KabariNews – Berangkat dari ajang pemilihan model pada tahun 1997, wanita cantik bernama lengkap Lola Amaria merambah di dunia film melalui perannya dalam film Cau Bau Kan pada tahun 2002.

Wanita kelahiran 1977 ini berkisah bagaimana prosesnya ketika menemukan passionnya di film hingga terjun ke dunia Perfilman, berawal sebagai pemain hingga berkembang menjadi Produser dan Sutradara, “ Karena bergaul dengan teman-teman di film pada tahun dua ribuan saya passionnya di film, terjun di film di depan layar kemudian berkembang di belakang layar sampai sekarang,“ ujar Lola saat ditemui di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan.

Didasari semangat yang tinggi untuk serius menekuni dunia film, Lola juga menemukan inspirasi dari kehidupan sosial sehari-hari yang dihadapinya. “Saya biasanya membuat film yang dekat dengan sosial di masyarakat, ide itu bisa datang dari nonton tv, nonton berita kemudian buka sosial media, curhat temen, juga status orang-orang, jadi memang sebenernya apa yang dilihat, kemudian apa yang dirasakan, nah, dari situlah ide-ide muncul dan jadi karya film,“ katanya.

Hampir semua karya Lola mendapat perhatian karena dinilai sarat dengan pesan moral yang mendidik dan membuka mata penonton dengan realita yang terjadi. Namun ia tak menampik banyak juga yang beranggapan sebagian karyanya jadi sajian yang berat. “Kalau sekarang ada pertanyaan dengan film-film yang berat atau dengan muatan sosial yang tinggi, itu karena emang image orang ke saya, tapi sebenernya saya terbuka untuk jenis film apapun,” papar Lola.

Mengangkat kehidupan realita menjadi sebuah karya film sudah menjadi keahliannya, dan hal ini juga yang membangun image Lola sebagai salah satu sineas perempuan yang cukup diperhitungkan, dengan karakternya yang humanis, Lola sukses mengajak penonton merasakan sisi lain kehidupan.

“Saya memang senang ke hal yang berbau sosial, humanis, kemudian sesuatu yang fair dan ga fair, jadi lebih gampang lihatnya di masyarakat, karena contohnya banyak di kehidupan sehari-sehari, jadi sebenarnya memfilmkan apa yang sudah ada tapi dibikin drama, artinya semua itu tanpa rencana jadi mengalir apa adanya,” terang Lola.

Perfilman Tanah Air di mata Lola sudah menunjukkan kemajuan berkat tangan dingin para film maker Indonesia. Namun dirinya dan film maker lainnya tidak memungkiri ada kegelisahan yang dirasakan, yakni sistem yang dinilai kurang jelas, baik itu lama tayang (slot) di bioskop, promosi, hingga semua hal yang menyangkut dengan sistem. Hal itu disesalkan Lola, karena pendanaan yang kurang kuat, film tidak bertahan lama di bioskop.

“Hal-hal seperti itu tidak memihak pada pembuat film nasional, beda dengan di Korea, mereka, bioskopnya memberikan waktu panjang pada film-film nasionalnya Korea, intinya mereka ingin membangkitkan semangat nasionalisme melalui film dan caranya seperti itu. Nah, kalau di sini mungkin sistemnya berbeda, dimana yang punya uang untuk banyak promosi atau misalnya bertahan, ya dia yang kuat,“ ketus Lola

Lola menganggap bahwa di Indonesia banyak hal-hal menarik yang bisa dijadikan ide untuk karya filmnya, meskipun terselip kegelisahan tentang dana, “Ketika jalan kemana dapat ide, itu kan hal yang luar biasa bagi kreator, tapi begitu menjalankan butuh uang yang ngga sedikit. Nah, ketika selesai pun butuh uang yang ngga sedikit. Mungkin karena itu film maker semua kerja sendiri, kita ngga punya studio besar yang menjalankan film itu, menjadi box office misalnya, atau segala macam dibuat sampai benar-benar penontonnya itu banyak,“ cerita Lola. “Ini bukan hanya kegelisahan saya tapi film maker yang lain,“ imbuh Lola.

Ketika diminta tanggapan mengenai film Indonesia apa sudah bisa disejajarkan dengan film Hollywood, Lola berujar, dalam hal komersial ada, namun secara teknis dan segala macam menurutnya masih jauh ketinggalan, “Misalnya gini, pada saat yang bersamaan, kalau ga salah itu, AADC 2 dengan Star Wash, Star Wash kalah, AADC 2 tetep megang nomor satu,“ ujar Lola.

