Tenun Tanimbar, salah satu warisan budaya penting dari Kepulauan Tanimbar, terus diperjuangkan keberlangsungannya melalui upaya Hiyashinta Klise, pendiri Lamerenan.
Berawal dari keprihatinan akan hilangnya tradisi menenun, ia mendirikan Lamerenan pada tahun 2014 sebagai wadah untuk melestarikan seni tenun khas daerah ini yang kaya makna dan fungsi adat.
Hiyashinta, yang berdarah Tanimbar dari pihak ayah dan Jawa dari pihak ibu, merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan warisan ini.
“Ada kekhawatiran soal regenerasi. Jika tidak diteruskan, kualitas tenun Tanimbar bisa menurun, bahkan pengetahuan tentang teknik memintal dan pewarnaan alami bisa hilang. Padahal, tenun ini sangat penting dalam adat Tanimbar,” ujar Hiyashinta.
Langkah pertama Hiyashinta adalah menghubungi kakak sepupunya yang sebelumnya sempat berhenti menenun karena kurangnya permintaan dan alasan ekonomi.
Ia pun memutuskan untuk membantu meningkatkan permintaan dengan memasarkan tenun melalui media sosial, pameran di Jakarta, dan menciptakan brand Lamerenan.
Selain berfokus pada pemasaran, Lamerenan juga melakukan riset untuk menghidupkan kembali motif-motif tua khas Tanimbar serta meningkatkan kualitas tenun dengan bahan pewarna yang lebih ramah lingkungan.
“Kami mencoba memadukan pewarna alami dan sintetis sambil mencari motif lama yang menjadi ciri khas tenun Tanimbar, seperti motif Lelemuku (anggrek), Tunis (anak panah), dan Hati Jagung,” jelas Hiyashinta.
Makna Filosofis Tenun Tanimbar
Tenun Tanimbar memiliki peran penting dalam adat istiadat, terutama dalam sistem kekerabatan Duan Lolat. Tenun ini digunakan sebagai simbol kekerabatan dalam acara pernikahan atau kematian.
Setiap motif memiliki makna tersendiri, seperti melambangkan kecantikan, keberanian, kemakmuran, hingga keharmonisan dengan alam.
Lamerenan bekerja sama dengan para penenun di Desa Kandar, Pulau Selaru, Tanimbar. Sekitar 10 hingga 20 penenun dilibatkan untuk mengerjakan pesanan Lamerenan, dengan koordinasi dari salah satu keluarga setempat.
“Kolaborasi ini tidak hanya untuk produksi, tetapi juga untuk menjaga keberlangsungan tradisi menenun di kalangan masyarakat lokal,” kata Hiyashinta.
Tantangan dan Harapan
Salah satu tantangan terbesar adalah memotivasi generasi muda untuk melestarikan tenun Tanimbar.
Banyaknya distraksi dan hilangnya pengetahuan lisan tentang teknik pewarnaan dan motif menjadi kendala yang signifikan.
Hiyashinta berharap generasi muda tidak hanya merasa bangga terhadap tenun Tanimbar, tetapi juga mau mempelajari dan meneruskannya, meski hanya sebagai profesi sampingan.
“Tenun ini adalah bagian dari identitas kita. Jika tidak diteruskan, tradisi ini bisa hilang, dan kita akan kehilangan salah satu barang adat yang penting,” tegas Hiyashinta.
Lamerenan pun bercita-cita mendirikan galeri budaya di Tanimbar untuk mempelajari dan memotivasi masyarakat dalam melestarikan budaya tenun.
“Kami berharap ke depan ada dukungan untuk membangun tempat yang bisa menjadi pusat edukasi budaya Tanimbar dan tenunnya, agar tradisi ini tetap hidup dan dihargai,” tutup Hiyashinta.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 207