Ika Permatasari-Olsen bukanlah Bartolomeus Dias, Suku Bajo atau pun Kevin Costner dalam film Water World. Dia hanya wanita Indonesia yang ada di zaman modern dimana mungkin sedikit saja yang memilih untuk melangsungkan hidup secara nomaden di atas sebuah Yacth. 

Dari twitter hingga Instagram, Ika tak jarang membagikan momen cantiknya saat berada di laut.  Rasanya kurang lengkap jika hanya melihat tanpa berbicara langsung dengan wanita asal Surabaya ini. 

KABARI pun berbincang dengan Ika beberapa waktu lalu.  Tidak bertatap muka langsung  dan hanya melalui surel yang berisi deretan pertanyaan untuk menggali informasi soal dirinya sebagai sailor woman. Berikut petikannya.

Bisa diceritakan awalnya memilih untuk hidup di atas kapal Yatch?

Awalnya saya hanya ikutan sailing meskipun hari pertama sudah mau menyerah. Hari pertama sailing kami pergi ke Mallorca dari Barcelona, perjalanan memakan waktu sekitar 30 jam. 6 jam pertama masih cerah, menjelang sore hari cuaca semakin buruk sampai kami tiba di Mallorca.

Selama perjalanan saya kena seasick dan tidak bisa recover sampai kami tiba di Mallorca. Seketika itu saya minta balik ke Barcelona namun suami bilang tunggu 1-2 hari karena cuaca semakin membaik. Hari berikutnya cuaca sudah sangat baik, matahari cerah, angin pun tidak begitu kuat. Mulai saat itu saya mulai bisa menikmati sailing. Titik baliknya adalah ketika saya mulai bisa WFA, saya pikir toh semua bisa dikerjakan online, dan kalaupun ada kerjaan yang mengharuskan saya pergi, saya bisa terbang dengan mudah.

Ika Permatasari-Olsen

Bagaimana dengan pekerjaan Anda sementara sendiri tinggal diatas kapal dan nomaden sifatnya?

Tahun 2019 perusahaan saya mengadakan trial test untuk WFA dengan konsekuensi mendapatkan gaji hanya 80%. Saya pun ikut trial test untuk WFA. Tahun 2020, pada waktu pandemi, kami diharuskan WFH. Sampai saat ini saya bekerja dari mana saja. Selain bekerja, kami memiliki beberapa bisnis yang sudah auto pilot. Meski begitu kami masih terbang untuk keperluan bisnis maupun pekerjaan.

Bagaimana pandangan Anda terhadap laut dalam hidup yang dijalani sekarang?

Sebenarnya saya tidak begitu memikirkan apa dan bagaimana diawal saya hidup di kapal. Saya hanya ingin menjalani hidup saya, live my life to the fullest. Semakin kesini saya semakin sadar bahwa sebenarnya laut dan alam bisa menghidupi kami.

Di kapal kami, tersedia solar panel dan wind generator yang terus-terusan bisa mengisi batere kapal, ada pula diesel genset yang siap support jika kami membutuhkan tenaga lebih. Kemudian ada watermaker yang bisa produksi air tawar siap minum dari air laut (reverse osmosis sistem).

Kami sudah satu bulan lebih tidak masuk marina / pelabuhan meskipun cuaca buruk silih berganti, karena selalu ada teluk yang terlindungi dari cuaca buruk. Kami juga sering mancing untuk kebutuhan protein. Saat ini kami sedang explore kemungkinan untuk bertanam di kapal yang sekiranya cukup untuk konsumsi sehari-hari.

Laut adalah alam yang tak menentu dan badai pasti terjadi. Bagaimana mempersiapkan diri menghadapi ini?

Ada perkataan yang sampai sekarang saya pegang, ada garis tipis antara berani dan bertindak bodoh. Laut mengajarkan kami untuk selalu humble dan tidak jumawa dengan kapal maupun equipment yang kami miliki. Ada saatnya memang tidak bisa berlayar, lebih baik berhenti, dan berlindung.

Saat-saat seperti itu kami jadikan renungan bahwa kami bersyukur masih bisa berlindung meskipun terkadang kami harus standby sampai badai berlalu. Pada saat sailing dan bertemu badai, ya mau tidak mau harus dihadapi. Bukan sombong, tapi saya percaya dengan diri saya, partner hidup saya, dan kapal saya. Itulah yang mengatasi rasa takut saya. Dan bukankah calm ocean will not make a good sailor?

Ika Permatasari-Olsen

Adakah pengalaman yang berkesan terkait badai yang pernah dihadapi selama ini? Atau hal-hal aneh yang pernah terjadi selama di atas kapal?

