Sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Indonesia pada 28 Oktober 1928. Peristiwa itu diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Peristiwa Sumpah Pemuda merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu menandai tekad dan semangat para pemuda, untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Saat itu, Indonesia masih dikuasai Belanda. Namun perjuangan untuk merdeka sedang menguat. Pemuda-pemuda Indonesia merasa perlu untuk bersatu demi mencapai tujuan kemerdekaan. Itu seiring dengan semangat nasionalisme yang berkobar. Dan, akhirnya Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945.
Kini, 96 tahun kemudian, hari Sumpah Pemuda tetap kita rayakan, sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan para pejuang kemerdekaan.
Dalam rangka itu, KABARI mendapat kesempatan istimewa berbincang khusus dengan perempuan tangguh nan istimewa, namanya Nukila Evanty. Kiprahnya dalam membela kaum marginal diberbagai daerah pelosok tanah air, menjadikannya sebagai sosok perempuan inspiratif zaman ini.
Nukila Evanty dikenal sebagai Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA); Executive Director Women Working Group (WWG); dan Ketua Koalisi Lawan Kejahatan Terorganisir (the Coalition). Nukila tumbuh menjadi pribadi yang resah dengan ketidakadilan.
“Saya besar di kota kecil, di Bagan-siapiapi, Riau. Orangtua saya juga banyak berpindah-pindah. Jadi saya melihat beberapa hal yang mengugah, misalnya mengapa ada orang punya istri lebih dari tiga orang, kok laki-laki satu aja. Kemudian saya melihat bahwa perempuan itu menjadi nomor dua di keluarga. Bahkan di kartu keluarga, saya bilang ke papa saya, bisa gak, mama jadi kepala keluarga,” kata Nukila tersenyum.
Keresahan-keresahan yang dialami mendapatkan momentum, ketika Nukila memutuskan kuliah di fakultas hukum. Saat kuliah ini, Nukila banyak belajar tentang gender, juga tentang HAM (hak asasi manusia). “Dari sinilah, saya melakukan advokasi. Jadi advokasi itu, learning by doing saja. Saat kuliah, saya banyak melakukan advokasi untuk kelompok-kelompok marginal, yang tidak punya akses ke kesehatan juga pendidikan,” tukas Nukila.
Saat melanjutkan studi hukum lanjutnya di Belanda dan Australia, Nukila banyak terlibat dengan lembaga internasional, salah satunya adalah Amnesti Internasional. Keterlibatannya dalam berbagai organisasi, mendorong Nukila membentuk organisasinya sendiri, sesuai dengan idealismenya. Maka, lahirlah Women Working Group (WWG) dan Inisiasi Masyarakat Adat (IMA).
Melalui Inisiasi Masyarakat Adat, Nukila menemukan banyak persoalan di lapangan. Misalnya kelompok marjinal seperti masyarakat adat yang tidak punya tanah lagi, bahkan terusir dari tanah kelahiran sendiri. Para kaum marjinal dan minoritas tersebut memiliki masalah yang sangat kompleks. “Saya belajar tentang HAM, dari situ saya melihat, kalau orang tidak memiliki pendidikan, maka ia tidak bisa mencari pekerjaan, bahkan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari,” kata Nukila.
Karena kepeduliannya yang tinggi pada sesama, saat ini Nukila juga fokus pada isu-isu terkait kejahatan terhadap kemanusiaan, yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang. “Saya fokus dengan kaum perempuan, karena perempuan selalu menjadi korban dalam mata rantai kejahatan. Apalagi di masyarakat yang patriarki, maka banyak diskriminasi yang dialaminya. Lalu ada juga kaum misoginis atau orang-orang pembenci kaum perempuan. Termasuk perempuan yang menjadi pembenci perempuan lainnya,” ujar Nukila.
Pengalamannya sebagai aktivis perempuan, tidak membuat Nukila nir-diskriminasi. Bahkan Nukila mengakui, saat melakukan advokasi, ia kerapkali menemukan diskriminasi bagi dirinya. “Misalnya saya dibuntuti orang saat kerja di lapangan. Atau ada juga pihak-pihak tertentu yang ingin mengorek kehidupan personal kita, itu juga diskriminatif. Lalu ada ancaman intimidasi. Atau ancaman mau dilaporkan kepada pihak berwenang, atau ancaman fisik kepada kita. Itu memang menjadi tantangan bagi saya,” terang Nukila.
Dalam kerja advokasi, Nukila mengakui bahwa peran support system sangat penting. Hal ini penting, supaya mampu melakukan advokasi tersebut.
Nukila mengaku sangat mengharapkan dukungan dari penegak hukum. “Karena isu-isu yang kita tangani berhubungan dengan kriminal, dengan sindikat, jadi diperlukan dukungan pemerintah dan penegak hukum,” jelas Nukila.
Agar kerja advokasi ini efektif, kolaborasi merupakan hal yang penting. “Sejauh ini saya rasa kolaborasi itu kurang, masih sendirian melakukan apa pun. Padahal kalau dilakukan bersama-sama, maka kerja-kerja advokasi ini lebih terarah lagi,” kata Nukila.
Lalu apa harapannya? “Saya ingin melakukan perubahan, melalukan transformasi terutama untuk kesetaraan gender. Beberapa daerah advokasi saya, seperti di Air Bangis, Sumatera Barat; Rempang di Kepulauan Riau; Pangkalan Susu, Sumatera Utara dan Desa Sumber Jaya di Jambi. Nah, para perempuan-perempuan ini dahulu punya ketakutan berbicara dan tidak bisa mengartikulasikan tuntutan mereka. Jadi menurut saya penting sekali, freedom expression, berani speak up. Saya ingin agar perempuan itu berani bicara, juga berani melakukan sesuatu. Saya hanya fasilitasi, tapi merekalah adalah agent of change. Para perempuan ini, harus tahu program yang terbaik untuk mereka. Misalnya, ingin membangun UMKM, ingin memperkuat ekonomi secara mandiri, juga ingin anak-anak mereka terdidik dan punya masa depan lebih baik,” ujar Nukila.
Berbagai pengalaman yang ditemui Nukila saat melakukan advokasi, membuatnya yakin bahwa transformasi menjadi kunci dari perubahan. Karena kita tahu penegakan hukum kita lemah, jadi kita perkuat resiliensi masyarakat, itulah harapan saya,” pungkas Nukila.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 206.
Simak wawancara Kabari bersama Nukila Evanty dibawah ini.