Lalu, sambung Lola, “Kemaren pada saat film Warkop Reborn, ia bisa mencapai tiga ratus ribu penonton dalam sehari, coba film Hollywood mana yang bisa menandingi perharinya sejumlah untuk tiga ratus ribu penonton,“ katanya.

Dalam hal ini, menurut penilaiannya dari sisi komersil film nasional tidak kalah dengan film Hollywood, “Tapi alangkah bagusnya kalau ngga hanya film-film AADC, Warkop, tapi juga berlaku adil untuk semua film Indonesia, artinya membuka peluang selebar-lebarnya untuk film maker berkarya bahwa mereka diberi kepercayaan untuk mudah sistemnya,“ paparnya.

“Nanti ada beberapa pihak yang membantu supaya filmnya bertahan lama di bioskop, jadi orang-orang yang menyebut dirinya pemodal atau investor bisa dengan gampang menginveskan uangnya untuk film indonesia kemudian diputar lagi uangnya jadi ga merasa baru pertama kali bisnis film, inves film, tiba-tiba kaget dengan sistem, uangnya hilang ga bisa diputar lagi,“ ungkap Lola menambahkan.

Bagi Lola, tantangan itu selalu ada, dan dirinya mengaku tantangan nya adalah uang, “Karena nilai promosi untuk membuat film ditonton orang itu besar, kita ngga hanya mengandalkan media supaya orang nonton mengajak orang nonton ke bioskop atau sosial media,” katanya.

Lebih lanjut ia memaparkan, yang paling mudah dilakukan untuk promosi adalah dengan cara promosi di stasiun tv, secara teknis memiliki slot di TV dengan tayang sehari sepuluh kali selama tiga puluh detik, “Semua film yang box office, rata-rata mereka punya slot tiga puluh detik di tv, jadi penontonnya di atas lima ratus ribu. Karena semua orang nonton tv ketika mereka sedang nonton acara favoritnya, ada slot tiga puluh detik untuk iklan kita masuk di situ pasti orang penasaran,“ ujar Lola.

Lola pun mengungkapkan kendala yang ia hadapi yakni masalah pendanaan, “Karena saya ngga punya uang untuk promosi, bisa bikin film sampai kelar saja sudah Alhamdulilah, harus ada lagi promosi yang sejumlah dana produksi saya sudah ngga punya tenaga, artinya uang ini dipakai untuk bikin film lagi, ” ungkapnya.

Berbeda dengan negara lain, Indonesia belum punya wadah untuk promosi “Memang salah cara seperti itu, kalau di Amerika sebenernya ada studio besar yang menampung film dan mempromosikannya, kalau di kita (Indonesia) ngga ada, semuanya sendiri dengan produser dan Production House nya masing-masing, kadang-kadang yang modalnya kuat dan jor-joran belum tentu juga filmnya sesuai yang diharapkan secara balik modal,“ tukasnya.

Menurutnya, untuk film seperti AADC dan Warkop Reborn sudah banyak penonton yang menunggu, karena film tersebut merupakan film sekuel, jadi penonton penasaran untuk kisah selanjutnya. Selain itu, misalnya film Danur, yang sebelumnya sudah dibuat tanpa biaya yang mahalpun orang akan datang ke bioskop.
Bagi Lola, film is a Gambling, “Agak gambling, kadang-kadang kita sudah siapin modal besar supaya kembali, namun ternyata ngga kembali, ada yang tanpa modal tiba-tiba balik modalnya banyak, jadi memang film is a gambling di sini,“ katanya.

Bagi Lola membuat film paling tidak harus berarti untuk orang lain yang melihat, pasalnya prosesnya sendiri rumit. Meski demikian, karena passion nya di film yang begitu kuat, saat ini, Lola terus berkarya sebagai film maker. Dalam waktu dekat ini ada dua proyek film terbarunya yang masih dirahasiakan.

“Ini ada dua project yang lagi mau jalan, tapi saya belum bisa membocorkannya di sini, karena masih belum ada deal yang pasti, kalau udah baru saya berani ngomong, pamali kalau kata orang Jawa,“ kelakar Lola sambil tersenyum.

Lola punya harapan besar untuk perfilman di Tanah Air agar berkembang menjadi lebih baik, lebih cerah, lebih ada kesempatan dan lebih terbuka serta sistemnya berubah, dan tentunya ada berbagai kemudahan yang di dapat untuk para film maker Indonesia.(Kabari1008)