Pernah melanglang ke berbagai negara, tidak membuat Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage, lupa akan identitasnya sebagai orang Indonesia.
Dalam perbincangan dengan KABARI, Udaya menyebut sejak dulu memiliki ketertarikan akan sejarah. “Terutama berkaitan dengan identitas saya. Saya orang Indonesia, tapi sejak lahir, kita merasakan ada diskriminasi. Hal-hal seperti itu menjadi tantangan bagi saya, bagaimana membongkar sejarah. Bahwa sebagai orang Tionghoa, Indonesia adalah tanah air beta,” ucapnya.
Lelaki kelahiran Tangerang, Banten, 26 Maret 1953 berusaha keluar dari stigma bahwa orang Tionghoa adalah pebisnis. Karena itu, di awal tahun 1980-an, Udaya mendirikan kursus King’s English Course hingga kemudian dipercaya menjadi mitra British Council melalui Indonesia-Britain Education Centre (IBEC). “Sebetulnya saya punya kesempatan menjadi businessman seperti kebanyakan orang-orang Tionghoa. Tapi saya pilih bidang pendidikan agar tidak kena stigma kalau Tionghoa cuma pantas jadi pengusaha,” terangnya. “Saya menjadi antitesis, saya keluar dari bisnis. Saya katakan bahwa tidak semua orang Tionghoa itu adalah pebisnis. Karena semua sektor terbuka,” sambungnya.
Karena banyak berkecimpung di dunia pendidikan, Udaya banyak melihat hal-hal paradoks terjadi, khususnya terkait pembangunan bangsa. “Dalam penemuan saya, sejarah seringkali diekspos berdasarkan kepentingan tertentu. Banyak sekali distorsi-distorsi sejarah, terutama tentang keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam pembangunan bangsa. Hal-hal itu yang menantang saya, sehingga saya banyak melakukan riset independen,” terangnya.
Pergulatan batin tentang identitas diri sekaligus menggali peran orang Tionghoa dalam proses pembangunan bangsa Indonesia yang menstimuli Udaya membangun Museum Benteng Heritage di Tangerang, Banten. “Saya memang pecinta sejarah. Saya punya ketertarikan tersendiri tentang sejarah, juga menyangkut tentang sejarah kehidupan saya. Jadi pembangunan museum adalah bagian dari pendidikan sejarah, termasuk sejarah bangsa. Untuk menentukan ke mana masa depan kita. Apalagi dengan keterlahiran saya sebagai orang Tionghoa. Tangerang juga punya sejarah terkait orang Tionghoa,” papar Udaya.
Bagi Udaya, dengan membangun museum, berarti membuka tabir sejarah. “Dengan membangun museum menjadi cara bagi saya untuk mencari jati diri. Juga sarana merilis emosi tentang bagaimana menjadi orang Indonesia, dimana saya punya hak, dan kewajiban yang sama. Karena sebenarnya kalau kita percaya Tuhan, kita semua memiliki kedudukan yang sama,” ujar Udaya.
Berdasarkan penelusuran Udaya, orang Tionghoa sudah hadir di Tangerang sejak tahun 1407. “Jadi orang China Benteng itu sudah ada sejak saat itu,” tukasnya.
Pada 2007, Udaya membeli bangunan tua berarsitektur Tionghoa yang kemudian direstorasi menjadi Museum Benteng Heritage. Lokasinya di di Jalan Cilame, Pasar Lama, Tangerang, Banten. “Waktu itu, saya mimpi suatu tempat, saya bilang ke istri, saya mau beli rumah itu. Dan kini, tempat itu saya bangun museum,” kata Udaya.
Bangunan itu diperkirakan berusia 200 tahun, dan kini menampung koleksi berupa kebaya encim dan gambang kromong yang 80 persen instrumennya diserap dari Tiongkok. Juga ada rumah kayu, perkakas rumah, kecap Benteng khas Tangerang, dan artefak lain khas Tionghoa Peranakan. Salah satunya adalah Surat menyurat O.K.T (Oey Kim Tiang), penyadur cerita silat dari Tangerang.
Proses restorasi memakan waktu sekitar dua tahun, karena Udaya bolak-balik melakukan riset ke negeri orang untuk mencari literatur atau dokumen terkait kondisi asli bangunan. Juga melakukan beberapa kajian budaya originalitas dari bangunan terjaga seoptimal mungkin. Akhirnya pada 11 November 2011, Museum Benteng Heritage diresmikan.
Karena membangun museum ini, Udaya banyak melakukan riset kebangsaan. Salah satunya terkait Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dalam ikrarnya menyebut: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia. “Ada 4 orang Tionghoa yang memiliki andil besar dalam peristiwa Sumpah Pemuda dan ikut mempersiapkan konstitusi, BPUPKI. Tak hanya mereka, ada juga Yo Kim Tjan, perekam pertama lagu kebangsaan Indonesia Raya. Jadi partisipasi orang Tionghoa, benar-benar ada dalam proses kebangsaan Indonesia. Jadi pertanyaannya, mengapa orang Tionghoa masih dianggap sebagai warga negara kedua?,” tanya Udaya.
Orang Tiongoa, tak hanya berkontribusi pada kemerdekaan Republik Indonesia, Udaya juga menyebut peran kuliner Tionghoa dalam berbagai jenis makanan yang ada di Indonesia. Sebut saja bakso, bakwan hingga bakpia.
Udaya mengaku banyak tantangan dalam membangun museum. “Ada banyak sekali. Gak gampang. Ketika saya bilang mau bangun museum, banyak orang bilang, saya gila,” katanya tersenyum. Namun, Udaya membuktikan, ia mampu melakukannya. “Ini merupakan legacy. Saya ingatkan anak-anak, masa depan dan nama baik keluarga jauh lebih abadi dibanding punya uang,” ungkapnya.
Mengakhiri pembicaraan dengan KABARI, berikut pesan Udaya untuk pembaca KABARI. Udaya mengaku memiliki 4 prinsip hidup, yang biasa disebut dengan 4K. Pertama, Kemanusiaan. Hargai setiap orang, karena setiap orang setara. Kedua, Kebudayaan. Budaya adalah bagian dari kemanusian. Ketiga, Kebangsaan. Keempat, Konfisius menyebut cintai dan hargai negara Anda tercinta.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 205