Di balik gemerlap layar kelir dan denting gamelan yang mengiringi kisah-kisah pewayangan, hadir sosok Rizki Rahma Nur Wahyuni, perempuan muda asal Yogyakarta yang menjadi seorang dalang.

Tak hanya menjadi perwakilan generasi muda dalam dunia pedalangan, Rizki juga menjadi simbol semangat pelestarian budaya tradisiona  terutama wayang kulit gaya klasik Yogyakarta di tengah arus modernisasi.

Lulusan Pendidikan Kimia dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini menceritakan bahwa ketertarikannya pada dunia pedalangan sudah tumbuh sejak kecil.

“Keluarga saya adalah keluarga seniman. Bapak saya seorang dalang, kakek saya seniman ketoprak. Sejak saya kecil, bapak sudah aktif pentas. Bahkan sejak saya lahir, bapak sudah sering membawa kami sekeluarga ikut ke lokasi pentas,” ungkap Rizki.

Momen berkesan yang membekas dalam ingatannya adalah saat duduk di bangku kelas 3 SD. Ia dan kakaknya diajak ke acara pementasan sang ayah. Dari situ, benih ketertarikan mulai tumbuh. “Melihat bapak pentas dan ditonton banyak orang, rasanya seru. Dari situ saya mulai meminta diajari mendalang,” kenangnya.

Langkah awal Rizki dimulai ketika ia mengikuti lomba dalang anak di Bantul. Sejak saat itu, ia semakin aktif mendampingi sang ayah dalam berbagai pementasan, terutama untuk tampil di pra acara dengan tujuan menarik penonton. Saat itu, keberadaan dalang perempuan masih sangat langka, menjadikan Rizki sebagai pionir di lingkungannya.

Beruntung, dengan latar belakang keluarganya, ia memiliki akses belajar yang lebih mudah. “Karena bapak dalang, saya tidak perlu jauh-jauh mencari guru. Waktunya bisa diatur sendiri, fasilitas juga tersedia. Jadi proses belajar mendalang jadi lebih mudah,” kata Rizki.

Meskipun sang ayah tidak secara khusus mendorong Rizki menjadi dalang, namun sang ayah tetap mendukung penuh langkah anaknya dalam menjaga warisan budaya. “Bapak selalu bilang, yang penting sebagai generasi muda saya mau ikut melestarikan kesenian tradisional, khususnya wayang kulit. Kalau fasilitasnya ada, kenapa tidak dimanfaatkan untuk sekaligus menjaga budaya?” tutur Rizki.

Dalam proses kreatifnya, Rizki tetap konsisten dengan gaya pewayangan wayang kulit gagrag Ngayogyakarta  yang diajarkan langsung oleh sang ayah. Gaya ini pula yang diadopsi menjadi identitasnya sebagai dalang.

Namun, perjalanan Rizki sebagai dalang perempuan tidak selalu mudah. Ia harus menghadapi tantangan fisik dan persepsi masyarakat.

“Dari segi suara dan tenaga, tentu menjadi tantangan. Masyarakat lebih familiar dengan dalang laki-laki, sementara saya harus menyuarakan tokoh-tokoh laki-laki dalam pertunjukan. Selain itu, memainkan wayang sambil menabuh keprak juga butuh tenaga ekstra,” jelasnya.

Meski demikian, Rizki tetap optimis dan berharap perannya bisa membuka jalan bagi generasi perempuan berikutnya untuk menekuni dunia pedalangan.

 “Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa menjadi dalang. Semoga akan lahir lebih banyak dalang perempuan setelah saya, yang turut melestarikan kesenian ini,” harapnya.

Di tengah era digital, Rizki melihat adanya peluang untuk memperluas jangkauan wayang kulit melalui media sosial.

“Memang generasi muda sekarang lebih tertarik pada budaya luar, tapi justru lewat media digital kita bisa mengenalkan budaya kita sendiri. Tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkannya,” ujar Rizki menutup perbincangan.

Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 214