Marissa Hutabarat adalah masyarakat Indonesia yang memiliki profesi sebagai hakim di Amerika. Wanita cantik kelahiran California ini memulai karirnya berawal dari edukasi yang diajarkan oleh sang nenek dan orang tuanya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sosial, budi pekerti, budaya serta agama.

Marissa berkisah, “Saya asal Chicago. Saya lahir di California tapi keluarga saya pindah ke Chicago saat saya berumur 9 bulan. Nenek saya turut membesarkan saya bersama mama dan papa saya. Opung (nenek) saya sejak dini sangat berperan penting dalam hidup saya,” terang Marissa kepada Kabari melalui wawancara via Zoom.

Ia menambahkan, “Beliau mengajarkan saya untuk menghormati orang lain dan juga pandangan, moral, agama, budaya dan tradisi mereka. Dengan ajaran inilah saya menjadi seperti sekarang. Orangtua saya mengajarkan pentingnya pendidikan, kerja keras, kontribusi pada masyarakat. Mereka bertiga, Opung, mama dan papa adalah orang yang membuat saya seperti sekarang. Saya sangat dekat dengan mereka,” imbuh Marissa.

Seiring berjalannya waktu, Marissa memutuskan pindah ke New Orleans untuk melanjutkan studinya. “Saya kuliah di fakultas hukum Loyola University di New Orleans. Untuk tingkat sarjana saya kuliah di Loyola University di Chicago dan kemudian saya wisuda dari DePaul University. Mengikuti Jesuit Education, saya memutuskan keluar dari Chicago untuk sementara dan pindah ke New Orleans untuk pendidikan. Tapi kemudian saya jatuh cinta dengan kota ini dan orang-orangnya sehingga saya memutuskan tetap di sini dan melayani komunitas yang saya cintai ini,” katanya.

Keinginannya untuk melayani masyarakat, Marissa juga memutuskan untuk melanjutkan kuliah jurusan hukum, sebelumnya Marissa sudah memiliki gelar psikologi.

“Intinya, saya ingin melayani masyarakat, melayani komunitas. Saya mengambil psikologi karena saya suka mendengarkan orang-orang yang membutuhkan. Dengan psikologi, saya dapat memberi masukan setelah memperhatikan keluh kesah orang-orang tentang masalah mereka. Setelah menimbang-nimbang minat saya, saya pun memutuskan kuliah hukum. Malahan, saya sudah ada cita-cita untuk menjadi pengacara sejak masih kecil. Ayah saya datang ke Amerika dari Singapura dengan visa mahasiswa. Beliau kuliah di Northwestern Dental School di Chicago (inilah awal sejarah keluarga kami di Chicago). Di tengah jalan, papa menghadapi masalah, yang akhirnya dapat diselesaikan berkat bantuan penasehat hukum. Saat itu saya masih sekitar 6 tahun, tetapi saya mengamati jasa dan bantuan penasehat hukum ini,” katanya.

“Inilah yang memicu saya untuk menjadi penasehat hukum. Saya ingin menjadi penasehat hukum untuk membantu masyarakat dan memberi bantuan hukum pada mereka. Singkat kata, saya pun masuk kuliah hukum,” ungkap Marissa.

Menurut Marissa, menjadi seorang hakim adalah pekerjaan yang memiliki rasa kemanusiaan untuk menolong sesama.

“Setelah selesai kuliah hukum, saya bekerja menjadi asisten hakim untuk tiga orang hakim. Saya belajar bahwa untuk menjadi hakim yang baik, saya harus memiliki keinginan dan semangat membantu orang. Semangat saya untuk menjalankan proses hukum lahir dari bekerja bersama ketiga hakim tadi. Saya ingin mendengarkan orang-orang yang butuh bantuan dan memberi bantuan hukum untuk mereka saat ditimpa masalah. Kantor saya sekarang adalah People’s Court (Pengadilan Negeri). First City Court juga dikenal dengan nama People’s Court. Saya ingin menjadi hakim dari masyarakat. Sesuai namanya, di People’s Court, banyak masyarakat yang memulai proses pengadilan sendirian tanpa bantuan hukum,” ujar Marissa.

