KabariNews – Hidup mapan di Negeri Kanguru Australia ditinggalkannya. Memutuskan kembali ke tanah air dan membangun Tangan Pengharapan. Jalan terjal dilewatinya. Meski begitu, wanita kelahiran Jakarta ini tetap teguh pada pendiriannya. Keinginan Henny Kristianus untuk membantu sesama membuatnya tak gentar dengan berbagai masalah yang menghadapnya. Kini satu dekade Tangan Pengharapan berdiri. Lebih dari 4 ribu anak ditolongnya. Bagaimana kisah lengkapnya, Henny berbagi dengan Kabari?

Siang itu cuaca Jakarta cukup terik, Kabari bertemu dengan Henny Kristianus di kantor Tangan Pengharapan di Jalan Banyo Raya, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Henny bercerita tentang awal mula membangun Tangan Pengharapan. “Jadi tahun 2006, saya dan suami berlibur ke Jakarta, membawa anak kembar kami, Chloe dan Zoe yang saat itu baru berusia 4,5 bulan. Niat hatinya ingin istirahat karena baru melahirkan putri kembar kami. Waktu itu setelah mengantar kami ke Jakarta, suami kembali ke Sidney, karena kami punya usaha kurir yang tidak bisa ditinggal. Saya tinggal di rumah ibu,” cerita Henny.

SELAMATKAN GENERASI

Screen Shot 2016-11-29 at 11.47.26 AMNah saat itu di Indonesia, banyak sekali anak jalanan terutama di lampu-lampu merah. Jauh lebih banyak dibanding waktu Henny masih tinggal di Indonesia tahun 1996. “Suatu hari saya seperti mendengar bisikan di hati, ‘Henny selamatkan generasi’. Waktu itu saya ga ngerti maksudnya apa. Waktu suami datang menjemput pada Februari 2006, saya bilang ke suami, ‘mau ga tinggal di Indonesia’, suami waktu itu bilang, ‘mau ngapain’. Karena saat itu kami punya bisnis, punya rumah, punya 2 mobil, kami sudah punya yang apa saja orang muda pengen punya di Australia. Saat itu suami saya bilang, ‘di Indonesia mau ngapain’, terus saya bilang, coba dipikirkan, didoakan saja, kalau ini jalan Tuhan buat kita pasti kamu mau pindah ke sini. Entah bagaimana, suami saya tiba-tiba dapat tawaran kerja di Indonesia. Suami saya ditawari jadi pembicara di komunitas, dan pulang dari berbicara itu, semangat banget bilang ke saya gini. ‘Henny saya menemukan mimpi, cita-cita, bakat, talenta dan semua tersalurkan di sini’. Saya jadi bingung, kenapa tiba-tiba dari seorang Jojo yang tanya mau ngapain di Indonesia, tiba-tiba bisa bilang saya menemukan mimpi, cita-cita dan lain-lain,” terang wanita kelahiran Jakarta 23 Januari 1978.

Setelah sang suami, Yoanes Kristianus atau akrab disapa Jojo diundang menjadi pembicara, Henny baru mengetahui bahwa passion Jojo adalah sebagai pembicara. “Bisnis kami running di Sydney itu menguntungkan secara keuangan sangat lumayan tapi ternyata dia mengerjakan bukan karena panggilan hati, karena kami butuh uang. Setelah dia mendapat kesempatan menjadi pembicara itu, ia menjadi terbakar dan passion-nya ketemu. Dan saya sangat percaya ini jalannya Tuhan. Saya percaya setiap orang itu punya takdir, destiny yang kita harus menemukan. Lentera jiwa itu apa, Tuhan menciptakan kita itu untuk apa dan akhirnya saya dan suami menemukan bahwa lentera jiwa kami. Bagi suami adalah menjadi pembicara, lentera jiwa saya adalah menolong orang miskin,” terang Henny.

Meski telah menemukan panggilan hidup, tidak serta mudah mewujudkannya. Henny mengakui bahwa pasca memutuskan tinggal di Indonesia hidup ternyata sangat sulit. “Kesulitan hidup mulai kami alami saat meninggalkan Australia. Karena bisnis kami terpaksa ditutup, bisnis yang tidak bisa dipindahkan begitu saja, kemudian kami terpaksa menjual aset kami di Australia, terpaksa jual mobil supaya kami bisa hidup di Indonesia. Kesulitan kami alami, karena kami jual rumah itu cukup lama laku, sekitar 10 bulan. Untuk menutupi cicilan tiap bulan itu kami terpaksa menggunakan semua dana yang kami punya, termasuk hasil penjualan mobil. Ketika rumah terjual, tabungan kami semakin menipis. Keputusan untuk tinggal di Indonesia itu membawa kami ke dalam penderitaan. Selama itu kami harus tetap membayar cicilan rumah di Indonesia dengan income zero. Jadi hanya dari tabungan kami di Australia aja,” imbuh Ibu dari Chloe, Zoe, dan Excell Young Kristianus.

