Selalu menyenangkan saat berbincang dengan Ayuningtyas Widari Ramdhaniar.Wanita cantik yang biasa dipanggil Tyas ini, memiliki segudang pengalaman hidup. Secara eksklusif kepada KABARI, ia berkisah.

Siang itu, KABARI berjumpa dengan Ayuningtyas Widari Ramdhaniar di Hotel Aston Kemayoran,Jakarta Pusat. Tyas tampil chic dengan stelan blazer warna biru. “Halo, apa kabar,” jadi ucapan pembukapertemuan kami siang itu.

Menyebut nama Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, banyak identitas yang melekat di dirinya. Namun, Tyas mengaku lebih senang disebut Public Facilitator. “Karena saya memfasilitasi apa yang menjadi kepentingan orang banyak, gak hanya kalangan perempuan saja,” kata wanita yang menyelesaikan studi S2 Kesejahteraan Sosial & Otonomi Daerah di Universitas Indonesia.

Dalam berbagai aktivitas yang dilakukan, wanita yang kini menjabat sebagai Managing Director Diesel One Solidarity selalu fokus memperjuangkan kepentingan kaum marjinal. Apa alasannya?

“Saya memang passion untuk memperjuangkan kesejahteraan kaum marjinal, khususnya dari sisi kesehatannya, khususnya kesehatan yang terdiskriminasi karena memang sedikit orang yang melakukan hal itu. Namun memang, perempuan dan anakadalah orang -orang yang sangat mudah terdiskriminasi,” jelas Founder & Executive Director ReThinkbyAWR.

Tak hanya memperhatikan kaum marjinal, Tyas juga fokus pada masalah perundungan atau bullying yang makin marak terjadi. Ternyata Tyas memiliki pengalaman perundungan kala ia sekolah.

“Saat itu saya kelas 4 SD. Saya belum ngerti urusan cinta, suka-sukaan, juga tidak paham apa itu ganteng atau cantik. Sehingga karena saya cuek mungkin membuat orang kesal dan saya dilempar penggaris papan tulis yang panjang, dilemparin kapur tulis, buku, terus digodain, dan hal tersebut membuatsaya hanya bisa lari karena merasa takut. Saya gak pernahmembalas kalau diapa-apain sama orang,” ceritanya dengan bibir bergetar.

Perundungan masih terus Tyas alami hingga Sekolah Menengah Pertama. Namun, saat SMP, dia berani membalas dengan menampar orang yang mem-bully-nya selama 1 tahun yang dikomporin oleh teman-teman SD nya yang Tyas diamkan itu. Ternyata seiring waktu berjalan, usia Tyas pun semakin bertambah. Namun, perundungan yang dialaminya ternyata memiliki jejaknya saat dewasa.

“Saya sempat takut laki –laki. Saya memiliki persepsi yang berbeda tentang laki-laki. Saya selalu memilih laki-laki yang salah. Efeknya memang panjang dan itu sangat berdampak. Karena ya efek yang saya alami itu berpengaruhi dalam kehidupan kita. Saya mendapatkan perlakuan bully itu di usia dini. Apa yang dialami oleh anak-anak dibawah 13 tahun itu pasti terserap masuk ke alam bawah sadar. Karena itu saya selalu bersuara, anak-anak yang melakukan kejahatan, yang salah itu orang tuanya. Orang tua bukan berarti hanya orang yang memiliki hubungan darah, tapi orang yang lebih tua dan yang lebih dewasa, bagaimana dia memperlakukan anak-anak itu sama saja mengajarkan sesuatu kan,“ungkap Tyas yang pernah menjadi Staff Ahli Anggota DPR RI Komisi I, IV, VI, & VII Periode 2014- 2019.

Ternyata perundungan yang dialami Tyas di masa SD hingga SMP memiliki jejak yang tak mudah dihapus. Tyas butuh waktu puluhan tahun hingga bisa pulih.

“Tahun 2020 saya baru sadar bahwa ternyata masih banyak hal yang membekas dalam alam bawah sadar. Saya memiliki psikolog yang sudah menjadi teman dekat, dan ia menyarankan saya saat itu untuk menemui ayah saya, maka saya temui beliau dan minta maaf atas perlakukan saya yang mungkin sering berbeda dari yang ayah saya harapkan dan sayapun memaafkan atas perlakuan ayah saya terhadap saya karena membuat saya kekurangan kasih sayang seorang ayah sejak masa kecil. Karena saya bisa dibilang kurang kasih saying ayah, orangtua bercerai saat masihSD. Ditambah mengalami perlakukan perundungan dengan temen laki-laki. Akhirnya saya melihat laki-laki dari persepsi yang berbeda sehingga law of attraction apa yang menjadi fokus kita akan datang kan, saya tidak menyukai laki-laki seperti itu dan saya takut terhadap laki-laki akhirnya malah justru menemukan pria yang salah dalam hidup setelah dewasa,” ujar perempuan yang sudah memulai kariernya diusia 19 tahun.

