Menjadi seorang pastry chef di negeri orang bukanlah perjalanan yang mudah. Namun, Rostriana Permatasari berhasil menembus batas dan menjadi anggota Dutch Pastry Team di Belanda. Ia adalah anggota pertama yang berasal dari luar Belanda dan Belgia, sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang pendatang. Berikut adalah kisah inspiratifnya dalam dunia pastry.
Bisa diceritakan awal mula ketertarikan Anda di dunia pastry?
Sejak kecil, saya sudah akrab dengan dunia pastry karena almarhumah Mama memiliki usaha kue kecil-kecilan di garasi rumah. Orang tua saya bercerai saat saya masih SD, dan untuk membantu Mama memenuhi kebutuhan sehari-hari serta biaya sekolah, saya sering ikut membantu di dapur. Mama juga memiliki buku besar berisi guntingan resep dari majalah Femina, dan sejak kecil saya gemar mencoba berbagai resep dari kumpulan itu.
Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi saat memulai karier di Belanda?
Tantangan pertama tentu saja bahasa. Namun, Alhamdulillah saya cukup cepat dalam mempelajari bahasa baru. Pendidikan awal saya sebenarnya di bidang perhotelan, tetapi sertifikat perhotelan yang saya miliki saat itu (tahun 2008) tidak cukup untuk bekerja di bakery. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang masih terbatas, saya memberanikan diri untuk mengambil pendidikan di Pastry School di ROC Amsterdam yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa utama.
Bagaimana proses Anda hingga bisa bergabung dengan Dutch Pastry Team?
Saya bisa bergabung dengan Dutch Pastry Team setelah mengikuti dan memenangkan perlombaan Dutch Pastry Award.
Apa pencapaian terbesar yang pernah Anda raih dalam dunia pastry?
Menjadi anggota Dutch Pastry Team adalah pencapaian terbesar saya. Saya adalah anggota pertama yang bukan berasal dari Belanda atau Belgia. Sebagai seorang pendatang, pencapaian ini sangat berarti dan unik bagi saya.
Bagaimana pengalaman bekerja dan berkompetisi dengan para pastry chef terbaik di Belanda?
Awalnya cukup keras dan sulit, terutama karena hambatan bahasa dan fakta bahwa saya seorang perempuan di dapur pastry, yang saat itu masih didominasi laki-laki. Saya merasa harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan kemampuan saya. Selain itu, saya merasa kalah start karena baru mulai mengambil kelas pastry secara resmi pada usia 24 tahun.
Adakah kreasi pastry yang menjadi ciri khas Anda?
Karena latar belakang saya dari Indonesia, saya sering mengombinasikan rasa-rasa khas Indonesia dengan teknik pastry Prancis. Belakangan ini, saya juga mendalami dunia vegan pastry.
Dari mana Anda mendapatkan inspirasi dalam menciptakan menu pastry?
Inspirasi bisa datang dari mana saja. Kadang dari media sosial, kenangan masa kecil, atau bahkan saat sedang bersepeda melewati taman dan mencium aroma atau melihat warna-warna yang menarik di sekitar saya.
Apakah Anda memadukan unsur Indonesia dalam kreasi pastry Anda?
Tentu saja. Saya pikir itu adalah keunggulan terbesar saya. Karena saya lahir dan besar di Indonesia, lalu berkembang di Belanda, saya ingin membawa sentuhan Indonesia ke dalam setiap kreasi saya.
Apa filosofi yang selalu Anda pegang dalam berkarya di dunia pastry?
Bagi saya, pada akhirnya yang paling penting adalah rasa. Penampilan yang cantik itu penting, tetapi rasa tetap nomor satu. Selain itu, saya selalu berusaha untuk tetap ingin tahu dan terus belajar.
Apakah ada rencana untuk kembali ke Indonesia dan mengembangkan dunia pastry di tanah air?
Dulu saya dan suami memang berencana untuk kembali ke Indonesia. Namun, takdir berkata lain. Pada tahun 2014, saya melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian meninggal saat kelahiran. Anak saya dimakamkan di Belanda, dan hal itu membuat kami merasa berat untuk meninggalkan negara ini. Tetapi siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, jika kami sudah siap, kami akan kembali.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 212