KabariNews – Seni tari merupakan warisan budaya nusantara yang wajib dilestarikan. Yoesi seorang ibu rumah tangga memiliki kegemaran menari semenjak kecil. Tak ingin meninggalkan tradisi dan hobinya menari, saat pindah dari tanah kelahirannya di Semarang ke Jakarta Yoesi tetap ingin menari. Di sela kesibukannya mengurus rumah dan keluarga, ia masih menyempatkan diri untuk menularkan bakat tarinya di lingkungannya. Yoesi mengumpulkan dan mengajak para wanita seusianya untuk belajar menari, dari situlah Yoesi mengajarkan dan menularkan tari tradisional khususnya tari Solo.

Pemilik nama lengkap Yoesi Aryani mulai suka menari sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, kemudian berlanjut menekuninya hingga duduk di bangku kuliah. Tak hanya menguasai tarian Jawa, Yoesi juga belajar banyak kebudayaan daerah lainnya seperti karawitan, nyinden dan yang paling nyantol dihatinya adalah menari.

Diakui ibu dua anak ini, kegiatannya menari sempat vacum saat dirinya dan keluarga pindah ke Jakarta, namun menari baginya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan karena itu ia semangat mendirikan komunitas pecinta tarian Jawa yang sekarang dikenal dengan nama Purwakanthi pada empat tahun silam.

”Empat tahun yang lalu bersama delapan teman, ada bu guru Martini, Purwakanthi bukan sanggar tapi komunitas pecinta tari Jawa, jadi idenya yuk kita sama–sama kumpul, kita latihan nari bareng,“ terang Yoesi saat wawancara dengan Kabari di tempat latihan tari di kawasan Jakarta Selatan.

Membawa visi misi kebersamaan, alangkah baiknya melakukan kegiatan positif yang bermanfaat, selain untuk menjaga tradisi, kegiatan tersebut juga bermanfaat untuk kesehatan.

“Kalau ibu-ibu bergaulnya ke mal arisan, kumpul-kumpul di sekolahan sama anak-anak, ini kita kumpul-kumpul yang lain. Kumpul sama-sama nari Jawa, visi misinya cukup itu awalnya seneng kumpul-kumpul untuk latihan nari Jawa bareng. Nah kita sama-sama cinta nari Jawa, lama kelamaan semakin banyak dan akhirnya visi misinya makin berkembang dan lebih berkembang lagi untuk kedepannya supaya yang ada di Jakarta bisa menari tari Jawa klasik Surakarta yang baik dan benar di Purwakanthi,“ cerita Yoesi.

Yoesi memilih tari klasik Surakarta karena alasan sejak remaja sudah kecantol dengan tarian tersebut, “Kalau buat saya pribadi karena itu yang saya bisa, dulu pernah nari daerah lainnya tapi kayaknya tidak sesuai dengan hati yang paling nyantol di hati cuman tari jawa klasik Surakarta. Dan kebetulan teman-teman yang disini juga datang dari berbagai macam dari latar belakang hobi, tapi kalo emang sudah cinta ya senengnya nari jawa klasik Surakarta,” jelas Yoesi

Tari Jawa terang Yoesi ada dua yakni dari daerah Solo dan Jogja, hanya saja gerakannya berbeda.
“Kalau yang Solo itu lebih mengalir gerakannya, jadi mengalir lebih pelan, lebih menginjak bumi. Lebih pelan soalnya lebih seneng yang lebih pelan,“ katanya. Lebih lanjut ia menjelaskan, “Setiap gerakannya beda-beda tapi semua mengakarinya, mendasarinya dari semua yang terjadi di bumi ini. Jadi dari semua gerakan seperti gerakan yang cancer itu seperti ular bergerak di pasir. Ada beberapa gerakan yang memang yang didasari dari yang ada di bumi ini,“ imbuhnya.

Komunitas tari Jawa klasik Solo ini diikuti oleh tujuh puluh lima orang dan untuk pentas biasanya hanya diambil tiga puluh penari. Uniknya, para penari kebanyakan adalah mereka ibu –ibu yang usianya sekitaran lima puluh tahun. “Jadi yang datang bilang gini, ‘dulu saya nari, cuma kelompok tari di Jakarta ngga ada, yang ada di sini, saya dulu nari loh mba’ ayo nari lagi, padahal kebanyakan gitu yang dulu nari akhirnya kepengen nari lagi,“ ungkapnya menirukan kegelisahan ibu-ibu Purwakanthi.

Tidak ada batasan usia di Purwakanthi, siapapun boleh belajar dan menari bersama. Tak kalah dengan yang usianya lebih tua, para anggota Purwakanthi yang masih muda pun tertarik untuk belajar tarian klasik meski sebelumnya mereka biasa menari tari daerah lain, seperti tari Bali.

Tak hanya sekedar melestarikan tradisi, di dalam Purwakanthi pendiri mengajak kebanyakan wanita untuk berlatih menari karena kebutuhan yang harus diperjuangkan. “Kita butuh belajar menari, karena sekian banyak kegiatan di Jakarta ini yang bisa dilakukan sesuai dengan apa yang diinginkannya harus dengan hobinya, kalo hobi menari lakukanlah dengan sepenuh hati dilakukan dengan butuh, saya kepengin orang punya kebutuhan menari Jawa padahal di sini nari banyak banget,“ ungkap Yoesi.

Mengajak orang untuk menari Jawa tentu tidak mudah apalagi untuk kalangan ibu-ibu yang sibuk dengan keluarga dan pekerjaannya. Namun bagi Yoesi hal itu bukanlah kendala yang berarti, buktinya ia tetap melakukan latihan sesuai jadwal yang sudah ditentukan yakni seminggu sekali. Karena bagi Yoesi, kebanyakan mereka yang datang adalah yang memang benar-benar ingin menari. Kata Yoesi justru kendala dirasa saat ada panggilan pentas yang mengharuskan latihan lebih sering, semisal seminggu dua kali untuk latihan tambahan. Cara mensiasatinya yakni latihan dilakukan pada malam hari setelah pulang kerja. Pasalnya bukan hanya ibu-ibu rumah tangga saja yang menjadi penari, para wanita karir pun ikut berlatih menari di Purwakanthi.

Bagi Yoesi tarian di indonesia sangat beragam dari berbagai daerah. Dalam hal ini, berlatih menari merupakan kebutuhan bagi yang sudah memiliki hobi menari, dengan demikian ia perjuangkan tarian jawa klasik Surakarta melalui hobinya untuk dikenalkan masyarakat di Jakarta, tidak hanya sekedar latihan menari saja, terlebih diutamakan bisa menunjukkan bakat mereka melalui ajang pementasan tari di tanah air.

Ia berharap akan bertambah banyak komunitas pecinta tari di Jakarta dan bisa lebih memajukan tarian di Indonesia hingga bisa pentas di panggung dunia.