KabariNews – Diah Kusumawardani Wijayanti, menularkan semangat cinta budaya Indonesia melalui Yayasan Belantara Budaya Indonesia (BBI).

BBI merupakan yayasan yang peduli akan sejarah pendidikan dan budaya. Yayasan ini berdiri pada tahun 2013 silam dengan tujuan membuat wadah apresiasi untuk anak dalam berkreatifitas. Dalam hal mewujudkan tujuan tersebut, BBI merancang program kerja yang tujuannya membangun generasi muda yang cerdas dan kreatif serta berkepribadian baik.

Yayasan tersebut memiliki program sekolah tari gratis yang diadakan di Museum Kebangkitan Nasional. Selain tari, saat ini berkembang merambah sekolah musik tradisional Indonesia.

Selain di Jakarta, BBI juga hadir di berbagai kota di Tanah Air, “Kami memiliki sekolah tari dan musik tradisional gratis yang berada di lima sekolah yaitu di Jakarta, Bandung dan Nusa Tenggara Timur (NTT),“ ujar Diah saat wawancara dengan Kabari di kawasan Jakarta Pusat.

Wanita berambut panjang yang juga dikenal sebagai fotografer dan wakil pemimpin redaksi di Gohitz.com ini mengaku sudah mencintai seni dan budaya sejak kecil. Dari usia belia ia sudah terpapar dengan ragam kesenian, mulai dari aneka wayang, makanan khas Indonesia hingga belajar gamelan Jawa.

Diah memaparkan, keinginannya mendirikan yayasan berangkat dari keprihatinannya terhadap pemuda–pemudi yang masih kurang perduli terhadap budaya Indonesia. “Awalnya saya mendirikan yayasan ini prihatin banget, begitu kayanya Indonesia tapi anak-anak mudanya saya bilang kurang peduli akan budayanya,“ ungkapnya.

Diah menyadari kurangnya pengetahuan tentang kesenian Tanah Air membuat anak-anak jadi lebih tertarik belajar dance K-Pop atau budaya barat lainnya. Masuknya budaya barat secara tidak langsung menggeser nilai empati kaum muda untuk mengenal bahkan belajar tentang budaya bangsa. Padahal, kata Diah seni dan budaya Indonesia tidak kalah dengan budaya barat, bahkan jauh lebih beragam. Melalui yayasan BBI, ia punya harapan besar menjadikan budaya Indonesia sebagai kesenian yang dibanggakan dan terdepan.

Melestarikan budaya menjadi ikon di yayasan BBI, hal itu bisa dilihat dari sebagian besar program yang dijalankan. Tak hanya memupuk kesenian, program BBI juga mengenalkan pelestarian budaya kearifan lokal dari masing–masing daerah, “Misalnya, kita bikin sekolah di Jakarta kearifan lokalnya dibangun dari Betawi, kesenian Betawi dan lain-lain,“ jelas Diah. Hal yang sama pun dilakukan di sekolah gratis milik Yayasan BBI yang didirikan di daerah lain, seperti di NTT, Diah mencoba menggali kearifan lokal di daerah tersebut, mulai dari tarian, alat musik hingga kebudayaannya. “Kita ingin mereka peduli dulu budaya tradisi kearifan lokalnya, baru mereka belajar budaya yang lain, jadi kita ingin semua bangga akan budayanya masing-masing yang pasti itu Indonesia,“ ungkap penuh semangat.

Awal pertama mengenalkan kesenian tari, Diah mengaku sangat senang, pasalnya animo masyarakat yang begitu besar membuatnya semakin semangat. “Ternyata sekolah gratis yang saya bangun ini animonya banyak banget, barulah kedua saya buka sekolah musik tradisional. Sejauh ini baru musik gamelan Jawa, angklung dan juga musik dari NTT yang mengiringi tarian musik dari NTT,“ ungkapnya.

Tentu Diah tidak sendirian, awalnya dia dibantu tenaga Volunter yang kemudian diganti dengan tenaga guru. Alasannya karena komitmen, sekolah tari yang berada di Museum Kebangkitan Nasional kini memiliki sekitar 700 siswa, menurut Diah, jika masih menggunakan jasa volunter anak-anak tidak tercover untuk dilatih.

