KabariNews – Memasuki tahun 2017, nilai tukar Rupiah atas Dollar Amerika Serikat masih di angka di atas Rp 13 ribu. Lalu adakah peluang Rupiah kita menguat atas Dollar Amerika? Bagaimana perekonomian Indonesia di tahun ini?

Menurut Rully Nova, Pengamat Pasar Uang dari Bank Woori Saudara Indonesia bahwa indikator perekenomian domestik Indonesia pada tahun 2017 menunjukkan penguatan ke arah perbaikan. Khusus nilai tukar Rupiah atas Dollar dipengaruhi oleh faktor global. Namun, faktor ini hanya sementara. Ke depannya jangka menengah, dan jangka panjang, Rupiah akan mengikuti fundamentalnya. “Fundamental perekonomian domestik sangat dipengaruhi perkembangan global. Pertama, Amerika dalam hal ini  bagaimana pasar  mempersepsikan kenaikan suku bunga. Dengan terpilihnya Presiden Amerika yang baru ini, Donald Trump ini lebih cenderung proteksionisme, melindungi perkenomian Amerika dengan barang-barang Amerika. Dampaknya terhadap mitra dagang, kan sangat merugikan. Kedua, China. Kan China itu tujuan terbesar ekspor Indonesia. Jadi kalau China mengalami perlambatan perekonomian, permintaan komoditas ekonomi Indonesia juga menurun,” terang Rully yang ditemui KabariNews di  The Energy Building, Sudirman, Jakarta Pusat.

Lanjut Rully, nilai tukar Rupiah tidak menunjukkan fundamental perekenomian yang sebenarnya. “Lebih karena sentimen dan persepsi pasar aja. Ada kemungkinan kenaikan suku bunga di Amerika, kurs Rupiah melemah tapi setelah itu kembali stabil. Masih ada peluang untuk penguatan Rupiah,” tegas Rully optimis.

Rully mengatakan meski Rupiah kita melemah, namun indikator ekonomi kita membaik. “Indikator ekonomi itu kita bisa liat dari inflasi, tren kecenderungannya kan turun. Desember 2016 di angka 3,02. Nilai tukar Rupiah itu kan ada periode-periode sangat fluktuatif tapi kalau ditarik trennya, trennya menguat. Lalu yang berikutnya, indeks manufaktur kita masih sangat lemah. Karena proporsi dari sektor riil dan sektor jasa itu semakin berimbang. Seharusnya dengan kondisi Indonesia saat ini, sektor riil yang harus lebih besar porsinya dibanding sektor jasa. Nah saat ini sudah mulai menurun porsi sektor riil, jadi indeks manufakturnya harus menjadi perhatian juga,” jelas Rully yang saat ini menjabat sebagai Kepala Departemen Perencanaan Manajemen Korporat Divisi Perencanaan Korporat, Bank Woori Saudara Indonesia 1906.

Dijelaskan Rully, Bank Indonesia (BI) telah melakukan tugasnya dengan baik untuk membuat nilai tukar Rupiah atas Dollar menguat. “Ya saat ini BI sudah melaksanakan langkah-langkah yang cukup maju. Pertama  perjanjian bilateral dengan China, Jepang, Korea. Itu kan  untuk meng-cover kebutuhan devisa, jika suatu waktu-waktu, ada penarikan Dollar besar-besaran. Itu bisa digunakan bilateral currency swap agreement. Itu bisa meng-cover fluktuasi atau penurunan cadangan devisa. Kedua, tentu pendalaman pasar keuangan. Ini agak sulit karena supremasi hukum. Karena untuk meng-create produk-produk turunan, itu perlu kepastian hukum. Diperlukan edukasi  masyarakat terhadap produk-produk investasi, itu sangat  sulit dengan tingkat pendidikan orang Indonesia saat ini. Perlu usaha yang keras dari pemerintah, BI untuk mengedukasi produk-produk investasi. Di Indonesia ini variasi produk keuangan itu belum beragam. Jadi terkonsentrasi pada produk tertentu.  Seharusnya tidak terkonsentrasi pada produk tertentu,” ucap pria yang menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi, Universitas Padjajaran, Bandung.

Di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nilai tukar Rupiah atas Dollar bisa menyentuh angka Rp 9 ribu. Rully mengatakan hal ini sulit dicapai saat ini. “Waktu di zaman SBY komoditas harganya masih sangat tinggi. Jadi sempat ekonomi pemerintah SBY itu terpuruk tapi perlahan menguat, karena ditopang harga komoditas yang baik, ekspor juga membaik. Nah itu yang membuat Rupiah lebih menguat. Tapi periode saat ini kita tidak berharap banyak harga komoditas akan lebih tinggi, dibanding periode sebelumnya. Memang ada tren peningkatan harga komonitas tapi tidak  bisa diharapkan terlalu banyak. Dan memang dengan kondisi  seperti ini akan sulit untuk Rupiah menguat dibawah Rp 12 ribu, Rp 10 ribu, atau Rp 9 ribu. Itu sangat sulit karena kondisi global dan harga komoditas yang belum membaik. Kita bisa mentransformasi struktur perekonomian,  misalnya saat ini komoditas menjadi penopang utama dari ekspor. Itu sudah harus diubah mind set-nya karena struktur ekspornya jangan komoditas tapi diolah dulu, ada nilai tambah yang lebih tinggi baru dijual. Itu lebih stabil dan itu berpengaruh terhadap kinerja ekspor yang lebih baik, itu otomatis Rupiah akan membaik,” ungkap bapak satu orang anak ini.

Indonesia memiliki keunggulan yang banyak, hal ini seharusnya menjadi modal untuk meningkatkan perekonomian. “Dengan bonus demografi itu seharusnya bisa dimanfaatkan, dengan kelas menengah yang mulai meningkat, usia produktif yang banyak, itu bisa dimanfaatkan untuk mendorong perekonomian lebih besar lagi. Karena itu kita perlu mentransformasi struktur ekonomi, jangan terlalu berharap harga komoditas akan tinggi lagi, kita harus beralih dari ekspor komoditas menjadi ekspor barang-barang yang punya nilai tambah. Bangsa kita berbudaya, Korea dengan K pop bisa menjual. Nah, Indonesia punya industri kreatif yang banyak, itu bisa djual ekonomi kreatif, “ jelas pria kelahiran Jakarta 3 Maret 1979. (Kabari1009/foto&video:1006)