Di saat kondisi krisis keuangan yang dialami, Juni 2006, Jojo mendapat pekerjaan di Bandung. “Suami saya dapat kerjaan di Bandung, seorang pengusaha meminta suami untuk mengelola gereja yang dia bantu. Nah di rumah yang kami tempati, saya stres berat. Kenapa? Karena ga punya teman di Bandung, ga tau mau ngapain, sudah ikut panggilan hati ke Indonesia tapi ga jelas mau ngapain. Nah tiba-tiba, sebuah suara, saat itu saya lagi di kamar mandi, ‘Henny apa yang paling dibutuhan oleh orang miskin’. Saya jawab, makanan atau uang. Suara hati saya bilang, bukan, yang paling dibutuhkan orang miskin adalah keluar dari kemiskinan. Kamu harus bantu mereka keluar dari kemiskinan. Ketika saya dapat suara itu, bertanya ke Tuhan, bagaimana saya bisa menolong mereka. Apa yang harus saya lakukan untuk orang miskin?. Tuhan mulai membukakan mati hati saya. Sehingga saya mulai mengerti untuk apa saya diciptakan,” jelas Henny.

Screen Shot 2016-11-29 at 12.30.38 PMHenny menjelaskan memilih tinggal di Indonesia merupakan salah satu fase sulit dalam hidupnya. “Jujur saja setelah saya memutuskan tinggal di Indonesia itu saya stres berat. Bagaimana ga stres, kami punya anak kembar, awalnya terpaksa numpang di rumah ibu saya. Suami tiba-tiba ga punya penghasilan, yang tadinya dari setiap minggu kami bisa dapat 2 ribu dolar Australia, tiba-tiba sekarang ga dapat uang sama sekali. Aset kami sudah hilang, yang kami cuma bisa lakukan adalah berdoa. Yang saya lakukan waktu itu, saya bilang ke Tuhan, saya ini diciptakan untuk apa. Dan saya bertanya siang malam. Tuhan mau apa dengan hidup saya. Dan jawaban itu saya terima di Bandung akhir tahun 2006. Bahwa saya harus menolong orang miskin. Orangtua juga bilang saya gila, mau nolong orang miskin itu mau ngapain? Tapi saya berdoa sejak saat itu, jika Tuhan mau yang saya tolong orang miskin, buka jalannya, uangnya dari mana, siapa yang harus saya tolong. Tiba-tiba di depan rumah kami di Bandung, ada anak-anak yang ga sekolah, yang selalu ganggu kami pagi siang malam, mereka main bola, main gitar, tendang bola terus ke pintu. Anak saya Chloe dan Zoe baru menginjak 10 bulan, mereka tidur itu kaget-kaget karena berisik sekali. Akhirnya saya tegur mereka, bilang jangan berisik, anak saya susah tidur. Suatu waktu saya ingin marah lagi ke anak-anak ini, tiba-tiba hati kecil saya bilang gini, ‘kenapa kamu marah’. Akhirnya saya bilang gini ke mereka, ‘kenapa kamu ga sekolah’, terus mereka jawab, ‘ga ada biaya Teteh’. Tiba-tiba mereka bilang ga punya biaya, saya tertegun, kenapa mereka ganggu pagi siang malam, ga sekolah, karena ternyata mereka miskin loh. Akhirnya saya bilang ke mereka, mau ga saya ajarin Bahasa Inggris, mereka bilang mau, besoknya jam 10 pagi, datanglah 5 orang anak, saya ajari mereka dari basic banget. Saya nasihati mereka rajin sembayang, takut sama Allah, harus hidup baik. Setelah belajar, saya minta pembantu kami bikin nasi goreng pakai telur, mereka makan dengan lahap. Besoknya datang 8 anak, lalu 10 anak, lalu 15 anak. Saya ingin membagi ilmu. Kenapa saya ngajar bahasa Inggris, karena saya pikir dengan keahlian itu mereka bisa cari kerja. Paling tidak, jadi door boy, tour guide,” ucap Henny.

Setelah setahun di Bandung, Henny dan keluarga kembali ke Jakarta pada Juli 2007. “Pengusaha yang memberi suami kerjaan di Bandung, minta suami saya kembali ke Sidney, ada job lain, dengan gaji lebih besar, fasilitas rumah dan sebagainya. Kami menolak karena kami tau panggilan hati kami ada di Indonesia. Saya share dengan suami, saya ingin menolong orang miskin di Indonesia. Dan syukur suami memiliki hati yang sama. Kami ingin menjadi berkat bagi anak-anak di Indonesia,” terangnya.

