Pasangan K.H. Abdurrahman Wahid dan sang istri Sinta Nuriyah dianugerahi 4 orang putri. Masing-masing mengikuti jejak kedua orangtuanya sebagai aktivis dan pejuang hak-hak dasar kaum minoritas di Indonesia. Alisa Wahid, misalnya, lebih banyak bergerak di tingkat akar rumput menangani persoalan sosial dan kultural bersama kelompok Gusdurian. Sementara itu, Yenny Wahid melanjutkan perjuangan sang ayah di jalur politik praktis. Berbeda dengan Yenny, Anita Wahid lebih banyak bergerak di bidang penguatan masyarakat sipil dan baru-baru ini mendirikan komunitas Masyarakat Anti Fitnah dan Hoaks Indonesia (MAFINDO) untuk menangkal peredaran hoaks dan fitnah yang marak di Tanah Air. Pada tahun 2006, Inayah Wulandari Wahid mendirikan sebuah organisasi kepemudaan yang ia beri nama Positive Movement. Melalui gerakan ini, putri bungsu Presiden RI ke-4 tersebut membangkitkan kesadaran bahwa pada hakikatnya seluruh elemen masyarakat memiliki kekuatan untuk membuat perubahan yang positif dan menciptakan perdamaian.

Mengamati konstelasi politik di tengah pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) 2019, Inayah merasa pemilu 2019 merupakan pemilihan umum yang paling menakutkan bagi dirinya. “Orang itu kok sibuk sendiri. Berantem satu sama lain, sesama warga Indonesia untuk mempertahankan pilihan politiknya mati-matian,” jelasnya. Sementara itu, ia juga mengamati sebuah paradoks di mana para calon yang mengikuti kontestasi malahan tidak berusaha mati-matian untuk meyakinkan pemilihnya dengan program-program yang jelas. “Ini sebenarnya cuman pemilu untuk memilih perangkat negara. Ini bukan jihad agama. Ini bukan perang. Ini hanya memilih perangkat negara yang kita anggap paling baik,” ujarnya. Inayah juga sangat menyayangkan polarisasi yang terjadi karena pilpres telah sedikit banyak mengabaikan keberadaan pileg yang menurutnya tidak kalah penting.

Istilah ‘milenial’ belakangan kerap dibahas di kancah perpolitikan nasional. Menurut Inayah, kaum milenial lebih dari sekedar berusia muda. “Milenial berarti kalian punya kebaruan. Kalian memegang (peran dalam) pembaharuan. Kalian yang harus dobrak cara-cara lama yang sebenarnya sudah tidak berpihak pada masyarakat,” tegasnya. Dalam pemilu kali ini, ia pun menengarai partai politik banyak menggunakan kelompok pemilih muda tersebut sebagai objek untuk mendapatkan suara melalui iming-iming program yang seolah-olah fokus untuk menjawab problematika kehidupan mereka.

Ia membayangkan mendiang ayahnya, Alm. K.H. Abdurrahman Wahid akan bersedih jika melihat kondisi bangsa saat ini. Meskipun sebenarnya, tokoh yang dikenal dengan sapaan akrab Gus Dur ini sudah memiliki bayangan situasi polarisasi bangsa seperti yang kini terjadi.

Dari Teater Sampai Jadi ‘Tukang Ojek’

Sebagai pengemudi ojek online di serial tv OK-JEK (dok. Net TV)

Inayah merupakan satu dari sedikit aktivis yang pernah tinggal di Istana Merdeka sebagai seorang anak Presiden. Di samping kegiatannya sebagai aktivis, ia juga dikenal aktif berkecimpung sebagai pekerja seni sejak 15 tahun silam. Mengawali karirnya di dunia teater, ia belakangan mulai menjajaki dunia seni peran melalui medium televisi. Salah satunya sebagai Nayasa ‘Naya’ Zafira dalam sitkom OK-JEK. Sinetron komedi yang ditayangkan di stasiun televisi NET ini bercerita tentang dinamika kehidupan para tukang ojek online dan seluruh staff di kantor OK-JEK. Dalam sitcom tersebut, Naya dikisahkan sebagai anak orang kaya yang berusaha untuk mandiri dan mencari pekerjaan atas usahanya sendiri. Karena kekhawatiran orang tuanya, seorang bodyguard diutus untuk terus mengawasinya. Naya selalu menawarkan makanan dan minuman kepada para pelanggannya. Ia pun dikisahkan menjadi pimpinan dan pemilik OK-JEK yang baru.

Di penghujung wawancara dengan Kabari News di Los Angeles, Inayah mengatakan bahwa dunia seni peran merupakan habitat bagi dirinya. Ia juga melihat dunia akting sebagai salah satu ranah bagi dirinya untuk menyebarkan pesan-pesan positif kepada masyarakat.