KabariNews – Di tengah perkembangan industri e-commerce nasional yang sangat positif beberapa tahun terakhir, wacana pengenaan pajak yang masih belum jelas bentuknya berpotensi menghambat pertumbuhan, karena menimbulkan multi tafsir dari para pelaku usaha.

Menurut idEA, selama ini para perusahaan e-commerce yang berbadan hukum telah mengikuti aturan pajak yang berlaku dengan membayar pajak sesuai kewajiban masing-masing. Namun perlu dicatat, e-commerce pada umumnya dapat dibagi menjadi beberapa model bisnis, yang tentunya memerlukan perlakuan pajak yang berbeda. Misalnya pada model ritel online, yang mana semua stok barang diatur oleh pemilik situs, maka pengenaan PPN dan penyetorannya dilakukan oleh pemilik situs tersebut.

Sementara model bisnis lain seperti marketplace, misalnya Tokopedia, hanya menyediakan tempat usaha untuk para pedagang yang berjualan di situs mereka. Dalam hal ini, seharusnya pemungutan dan  penyetoran PPN dilakukan oleh para pedagang tersebut. Sama halnya dengan yang terjadi di pusat perbelanjaan seperti mall atau Tanah Abang. Tentunya hanya pedagang dengan omzet tertentu yang memiliki PKP dan berkewajiban memungut PPN. Lain lagi dengan iklan baris online seperti OLX misalnya, yang sama sekali tidak memfasilitasi transaksi antara penjual dan pembeli. Seperti halnya iklan baris di koran, media yang bersangkutan tentunya tidak mungkin mengenakan PPN terhadap transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli.

idEA menilai,  kedua model bisnis di atas tetap mengenakan pajak untuk layanan atau produk yang mereka jual kepada penggunanya. Untuk iklan baris online yang pendapatan utamanya bersumber dari fitur premium (seperti sundul, posisi iklan teratas, dan lainnya), tentu mengenakan PPN untuk setiap fitur yang dijual. Maka itu perlu pemahaman yang mendalam mengenai model bisnis masing-masing untuk dapat memberlakukan aturan yang objektif dan konstruktif bagi industri.

Di luar soal PPN, sempat juga timbul wacana perihal pengenaan pajak cuma-cuma bagi model bisnis seperti iklan baris online yang sebagian besar jasanya dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna secara gratis. Model bisnis yang sering dikenal dengan konsep freemium ini cukup jamak di ranah digital, yang pada umumnya menguntungkan bagi konsumen. Tentunya layanan gratis ini tidak bisa disamakan dengan pemberian sampel produk gratis yang menurut aturan memang dikenakan pajak cuma-cuma.

“Pada intinya kami sebagai pelaku usaha telah dan terus beritikad baik untuk melaksanakan kewajiban pajak sesuai aturan yang berlaku. Yang kami inginkan adalah kejelasan mengenai aturan perpajakan tersebut. Menurut perspektif kami, aturan pajak yang berlaku di ranah offline secara otomatis berlaku juga di online. Untuk itu tidak perlu dibuat aturan tambahan yang akan justu akan membingungkan industri,” papar Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum idEA.

“Apabila dibuat pajak berlapis, para pelaku usaha online yang berbadan hukum di Negara ini akan menjadi kurang kompetitif dibandingkan pemain di luar negeri. Ingat bahwa internet ini bersifat borderless,” tambahnya. (1009)