Kebayang kan, sekolah saya yang di museum kebangkitan nasional siswanya sendiri yang terdaftar 700 dari usia anak-anak hingga orang tua, sedangkan yang aktif saja sekitar 350 sampai 400, kebayang tidak segitu banyaknya siswa, gurunya tidak hadir,“ kata Diah.

Karena alasan itulah akhirnya Diah tenaga guru untuk melatih anak didiknya, “Akhirnya saya hire guru yang benar-benar ingin mengabdikan diri dan juga ber CSR untuk dirinya sendiri selain mereka dapat imbalan tapi mereka menCSRkan dirinya,“ terang Diah.

Pertama membangun yayasan, Diah mengaku diselimuti keraguan. Ia takut jika progamnya ini tidak berkembang dan sepi peminat. Namun segala niat dan usaha yang tulus pasti berbuah manis, di luar dugaan, sambutan masyarakat begitu positif hingga akhirnya dibuka sekolah yang ketiga. “Sejauh ini masih gerilya terus, karena belum punya founding tetap, makanya saya butuh banget bergandengan tangan dari berbagai pihak, perorangan maupun perusahaan untuk bersama-sama peduli dengan budaya Indonesia,“ ungkapnya.

Atas segala usaha yang dicapainya hingga saat ini, Diah mengaku mendapat kepuasan batin yang tak ternilai. Meski begitu, Diah masih akan terus berjuang menularkan dan mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai Indonesia. “Selama saya hidup bisa berguna untuk orang lain, saya akan tetap berkontribusi melestarikan budaya Indonesia,“ ungkapnya mantap.

Hikmah yang sudah didapat selama mendirikan BBI dianggapnya sebagai karunia yang luar biasa dengan seabrek pengalaman. Dirinya merasa tidak akan pernah jera untuk melakoni perannya sebagai pegiat budaya Indonesia melalui yayasannya dengan membawa serta mimpinya untuk anak – anak Indonesia.

“Inginnya anak-anak Indonesia bangga akan budaya Indonesia, kemudian mereka dengan pendidikan non formal mereka bisa hidup, misalnya, jadi artis budaya tradisi Indonesia, mereka bisa manggung di dalam negeri hingga mancanegara, mereka bisa percaya diri menjadi artis budaya tradisi indonesia, karena sejauh ini, saya seneng banget kalau anak-anak saya pentas di luar, bukan hanya kebanggaan buat orang tuanya tapi kebanggaan buat saya,“ tuturnya.

Makna budaya bagi diah adalah keberagaman, Indonesia kaya akan budayanya, hal ini merupakan sesuatu yang tidak dipunyai oleh negara–negara lain.

Lulusan S2 Arkeologi di Universitas Indonesia ini menilai, saat ini museum sudah mulai mengalami perubahan namun masih belum banyak dikunjungi. Melalui programnya, Diah merasa sedikit senang, meski tujuannya untuk belajar menari, paling tidak anak-anak atau mereka yang berminat belajar di yayasan BBI secara tidak langsung mengunjungi museum. “Mereka berfikir museum masih jaman dulu, bagaimana supaya orang-orang berkunjung ke museum, maka saya buatlah program yang mengikat bagaimana pengunjung dateng ke museum, dan ternyata berhasil, “ ungkap Diah.

Budaya dan sejarah harus menjadi satu kesatuan, diah mengaku, hal ini bisa berdampak lebih besar lagi jika orang sudah cinta akan budaya dan sejarahnya, negara ini akan besar dan kuat.

Harapan untuk budaya Indonesia? Diah berharap semua masyarakat di seluruh nusantara turut peduli akan budayanya masing – masing, karena menurutnya ada banyak kekayaan serta kearifan lokalnya yang harus dijaga, jangan sampai satupun punah atau lepas.

Selain itu, ia juga berharap hal di atas menjadi sebuah gerakan nasional. “Saya ingin gerakan ini menjadi gerakan nasional, karena gerakan ini tidak hanya sekedar budaya tapi adalah suatu hal yang sangat essensial karena melatih budi pekerti budaya. Ini yang harus kita galakkan agar tidak ada pemecah belah atau isu-isu perbedaan seperti kemarin agar bisa diredam dengan komunikasi budaya,“ tutup Diah.(Kabari1008/ Foto:dok. Pribadi)