Mey Hasibuan, pendiri House of Inang, telah menorehkan pencapaian istimewa dalam menciptakan produk fashion ramah lingkungan yang tidak hanya mengangkat seni tradisional, tetapi juga memberdayakan perempuan lansia.

Dalam wawancara bersama KABARI, Mey berbagi perjalanan inspiratif di balik berdirinya House of Inang, yang dimulai dari ketertarikannya pada nenek-nenek penganyam di Indonesia yang mengolah limbah plastik menjadi kerajinan bernilai tinggi.

Pada tahun 2010, Mey, yang saat itu masih tinggal di Amerika, berkesempatan kembali ke Indonesia. Di tanah air, ia dikenalkan dengan nenek-nenek penganyam oleh seorang sahabatnya.

“Sejak saat itu, saya sangat mengagumi keahlian mereka dalam menganyam plastik-plastik bekas,” kata Mey. Meskipun ia masih berkarier di dunia korporat, komitmennya terhadap nenek-nenek penganyam tersebut semakin kuat. Akhirnya, pada tahun 2014, Mey memutuskan untuk berhenti dari karier korporatnya dan kembali ke Indonesia untuk memulai bisnisnya.

“Awalnya, kami hanya memproduksi tas dari hasil anyaman plastik, namun saya menyadari bahwa konsumen perempuan tidak hanya membutuhkan tas, tetapi juga berbagai produk lainnya. Dari sana, kami mulai mengembangkan koleksi fashion yang lebih lengkap, termasuk pakaian dan sepatu,” ujar Mey, mengingat perjalanan awal berdirinya House of Inang.

Filosofi House of Inang dan Produk Ramah Lingkungan

Mey menjelaskan bahwa House of Inang berdiri di atas tiga pilar utama yang menjadi landasan dalam setiap produk yang mereka buat. Pilar pertama adalah upaya mengurangi sampah plastik. Indonesia, sebagai salah satu penghasil sampah plastik terbesar di dunia, menjadi fokus utama dalam misi ini.

“Pilar kedua adalah pemberdayaan perempuan, khususnya lansia. Kami bekerja sama dengan nenek-nenek yang sudah berusia 60 hingga 80 tahun, namun masih produktif dan mampu mendapatkan penghasilan tambahan untuk keluarga mereka,” jelas Mey. Sementara itu, pilar ketiga adalah upaya melestarikan tradisi melalui penggunaan kain wastra Indonesia dalam setiap produk yang dihasilkan.

Dengan kombinasi antara pemberdayaan masyarakat, pengurangan sampah, dan pelestarian budaya, House of Inang menjadi sebuah merek fashion yang menggabungkan keberlanjutan dan warisan tradisional Indonesia.

House of Inang menawarkan berbagai produk fashion yang dapat digunakan oleh wanita berusia 25 hingga 60 tahun. Koleksinya mencakup pakaian ready to wear, tas, sepatu, dan aksesori lainnya seperti topi. Setiap produk dirancang dengan memperhatikan gaya yang elegan namun tetap fungsional.

“Produk kami menggunakan bahan plastik bekas seperti pembungkus pasta gigi dan kemasan produk rumah tangga. Sampah-sampah ini kemudian diolah menjadi gulungan kain yang dianyam oleh nenek-nenek pengrajin kami,” kata Mey. Selain itu, House of Inang juga mengumpulkan sampah plastik dari pelanggan dan komunitas di sekitar Bintaro melalui program pengumpulan sampah rutin.

Seperti bisnis berbasis lingkungan lainnya, House of Inang menghadapi tantangan dalam edukasi pasar. Mey menjelaskan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang masih kurang menghargai produk daur ulang, terutama yang menggunakan bahan seperti sampah plastik.

“Sebagian besar konsumen lebih mengutamakan produk branded atau produk impor dengan harga murah. Oleh karena itu, kami terus melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya mengurangi sampah plastik dan bagaimana memilih produk yang lebih ramah lingkungan,” tambah Mey.

Tantangan lainnya adalah regenerasi penganyam. Saat ini, sebagian besar pengrajin anyaman di House of Inang adalah nenek-nenek yang sudah berusia lanjut, dan minat generasi muda terhadap kerajinan anyaman semakin berkurang. “Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kami, karena kami perlu mencari cara untuk menarik minat anak muda agar mau melanjutkan tradisi anyaman ini,” ungkap Mey.

Prestasi dan Pengalaman Berharga

Dalam perjalanan empat tahun terakhir, House of Inang telah berhasil mengelola sekitar satu ton limbah plastik setiap tahunnya. Mey sangat bersyukur karena produknya banyak diminati oleh kalangan korporasi untuk dijadikan suvenir perusahaan, yang memberikan dampak signifikan terhadap pengelolaan sampah plastik dan juga kesejahteraan para pengrajin.

“Pengalaman paling berkesan bagi saya adalah ketika melihat dampak langsung dari produk-produk kami terhadap lingkungan dan pemberdayaan nenek-nenek pengrajin. Kami tidak hanya berhasil mengurangi sampah plastik, tetapi juga memberikan penghasilan tambahan bagi mereka,” kata Mey.

Mey berharap kesadaran masyarakat Indonesia terhadap produk ramah lingkungan akan semakin meningkat di masa depan. Ia juga berharap semakin banyak orang yang mengapresiasi produk-produk lokal, sehingga House of Inang bisa memberdayakan lebih banyak pengrajin dan mengelola lebih banyak sampah plastik yang bisa diselamatkan dari tempat pembuangan akhir.

“Tujuan utama kami adalah memperpanjang usia plastik-plastik ini agar tidak berakhir di tempat sampah. Dengan begitu, kami bisa terus berkontribusi dalam menjaga lingkungan dan melestarikan warisan tradisional Indonesia,” tutup Mey penuh harap.

Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 205

Simak wawancara Kabari bersama Mey Hasibuan dibawah ini.