13Setelah di Jakarta, Jojo dapat panggilan jadi pembicara di Sidney selama 1 bulan. “Nah ketika di Sidney, dia dapat job di Indonesia untuk mengurus TV program dari Joyce Meyer Ministry. Kami handel production-nya. Nah Joyce Meyer Ministry punya NGO, Hand of Hope yang mengurus makanan. Karena mereka tau passion saya adalah menolong anak-anak, mereka support untuk makanannya. Saya mulai menjelajahi Jakarta waktu itu, ada 8 titik yang menolong anak-anak jalan dalam pemberian makanan bergizi dan bimbingan belajar gratis. Salah satunya di Jembatan Tiga, Jakarta Barat. Pokoknya di rel kereta api. Jadi waktu itu saya dirikan dapur umum di satu titik, pemberian di 8 titik. Jadi guru-guru ada di setiap titik. Saat itu ada 1028 anak yang kami bantu. Waktu itu donator baru Joyce Meyer Ministry,” cerita Henny.

Sayangnya pemberian makanan bergizi di Jakarta ini dihentikan pada tahun 2008. “Saya melihat ga konsisten teman yang saya ajak kerjasama ini, saya temui ada ketidakjujuran. Saya minta Joyce Meyer Ministry tidak support lagi, karena project di Jakarta dihentikan,” katanya.

Meski project di Jakarta dihentikan, keinginan untuk menolong sesama tidak pernah padam di hati Henny. “Kami mulai masuk ke dusun Pepe, Gedong Jati, Grobongan Jawa Tengah. Ini desanya kering, di atas bukit, susah sekali jalannya. Dari Desa Pepe, lalu kami pergi ke Halmahera Utara. Nah, saat kami ke Halmahera, Joyce Meyer Ministry kembali support kami. Di Halmahera kita bantu 225 orang anak, di Desa Pepe 75 orang anak, kemudian ada satu panti asuhan di Pengangsaan Jakarta. Jadi total 435 anak, itu Maret 2008,” ucapnya.

Lalu selanjutnya, Henny masuk ke Nusa Tenggara Timur. Dukungan tidak hanya datang dari Joyce Meyer Ministry, namun teman-teman yang mulai mendengar kiprahnya mulai memberi dukungan finansial. Karena itu, Henny memutuskan membuat yayasan yang diberi nama Tangan Pengharapan. “Saya putuskan mulai bikin yayasan aja. Jadi kalau ada orang bantu, dana ga masuk ke kami, tapi masuk secara legal,” katanya.

4 RIBU ANAK

Kini jangkauan pelayanan Tangan Pengharapan makin meluas. Di awal hanya 3 daerah dengan 435 orang anak, kini lebih dari 4 ribu anak yang telah ditolong Tangan Pengharapan. Ada 50 titik Tangan Pengharapan, mulai dari Mentawai, Papua, Kalimatan Barat, Sumba, Nusa Tenggara Timur, Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Timor, Halmahera Utara, dan Sulawesi Utara. “Paling banyak itu di NTT, di Sumba 9 titik, di Timor 15 titik. Di Papua terbesar setelah itu,” tandasnya.

65Menangangi anak sebanyak itu, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi pendonor tetap hanya dari Joyce Meyer Ministry. Meski begitu, keyakinan akan pertolongan Tuhan yang tak pernah terlambat membuat Henny kuat.

Salah satu keputusan terberat yang dibuatnya pada tahun 2013 memutuskan tidak lagi bekerja dengan Joyce Meyer Ministry. “Ketika saya berhenti dari Joyce Meyer Ministry, saat itu anak-anak udah 2500 orang, itu baru 30 titik. Suami jujur agak marah, kenapa resign, kenapa mengorbankan donator tetap seperti itu, mereka satu-satunya donator tetap dengan jumlah yang lumayan. Saya memang harus memilih, mau tetap terus bekerja di Joyce Meyer Ministry atau saya bebas mengerjakan panggilan saya. Kalau ketakutan tentang gaji sih ga terlalu, karena kami punya income lain, dari berbicara, suami cukup lumayan lah, tapi feeding program ini yang agak menakutkan. Jujur stres saat itu karena berani sekali saya mengundurkan diri, saya bilang ke mereka, sudah ga usah support biar saya usaha sendiri. 2013 itu kenapa saya berhenti, karena mereka semakin menekan bahwa saya tidak bisa ke pedalaman, kecuali 6 bulan sekali. Nah itu semakin sulit karena saya setiap bulan ke daerah, itu passion, jadi blusukan tiap bulan, setiap bulan ada 10 hari pasti saya pergi dari Jakarta,” imbuh Henny. (Kabari1009)