ACT. Saya memutuskan tidak aktif di sana, saya membangun Sekolah Relawan. Sepanjang di ACT, aku juga membantu lembaga-lembaga lain, Dompet Dhuafa, Al Azhar Peduli Umat, serta komunitas kecil lainnya,” kata Gaw.

Tahun 2015, Gaw memutuskan meninggalkan kemapanan karir di Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan serius membesarkan Sekolah Relawan yang telah dibangunnya sejak tahun 2013. Gaw memiliki alasan khusus. “Ya, dan mulai dari nol. Its about dream. Saya punya mimpi. Saya tipe challenger. Saya tipe yang selalu menantang diri saya untuk melakukan hal-hal baru,” kata Gaw tersenyum.

Gaw bersyukur keputusannya didukung sang istri. “Ga masalah. Bahkan ketika di lembaga itu saya punya fasilitas banyak termasuk kendaraan dan lain-lain, saya bilang akan kembalikan semua. Jawaban istri, dulu juga kita ga punya,” kata Gaw yang akan mengeluarkan buku terbaru berjudul Tabok Muka Sendiri. (1009)