KabariNews – Benedict Anderson, seorang sarjana Universitas Cornell yang menjadi Indonesianis paling berpengaruh di bidang nasionalisme dan studi Asia Tenggara meninggal di usia 79 tahun pada Minggu dini hari, (13/12).

Seperti dilansir dari laman nytimes.com, Anderson meninggal dalam tidurnya saat berkunjung ke kota Malang, Jawa Timur. Penyebab dari kematiannya sampai saat ini belum diketahui. “Ini untuk memberitahukan bahwa Ben Anderson telah meninggal di Jawa, tanah dan rakyat yang paling dia cintai,” kata sejarawan Thai Charnvit Kasetsiri, teman dekat Anderson dalam sebuah email.

Anderson terkenal karena bukunya Imagined communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, yang dikagumi tetapi diperdebatkan perihal nasionalisme  yang sebagian besar merupakan konsep modern yang berakar pada bahasa dan keaksaraan. Penerbit, Verso Book mengatakan buku ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari dua lusin bahasa. “Banyak pembaca Imagined communities tidak tahu bahwa pengetahuan tentang bahasa-bahasa Asia Tenggara memberinya wawasan ke dalam budaya dan sejarah politik Indonesia, Thailand, dan Filipina,” kata Prof. Craig J. Reynolds dari Australian National University.

Pengaruh Anderson tidak terbatas pada bidang teori, karena ia terlibat dengan isu-isu dengan analisis yang teliti dan kecerdasan yang mengilhami murid-muridnya. “Sepanjang hidupnya, ia menginspirasi para pelajar untuk menyikat sejarah melawan arus dengan setiap kreativitas intelektual mereka dan keberanian untuk melihat sejarah dan politik dengan cara yang sama sekali baru dan lebih mendalam,” kata Steve Heder.

Lahir dari orang tua Anglo-Irlandia pada tahun 1936 di Kunming, Cina, Benedict Richard O’Gorman Anderson dibesarkan di California dan dididik di Cambridge dan Cornell, di mana ia belajar politik Asia Tenggara.

Spesialisasi tentang Indonesia ternyata membawa kutukan sekaligus berkah. Di satu sisi, analisis forensik berdarah pada kudeta 1965 di Indonesia yang ditulisnya bersama  Ruth McVey menyebabkan dia dilarang datang ke Indonesia sampai 1999. “Cornell Paper,”  kemudian dikenal karena  mempertanyakan kebijaksanaan konvensional bahwa kudeta adalah konsekuensi dari pemberontakan komunis yang gagal dan  menunjukkan bukan direncanakan terlebih dahulu oleh  tentara.

Sementara tetap mempertahankan minat aktifnya tentang Indonesia, Anderson mengubah energinya di tempat lain. Kali ini Thailand yang menjadi spesialisasi lainnya pada pertengahan 1970-an. Pekerjaan yang paling berpengaruh Anderson di Thailand adalah pada tahun 1977 dengan esainya yang berjudul Withdrawal Symptoms yang menganalisis kekuatan sosial di balik kontrarevolusi di Thailand di 1976, hanya tiga tahun setelah pemberontakan yang dipimpin mahasiswa menggulingkan kediktatoran militer.

Kevin Hewison, seorang profesor politik dan studi internasional di Australia Murdoch University mengatakan analisisnya dari kekacauan politik Thailand tetap tidak tertandingi dan sama pentingnya sampai hari ini seperti ketika diterbitkan.

Anderson kemudian mengalihkan perhatiannya ke Filipina, belajar bahasa Spanyol agar ia bisa belajar dokumen era colonial. Buku terakhirnya terbit di tahun 2005 berjudul Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination. Dalam sebuah posting blog, Verso Book berkata Anderson  bekerja baru-baru ini dan  menyelesaikan memoarnya, A Life Beyond Boundaries yang dijadwalkan dan diterbitkan tahun depan. (1009)