Belum lama ini, KABARI mendapat kesempatan istimewa melakukan tur ke Museum Benteng Heritage yang berlokasi di dalam kompleks Pasar Lama Kota Tangerang, Banten. KABARI dipandu oleh Airin, Petugas Pemandu di Museum Benteng Heritage.

Dijelaskan Airin, bangunan Museum Benteng Heritage telah ada sejak abad ke-17. Salah satu bentuk orisinalitas dari bangun museum ini, terlihat dari lantai yang masih asli, lantai kayu. “Biasanya disebut golden tile, karena masih bisa bertahan hingga ratusan tahun, “kata Airin.

Menurut Airin, 2/3 dari bangunan museum ini masih asli, sejak abad ke-17. Di area lantai dua Museum Benteng Heritage bisa dikatakan pusat dari museum ini.

“Pak Udaya Halim, pemilik Museum Benteng Heritage banyak meletakkan benda-benda bersejarah, yang didapatkan tidak hanya dari Indonesia saja, tapi juga dari luar negeri di area ini,” jelas Airin.

Sebut saja keramik biru dan putih yang biasanya digunakan untuk upacara kedukaan, lalu mangkok, hingga kumpulan kerang dan potongan keramik. Kumpulan kerang dan potongan keramik merupakan benda-benda yang ditemukan saat proses restorasi bangunan lama menjadi Museum Benteng Heritage.

Di lantai dua ini juga terpampang papan besar berisi kisah kedatangan Laksamana Cheng Ho ke wilayah Tangerang melalui Teluk Naga. Dikisahkan bahwa rombongan yang dipimpin prajurit kepercayaan kerajaan besar Tiongkok Muslim itu mendarat di Tangerang pada tahun 1405.

Ketika itu rombongan sebanyak 30.000 pasukan datang dengan 300-an kapal besar. Laksamana Cheng Ho memiliki misi pertukaran budaya, termasuk melakukan perdagangan ke beberapa wilayah yang dijelajahinya, termasuk Tangerang. “Jadi kedatangan Cheng Ho terkait multikulturalisme. Cheng Ho dengan serdadunya menularkan budaya-budaya yang mereka bawa hingga bercampur dengan budaya di Nusantara,” ucap Airin.

Tak hanya kisah tentang Cheng Ho, ada pula perangkat orkes gambang kromong. Gambang kromong memang merupakan kesenian musik multikultural, meskipun selama ini lebih dikenal sebagai musik tradisional Betawi. Dalam orkes ini, alat musik China seperti tehyan dan sukong berpadu dengan alat musik tradisional Nusantara berupa gambang dan gendang. “Sekarang sudah sulit menemukan orang bisa memainkan Gambang Kromong dan Tehyan, jadi ini harus dilestarikan,” ucap Airin.

Saat berkeliling di lantai dua, beberapa sepatu mini yang dipajang dalam ruang kaca menarik perhatian. Meski terlihat seperti sepatu anak-anak, namun sepatu-sepatu itu dulunya dipakai wanita dewasa di Tiongkok.

“Sejak kecil kaki mereka sudah ditekuk dan diikat sehingga tulang kaki tidak berkembang menjadi besar,” kata Airin. “Ini namanya budaya ikat kaki. Jadi sepatu perempuan kalangan bangsawan saat tradisi bounded feet. Dengan yang memakai ikat kaki ini biasanya berjalan dengan anggun dan cantik,” lanjut Airin.

Jejak interaksi etnis Tionghoa dengan etnis lainnya juga terekam dalam motif kain, salah satunya kain Batik. “Motif dan teknik pewarnaannya, ada pengaruh dari orang-orang China yang datang ke Indonesia. Biasanya mereka tinggal di daerah pesisir, maka motif batik pesisir biasanya berwarna cerah,” kata Airin.

Museum Benteng Heritage merupakan salah satu bangunan tertua di Tangerang. Pada salah satu bagian bangunan kayu itu terdapat relief yang menceritakan kepahlawanan dan kegagahan Jenderal Kwan Kong yang jujur, setia, adil, dan suka menolong.

”Relief seperti ini hanya ada di tempat tertentu yang menjadi simbol keadilan. Karena Kwan Kong dikenal sebagai dewa yang adil. Ini menunjukan bahwa dulu, museum ini bukanlah rumah orang sembarangan. Ini diduga rumah persaudaraan dari para pedagang,” kata Airin. Relief ini menceritakan tentang usaha Kwan Kong menyelamatkan kakak ipar perempuannya dari kejaran Cao Cao terpahat di atap Museum Benteng Heritage.

Di museum ini juga ditemukan lukisan-lukisan yang mengisahkan budaya masyarakat Tionghoa Benteng sejak dulu hingga sekarang. Salah satunya tentang festival Pehtjun atau Lomba Perahu Naga.

“Festival Lomba Perahu Naga, tiap tahun diadakan tanggal lima bulan lima kalender Tionghoa. Kalau di masehi, biasanya antara bulan Mei-Juni,” kata Airin. Pemilihan tanggal lima bulan lima didasari kepercayaan bahwa tanggal tersebut merupakan puncak musim panas. “Biasanya hari Pehtjun, khasnya adalah makan bakcang,” kata Airin

Di dalam Festival Lomba Perahu Naga, mereka biasanya menggunakan tambur. Tambur yang digunakan dalam festival perahu naga disebut Tambur Pehtjun. Tambur ini digunakan sebagai iringan dalam upacara Pehtjun di Tangerang, Banten. “Tambur itu selain memberikan motivasi, juga lambang semangat, juga komunikasi,” kata Airin.

Airin juga menjelaskan upacara pernikahan adat Cina Benteng, yang juga dikenal dengan nama Cio Tao. Tradisi Cio Tao untuk merajut masa lalu dalam harapan pada masa depan. Mereka tetap setia menjaga serta merawat dengan penuh kehormatan nilai-nilai dan tradisi yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. “Dalam pernikahan Cio Tao, biasanya musik lebih cempreng, karena pakai terompet dan tehyan,” kata Airin.

Dalam pernikahan China biasanya berlangsung selama tiga berturut-turut. Hari pertama, disebut hari potong ayam. Hari kedua, hari bumbu. Lalu hari ke tiga merupakan pesta pernikahannya.

“Biasanya hari pertama dan kedua, gak boleh bertemu. Barulah di hari ketiga, mempelai pria dan wanita bertemu. Kalau dari cerita mama saya, pernikahan zaman dulu biasanya dijodohin. Jadi biasanya di hari ketiga, baru masing-masing mempelai mengetahui siapa jodohnya,” cerita Airin tersenyum.

Untuk mengisi waktu luang, masyarakat Cina Benteng biasanya memainkan berbagai macam permainan kartu, salah satunya kartu ceki yang cukup dikenal.

“Biasanya main berempat dan saat main ceki, biasanya gak 1-2 jam, biasanya seharian. Nilai positif dari main ceki adalah kumpul-kumpul, persaudaraan dan juga mengasah otak,” ungkap Airin.

Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 205.

Simak wawancara Kabari bersama Airin Petugas Pemandu Museum Benteng Heritage dibawah ini.