KabariNews – Situasi politik di Indonesia makin memanas. Laporan investigasi oleh Allan Nairn yang diterbitkan The Intercept menyoroti kaitan antara kaum konserfatif dan radikal islamis dengan oknum-oknum dan jenderal-jenderal aktif maupun purnawirawan di tubuh tentara dan menduga mereka berencana menggulingkan presiden Jokowi. Minggu lalu, Jumat tanggal 5, saya dan rekan saya Axel Kronholm sedang meliput unjuk rasa terkini yang dipimpin oleh kelompok islamis garis keras FPI (Front Pembela Islam) yang menuntut agar gubernur Jakarta beragama Kristen Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dipenjara karena penodaan agama. Singkat kata, dia pun akhirnya dipenjara pada tanggal 9 Mei.

Jumat 5 Mei, hanya dua hari setelah hari Kebebasan Pers Dunia, saya dan rekan saya Axel Kronholm ditahan oleh petugas imigrasi di Jakarta.

Mereka mengikuti kami dari sejak unjuk rasa tersebut ke sebuah restoran dimana mereka mendekati kami dan membawa kami ke kantor mereka untuk ditanya satu per satu. Setelah mencecar Axel selama 20 menit, saya juga dibawa ke ruangan itu. Kami dipaksa menghapus semua foto dari unjuk rasa itu, khususnya yang menunjukkan bendera, dan kami dipaksa berjanji tidak mempublikasikan apapun tentang unjuk rasa itu, dengan alasan dunia bisa “salah paham” tentang Indonesia.

Kemudian kami digiring kembali ke apartemen kami dan paspor kami difoto. Petugas berkali-kali mengingatkan setengah mengancam bahwa kami dilarang oleh hukum untuk meliput unjuk rasa dan mengancam akan memasukkan kami ke daftar hitam kalau kami mempublikasikan apapun tentang unjuk rasa itu. Tidak diduga, kami dilepaskan. Menurut Human Rights Watch di Indonesia dan sebuah sumber dari kedutaan Swedia, lebih seringnya kalau seorang wartawan tertangkap meliput dengan visa wisatawan maka mereka akan ditangkap dan langsung dideportasi. Mungkin, kami dilepaskan berkat tindakan yang sigap dari peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono, juga berkat komunitas wartawan di Jakarta, mungkin juga berkat forum Kebebasan Pers Dunia yang diselenggarakan di Jakarta.

Perlu ditambahkan bahwa kami berusaha keras selama lebih dari sebulan untuk mendapatkan visa wartawan yang disyaratkan. Kami berusaha bekerja sama mengikuti proses birokratis. Kami dikirim dari kementerian ke kementerian dan diminta untuk membuka informasi mengenai narasumber, daftar orang yang diwawancara, dan agar kami meminta “surat pengantar” dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). BNPT akhirnya merespons kami dan mengatakan bahwa yang seharusnya meminta surat ini bukan kami melainkan kedutaan langsung, dengan alasan ini adalah urusan internal. Kami diberitahu bahwa aplikasi visa kami telah ditolak.