“Oleh karena itu, sang hakim hendaknya memiliki rasa kemanusiaan untuk menolong sesama. Dibutuhkan kemauan untuk mendengarkan, menghormati orang-orang ini dan membuat mereka merasa dimanusiakan di ruang pengadilan. Sang hakim harus membuat mereka merasa didengar. Inilah yang membuat saya mencalonkan diri menjadi hakim. Minggu ini, saya menjalankan minggu pertama sebagai hakim. Saya mulai duduk di kursi hakim Senin. Satu minggu terakhir ini sangat menyenangkan, dan saya berusaha sungguh-sungguh mempelajari kasus-kasus yang ada dan mendengarkan peserta sidang,” imbuhnya.

Bagi Marissa, hal yang harus dipersiapkan jika ingin memiliki profesi seperti dirinya adalah harus sesuai dengan cita-cita karena akan dijalaninya dengan hati yang tulus dan bahagia.

“Yang saya rasakan adalah, jika Anda bekerja sesuai cita-cita Anda maka Anda akan senang menjalaninya. Saya senang menjalani apapun yang harus saya kerjakan. Baik itu tugas menjaga adik-adik saya saat masih kuliah dulu. Baik itu saat menjadi asisten untuk tiga hakim yang berbeda. Baik itu saat bekerja sebagai pengacara perkara perdata. Saya menikmati semua hal yang pernah saya kerjakan. Untuk urusan karir maupun keluarga, saya selalu ingin membantu orang. Itulah pengalaman pribadi saya. Jadi, nasehat yang bisa saya berikan adalah tentukan cita-cita Anda. Lalu, bekerja keraslah untuk mencapainya. Carilah bantuan dari orang lain. Memang, tidak semua keluarga akan memberi bantuan sepanjang waktu. Maka, temukan orang yang dapat membimbing Anda. Doronglah diri Anda sendiri. Percayalah pada kemampuan Anda sendiri. Bersungguh-sungguhlah untuk mencapai cita-cita Anda,” terang Marissa.

Sosok Sang Nenek Bagi Marissa.

“Opung, nenek saya, mulai tinggal bersama keluarga saya ketika saya berumur 9 bulan. Opung turut membesarkan saya bersama orang tua saya. Papa saat itu kuliah kedokteran gigi dan sibuk menjalani studinya. Dan mama saya memiliki dua pekerjaan untuk menopang kami. Opung menjaga saya. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Sebelum pindah ke Chicago, Opung baru pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang guru di Singapura. Kami berkeliling dunia bersama, mengunjungi tante-tante dan om-om kami di Skotlandia, Australia, dan Singapura. Opung menanamkan nilai-nilai yang mulia di hati saya yang masih saya jaga sampai sekarang. Opung meninggal dunia lima tahun yang lalu tanggal 22 Agustus. Tetapi ajarannya masih melekat di hati saya sampai sekarang,” ungkap Marissa.

Apakah nenek Anda mengajarkan bahasa Indonesia?

“Beliau mencoba. Saya agak malu mengakuinya tapi ada beberapa kendala. Ayah saya bisa bahasa Indonesia sedikit-sedikit, tetapi beliau besar di Singapura dan bahasa sehari-harinya di sana adalah Inggris. Sedangkan mama saya yang keturunan Thailand-China, memakai bahasa Thailand. Jadi, bahasa pemersatu kami berempat ya Bahasa Inggris. Opung mengajari saya Bahasa Indonesia sedikit, tetapi bahasa yang saya gunakan sehari-hari ya Inggris, dan saya juga bisa berbicara Bahasa Thailand sedikit.”

Apakah Anda punya saudara kandung? Anda anak pertama, kan?

“Benar, saya anak pertama. Saya memiliki dua adik yang sembilan dan tujuh tahun lebih muda dari saya.”

