KabariNews – Ceria, kuat, tabah, dan sabar adalah Henny Kristianus masa kini. Namun, ketegaran dan kekuatan yang dimiliki saat ini diperoleh dari kisah masa lalu yang pahit. Perceraian orangtua di usia belia membuat hidupnya kacau balau. “Saya percaya Tuhan mengizinkan saya melewati semua itu sehingga saya hari ini ada karena pengalaman masa lalu yang sulit,” terangnya.

Perceraian orangtua ditambah usaha yang bangkrut menjadi pukulan terbesar dalam hidup Henny. “Orangtua saya bangkrut, kemudian mami meninggalkan kami umur 10, karena beliau harus berusaha cari jalan. Kami dititipkan di pulau Bangka, pada saudara Papa. Kami tinggal di sebuah rumah, hanya ada saya, kakak dan adik saya. Saat itu saya usia 8 tahun sudah belajar nyuci baju, ngepel. Saya belajar memasak, ikan itu hanya saya cuci tanpa dibersihkan,” katanya tersenyum.

“Waktu itu ga punya pembantu karena hidup susah, keluarga papa yang mampu, hanya memberikan uang makan saja. Akhirnya mami saya waktu itu sudah mulai ada jalan, mami di Jakarta kirimkan pembantu untuk ngurus kami. Papi saya juga pergi, nyari jalan lagi. Ga ada papa–mama. Hidup luntang lantung sampe umur 14. Lalu saya diambil mama di sekolahkan di Jakarta, itu pun tidak tinggal dengan mama, saya dikontrakan rumah di Kelapa Gading. Kemudian saya kuliah di Australia. Sebenarnya mami ga berniat kirim ke Australia tapi adik saya yang harus disekolahkan ke Australia sakit tipes tapi karena sudah terlanjur bayar sekolahnya, maka anak dengan marga sama bisa menggantikannya,” cerita Henny.

Tahun 1996, Henny berangkat ke Sydney, Australia. Perjuangan hidup dimulai di Benua Kanguru ini. Selama di Sydney, sang ibu melarangnya kembali ke Indonesia. “Saya tidak boleh pulang ke Indonesia oleh ibu sampe tahun 2000,” katanya.

Tak hanya dilarang pulang, sang ibu juga hanya membiayai kuliahnya selama 1 tahun. “Dalam 4 tahun itu, mami saya hanya biaya itu 1 tahun, selebihnya saya kerja sendiri. Kerja mati-matian supaya bisa bertahan hidup. Bayar kuliah, untuk makan, tempat tinggal. Saya bahkan hanya tinggal di ruang tamu selama 3 tahun karena ga sanggup bayar kamar. Jadi hanya disekat aja, supaya saya bayar murah,” ucapnya.

Agar bisa memenuhi semua kebutuhannya, berbagai pekerjaan dilakoninya. “Jadi setiap Minggu, saya jualan makanan kecil di gereja, lalu Senin-Sabtu saya kerja di Nando’s, restoran Portugis. Saya kerja di berbagai tempat supaya bisa bertahan hidup dan kuliah,” imbuhnya.

Meski telah bekerja keras, ada masa Henny mengalami kekurangan biaya kuliah. “Suatu kali, saya ga bisa bayar uang kuliah, uangnya kurang 200 Dollar. Saya datang ke orang yang saya anggap baik hati dan mau membantu, karena saya tuakan, tapi ternyata tega sekali dia minta saya buat surat utang. Saya ditaruh di sebuah apartemen untuk mengurus anak-anak orang kaya, saya pikir disitu sebagai kaka pembina, ternyata saya diperlakukan sebagai pembantu. Saya sadar ketika anak pemilik rumah itu bilang, ‘ci tolong setrika baju saya, tolong bikin mie’. Utang 200 Dolar, saya jadi hamba buat mereka. Jadi budak, dimarah-marahin. Hidup saya susah sekali. Hidup saya hancur, dari umur 12 udah pacaran ganti-ganti, hidup morat marit, harus kerja keras untuk bertahan hidup. Pengalaman-pengalaman pahit ini dimana saya diperlakukan tidak adil, dianiaya secara batin sama orang kaya, membuat saya belajar bahwa hidup menjadi orang miskin itu ga gampang. Saya ngerti bahwa anak-anak itu tidak bisa memilih mau lahir dari keluarga apa. Jadi anak siapa. Saya bahagia hari ini karena apa yang saya lakukan atas anugerah Tuhan, bisa memberikan kebahagian untuk 4 ribu anak di seluruh Indonesia. Dan mudah-mudahan lebih banyak lagi,” katanya.

Henny mengatakan bahwa ada orang lahir miskin tapi belum tentu mati miskin. “Saya punya pedoman, saya harus cukup untuk diri sendiri, supaya saya bisa bagi untuk orang lain,” pungkasnya. (Kabari1009)