Julie Sianturi, founder Saree Ulos, menceritakan perjalanan inspiratifnya dalam menciptakan inovasi berkelanjutan di dunia fashion. Berawal dari kunjungannya ke kampung penenun di Danau Toba pada April 2023, Julie terinspirasi untuk membantu meningkatkan kesejahteraan para penenun ulos.

Meskipun kain ulos memiliki nilai jual yang tinggi, kehidupan para penenunnya masih jauh dari sejahtera. Dari situlah, Julie bertekad untuk menciptakan solusi yang tidak hanya membantu para penenun, tetapi juga membawa kain ulos ke level yang lebih tinggi.

Awal Mula: Dari Keprihatinan Menjadi Tindakan Nyata

Julie mengungkapkan kunjungannya ke desa penenun di Danau Toba membuka matanya terhadap realitas kehidupan para penenun. “Mereka itu prasejahtera, sementara kain ulos yang mereka hasilkan harganya sangat mahal,” ujarnya. Dari keprihatinan ini, Julie mulai berpikir keras tentang cara membantu para penenun agar tetap produktif dan memiliki penghasilan yang lebih baik.

Setelah kembali ke Jakarta, Julie dihubungi oleh stasiun televisi Trans7 untuk mengisi acara yang membahas tentang ulos. “Dari situ, saya semakin yakin bahwa ini adalah jalan yang harus saya tempuh. Tuhan memberikan jalan setelah saya berniat membantu para penenun,” kata Julie.

Pada tahun 2018, Julie memulai usahanya dengan menjadi reseller kain ulos. Baru pada tahun 2023, ia bertemu langsung dengan para penenun ulos di Tarutung, Tapanuli Utara. Dari situ, Julie mulai membangun sistem reseller dan dropshipper untuk memperluas pasar ulos. Namun, ide untuk membuat ulos dari limbah sawit baru muncul pada tahun 2024.

“Ketika saya mengikuti pelatihan Growpreneur, saya mendapat banyak wawasan tentang tren sustainable fashion. Saya mulai berpikir out of the box, bagaimana caranya agar usaha saya memiliki ciri khas dan bisa bersaing dengan brand besar,” jelas Julie.

Limbah Sawit: Dari Masalah Menjadi Solusi

Berangkat dari latar belakangnya sebagai orang Jambi yang akrab dengan perkebunan kelapa sawit, Julie mulai memikirkan pemanfaatan limbah sawit. “Saya kepikiran untuk membuat serat alam dari sawit. Saat ikut pelatihan, saya mencoba memasukkan ide ini, dan ternyata mendapat respons positif,” ujarnya.

Pada Februari 2024, Julie mulai mencari pakar yang bisa membantu mewujudkan ide tersebut. Ia akhirnya menemukan tim dari universitas yang memiliki keahlian dalam mengolah limbah sawit menjadi serat. “Mereka lebih memahami kandungan limbah sawit dibanding saya yang tidak memiliki latar belakang di bidang itu,” kata Julie.

Proses menciptakan ulos dari limbah sawit tidaklah mudah. Serat yang dihasilkan dari limbah sawit memiliki tekstur yang unik dan mudah putus, sehingga membutuhkan perlakuan khusus saat ditenun. “Tidak semua penenun bisa membuatnya. Butuh perjuangan dan treatment khusus untuk para penenun agar bisa menghasilkan kain yang sempurna,” ungkap Julie.

Meskipun masih dalam tahap pengembangan, ulos dari limbah sawit ini sudah menarik minat stakeholder, termasuk eksportir Indonesia yang biasa mengekspor home decor ke Eropa dan Amerika. “Mereka tertarik dengan ulos yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional,” kata Julie.

Fokus pada Pasar Internasional

Julie menjelaskan fokus pasar dari ulos limbah sawit ini adalah ke luar negeri. “Kelebihan ulos limbah sawit adalah teksturnya yang khas. Ini adalah produk yang tidak bisa ditiru oleh negara lain,” ujarnya. Meskipun bahan bakunya murah, namun ketika sudah menjadi kain dengan tekstur yang unik, harganya bisa sangat mahal.

Saat ini, Julie terus melakukan riset dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas benang dari limbah sawit. “Harapannya, kami bisa menjual benang ke luar negeri dan membangun supply chain yang berkelanjutan,” kata Julie.

Julie berharap inovasi ini tidak hanya membawa manfaat bagi lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan para penenun ulos. “Saya ingin menjadi contoh bagaimana fashion bisa berkelanjutan dan memiliki dampak sosial yang positif,” ujarnya.

Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 210