Sejauh ini badai yang paling berkesan ketika kami menuju Norwegia dari Spanyol. Komponen di kapal kami rusak di tengah Bay of Biscay, yang memang terkenal cuacanya tidak pernah baik. Pompa hidrolik setir kami rusak mengakibatkan kami harus setir kapar secara langsung ke rudder (kemudi).

Dengan ombak, arus, dan angin yang kuat, saya tidak bisa mengemudikan. Saya hampir terlempar ketika ada ombak menghantam bagian kemudi. Partner saya kemudian mengambil alih dan saya melakukan navigasi juga bersiap jika dibutuhkan mayday. Perjalanan saat itu masih 150NM ke Perancis (total jarak 350 NM).

Pada saat kami kehilangan kendali pada kapal, kami terkena ombak yang mengakibatkan kapal terombang-ambing ke segala arah. Semua barang di dalam kapal jatuh dan pecah. Area dapur terkena dampak yang lumayan, kamipun tidak bisa makan dan minum selama 2 hari. Kondisi kami yang terjaga 48 jam nonstop, tidak bisa makan minum, tenaga terkuras membuat kami mulai berhalusinasi. Untungnya saat itu kami disadarkan dengan panggilan di VHF oleh coastguard Perancis. Besar kemungkinan mereka tidak expect kapal berlayar mengingat tingginya frekuensi badai.

Untuk konsumsi selama melaut seperti apa?

Karena kami berlayar di pesisir, tidak ada masalah untuk perihal makanan. Kami selalu stok makanan selama 10 hari termasuk sayuran, snack, dan lauk-pauk.Kami pernah hampir kehabisan bekal sewaktu mengejar waktu ke Amsterdam  dari Brest, Perancis. Setelah kami kena badai, banyak kerusakan di kapal kami.

Kami memperbaiki komponen yang penting dulu yaitu pompa hidrolik untuk setir kapal. Setelah itu kami mencari shipyard yang bisa memperbaiki kapal kami. Namun seluruh shipyard di Perancis tutup karena akan ada lockdown pandemi. Pada saat itu kami segera meninggalkan Perancis. Sewaktu kami meninggalkan Perancis, kami masih belum tahu antara berhenti di tempat lain atau lanjut sampai ke Norwegia.

DI tengah-tengah English Channel, tengah malam, coastguard melakukan pengumuman ke all ships bahwa Perancis tutup border (hari pertama Eropa lockdown covid) dan foreign yacht tidak diperbolehkan masuk. Semenjak meninggalkan Brest, kami tidak mengisi diesel mengingat kami harus cepat-cepat keluar. Satu tangki diesel habis ketika kami di luar Dieppe, Perancis. Stok makanan juga menipis karena kami tidak sempat belanja, kami juga tidak mengira bahwa Perancis akan ada total lockdown.

Ika Permatasari-Olsen

Lalu kami disarankan pergi ke Inggris, kami pun set course ke Dover namun coastguard Inggris tidak mengijinkan karena saya tidak punya visa Inggris. Hari berikutnya ada pengumuman lagi dari coastguard hanya kapal yang declare emergency boleh masuk. Kamipun declare Pan Pan Pan, namun coastguard tidak melihat kami sedang ada emergency.

Akhirnya saya declare Mayday dengan keadaan darurat diesel kami tidak cukup untuk lanjut ke home port kami dan makanan kami menipis. Kami diijinkan masuk di Dunkirk tapi hanya untuk isi diesel, tidak bisa ke supermarket. Kami berpikir bahwa kami bisa melewati badai tanpa makan dan minum, perjalanan ke Amsterdam hanya dua hari pasti bisa dilakukan dan kami bisa makan seadanya. Waktu itu kami tidak bisa mancing karena termasuk area yang dilarang untuk mancing juga kami fokus mengejar masuk Belanda sebelum tutup.

Sejauh ini apa yang diajarkan oleh laut terhadap Anda?

Bahwa laut bisa memberi penghidupan, pelajaran, dan merusak jika kita tidak menghargai laut. Bahwa kamipun harus menghargai alam sekitar kita dan segala isinya. Be wise and no need to challenge the nature.

Sudah berlayar ke wilayah mana saja selama ini?

Sepanjang 2018 sampai saat ini, kami sudah berlayar dari Yunani sampai bagian utara Norwegia (North Cape, 70°N) dengan total lebih dari 11.000NM.

Rencana ke depan atau yang ingin Anda lakukan dalam mengarungi lautan?

Kami masih ingin berlayar ke area utara (80°N) lalu melihat Greenland. Setelah itu kami ingin membantu mengembangkan dan melestarikan kembali budaya sailing di Indonesia (saat ini saya aktif di organisasi Ayo Berlayar Indonesia). Agar lagu nenek moyang kami seorang pelaut tidak berhenti di lagu.

Artikel ini dapat dilihat juga di Majalah Digital Kabari Edisi 185

Simak video pilihan Kabari dibawah ini