Apakah mereka mengikuti Anda ataukah mereka beda jalur?

“Beda jalur. Adik perempuan saya perawat dan adik laki-laki saya sedang mencari jati diri dan mungkin ingin menjadi wirausahawan.”

Mereka juga tinggal di Chicago?

“Iya. Keluarga saya semuanya tinggal di Chicago, tetapi saya ingin agar mereka pindah dan tinggal bersama saya di New Orleans, mungkin tidak lama lagi.”

Tantangan-tantangan apa yang Anda hadapi sebagai seorang hakim?

“Di sepanjang minggu ini, pengadilan negeri sedang banyak kasus penggusuran dari rumah sewa. Namun, ada perintah dari CDC (Centers for Disease Control) tertanggal 2 September tentang penghentian sementara putusan penggusuran. Dengan ini, proses-proses penggusuran akan berhenti sampai 31 Desember. Senin dan Rabu kemarin saya ada putusan penggusuran yang harus diambil. Inilah tantangan saya, karena selama wabah COVID ini masyarakat kehilangan pekerjaan dan tidak mampu membayar sewa. Tetapi, para pemilik rumah kontrakan juga tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban mereka karena uang sewa tidak mereka terima. Mulai hari ini, para pemilik kontrakan terpaksa harus berusaha memenuhi kewajiban mereka meskipun tanpa menerima uang sewa.”

Apakah Anda punya pesan untuk orang-orang Indonesia yang ingin mengikuti jejak Anda berkarir di bidang hukum?

“Ya. Memang sudah lama saya lulus dari fakultas hukum, tetapi saya masih ingat saya bersungguh-sungguh mempersiapkan di saat jenjang S1 Saya hanya fokus melakukan hal-hal yang diperlukan untuk meraih cita-cita saya. Di jenjang S1, saya sudah menemukan apa yang ingin saya lakukan. Saya berguru pada beberapa mentor. Saya melakukan banyak riset. Saya mengambil tes LSAT (Law School Admission Test). Untuk mempersiapkan LSAT, saya memastikan mendapat bimbingan yang terbaik. Akhirnya saya kursus di Kaplan, belajar dari buku-buku yang tepat, dan mengasah ilmu saya. Saya benar-benar mempersiapkan diri untuk LSAT. Kemudian, saya minta bantuan papa menyeleksi fakultas hukum yang terbaik bagi saya, dari segi lokasi dan keunggulan lainnya. Maka saya pilih Loyola di New Orleans karena saya S1 di Loyola University Chicago dan DePaul University. Saya suka lingkungannya. Tahun saya mulai kuliah di New Orleans adalah satu tahun setelah bencana badai Katrina. Saya juga ingin membantu masyarakat New Orleans yang ditimpa Katrina. Singkat kata, nasehat saya untuk yang ingin kuliah hukum adalah persiapkan sematang mungkin, dan tentukan yang paling Anda inginkan, yang paling Anda suka dan yang paling sesuai dengan Anda. Orang ’kan berbeda-beda, jadi pastikan persiapan Anda matang dan tujuan Anda sesuai untuk Anda. Tetaplah semangat untuk mencapai cita-cita Anda apapun suku, agama Anda.”

Marissa, sekali lagi selamat atas posisi baru Anda sebagai hakim. Anda membuat warga Indonesia bangga. Seperti Anda bilang, apapun sukunya, semua orang memiliki kesempatan untuk meraih cita-citanya. Terima kasih telah menginspirasi kami. Kami bangga dengan Anda.

“Terima kasih. Saya bangga menjadi orang Indonesia. Saya sungguh haru dengan dukungan dan ucapan selamat yang saya dapatkan dari warga Indonesia. Sejak awal kampanye saya sampai sekarang, sambutannya sungguh luar biasa, meskipun banyak kendala. Saya makin bangga menjadi orang Indonesia. Sekali lagi, saya sangat berterima kasih atas pengalaman yang luar biasa ini,” pungkas Marissa.

Selengkapnya Klik Video Berikut Ini :