Setelah meminta maaf dengan sang ayah, hidupnya menjadilebih ringan dan semakin kuat dalam melangkah.

 “Alhamdulillah lebih plong. Akhirnya saya sadar sebagai seorang ibu dan juga seorang perempuan, masih banyak perempuan di luar sana yang mengalami seperti saya. Karena itu saya selalu membuka diri untuk menerima curhatan orang lain dan tidak pernah malu untuk berbagi kisah karena semoga saja kisah yang sudah saya mampu lalui bisabermanfaat bagi orang lain, karena saya tahu bagaimana rasanya sendirian. Saya tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama, salah langkah karena efeknya panjang,” imbuh Tyas yang menjadi Wakil Sekretaris Jenderal ILUNI Universitas Indonesia selama 2 periode ini.

Dengan pengalamannya mengalami perundungan, Tyas mengingatkan bahwa perundungan merupakan perilaku buruk. Sayangnya perilaku perundungan masih sering terjadi di sekitar kita.

 “Kebanyakan orang-orang yang berbicara tentang bullying hanya sekedar pendapat sebagai publik figur atau karena dia tokoh masyarakat namun sebenarnya mereka belum pernah mengalami bullying. Mereka gak pernah ada di posisi itu. Mereka hanya bicara di ranah media sosial saja dan “rasa” yang disampaikannya tidak sampai kemasyarakat. Umumnya pelaku bully itu anak-anak kecil, harusnya mereka dirangkul, diajak ngobrol supaya mereka tahu dan sadar bahwa mereka melakukan hal yang salah. Sayangnya kita ini terlalu cepat menilai seseorang atau suatu kejadian. Jadi pelaku bullying pun, jangan kita diskriminasikan. Kita harus dirangkul dan edukasi. Hal ini merupakan PR kita semua, bukan hanya PR pemerintah tapi juga masyarakat, karena bagaimanapun anak bagaikan kertasputih tergantung yang kita orang dewasa sebagai orang tua mau menulis dan menggambar apa dengan warna apa atau menulis apa“ ungkap Wakil ketua bidang HKTI DKI Jakarta.

Pengalaman pahit di masa lalu, ternyata membentuk Tyas dewasa, tangguh dan cerdas. Perceraian orangtua saat kelas 6 SD, menuntutnya dewasa.

 “Saya bersyukur pernah mengalami hal ini. Saya dipaksa untuk belajar masuk ke zona yang tidak nyaman. Saya berpikir, Tuhan ngasih (masalah) ini, untuk menjadikan saya “seseorang”. Di usia saya saat itu, teman-temen saya pada sibuk main, tapi saya harus berkecimpung berbicara dengan diri saya sendiri untuk menjadi lebih dewasa dari usia saya. Hingga detik ini, saya justru bersyukur karena kejadian yang saya alami waktu kecil. Saya percaya bahwa segala sesuatu bahkan sehelai daun jatuh dari pohonnya pun atas sepengetahuan Allah. Jadi ketika dikasih masalah yang berat, gak mungkin Allah gak ngasih jalan keluarnya. Masalah apapun itu, saya selalu berani hadapin. Saya bukan tipe orang yang ada masalah terus lari. Saya sangat bersyukur bisa memiliki karir seperti sekarang ini, justru karena orang tua saya dan kehidupan pahit dan keras yang saya alami” ucap Tyas yang lahir di Kuningan, Jawa Barat, 30 April 1987 ini.

Lalu apa ajakan Tyas agar generasi muda bisa melawan perundungan?.“Jangan sepelekan perlakuan atau perkataan buruk orang lain terhadap kita. Kalau kita diperlakukan seperti itu, dan kita merasa tidak nyaman, bicaralah dengan orang yang bisa kita percaya. Paling penting adalah harus speak up. Karena ketika diam, Anda sendiri gak tau bahwa sedang di bully. Itu akan mengakar dan membudaya karena efeknya panjang sekali,” tuturwanita yang memiliki motto Woman with Voices.

Harapan Tyas ke depan, semoga stigma dan diskriminasi di segala aspek kehidupan bisa kita hapuskan.

 “Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, pangan yang cukup, akses yang baik terhadap kesehatan dan ekonomi. Seseorang melakukan kejahatan itu, kita gak bisa menyalahkan orang itu begitu saja. Kenapa? Karena mungkin sebenarnya orang itu juga gak mau melakukan kejahatan tapi karena dia tidak memiliki akses terhadap ekonomi untuk cari uang halal, dia terpaksa mencuri. Siapa sih yang mau masuk penjara, siapa sih yang ingin memiliki track record yang tidak baik di mata publik, gak ada. Tapi banyak sekali karena tidak adanya keterjangkauan terhadap akses ekonomi, sosial dan segala macamnya itu sangat berpengaruh dalam hidupnya maka mereka terpaksa harus melakukan kejahatan itu,” pungkas ibu dari 3 orang anak ini.

Artikel ini dapat dilihat di Majalah Digital Kabari Edisi 186

Simak video wawancara Kabari dengan Ayuningtyas Widari Ramdhaniar disini