Siapa sangka, hobi nonton drama Mandarin waktu kecil bisa membawa Shinta Yu terbang jauh hingga ke Beijing dan meraih prestasi internasional? Penyanyi asal Indonesia ini membuktikan bahwa mimpi masa kecil, kalau dijalani dengan tekun, bisa membawa kita ke tempat-tempat luar biasa.
Sejak kecil, Shinta Yu sudah jatuh cinta pada dunia musik Mandarin. Berawal dari kegemarannya menonton serial klasik seperti Putri Huanzhu, Kabut Cinta, hingga Legend of the Condor Heroes, ketertarikannya terhadap bahasa dan musik Mandarin tumbuh perlahan, walau saat itu ia belum mengerti makna lirik-liriknya.
Bertahun-tahun kemudian, kecintaan itu membawanya jauh ke jantung budaya Tiongkok, ke Beijing, tempat ia memperdalam bahasa Mandarin dan menempuh studi perfilman di Beijing University (Beida), salah satu universitas paling prestisius di Tiongkok.
Tidak ada orang Indonesia lain di jurusannya hanya Shinta. “Dosen mengajar pakai bahasa Mandarin yang cukup formal, bahkan tugas dan skripsi harus ditulis penuh dalam huruf Mandarin. Kalau tidak benar-benar mandiri, tidak mungkin bisa bertahan,” kenangnya.
Namun Shinta bertahan, bahkan berkembang pesat. Ia tidak hanya menaklukkan tantangan akademis, tapi juga mengukir prestasi membanggakan di dunia musik.
Ia menjuarai lomba menyanyi di Beida sebanyak tiga kali, memenangkan penghargaan di Beijing Uni Cup , dan menjadi Juara 2 di ajang Beijing CM Cup . Talenta dan tekadnya membuatnya menonjol di tengah kerasnya persaingan.
Yang menarik, awalnya Shinta tidak berencana menjadi penyanyi. Ia pergi ke Beijing dengan niat belajar piano di Conservatory of China Music, berbekal pengalaman kursus piano sejak SD di Surabaya.
Tapi realitas di konservatori itu membuatnya berpikir ulang. “Skill saya terasa jauh tertinggal, bahkan dibandingkan dengan anak-anak berusia delapan tahun di sana,” cerita Shinta.
Namun di tengah tantangan itu, Shinta menemukan keindahan baru. Bersama teman-teman asramanya yang mempelajari musik tradisional Tiongkok, ia belajar memainkan beragam alat musik seperti dizi (seruling bambu), erhu (biola dua dawai), guzheng (kecapi tradisional), zhongruan, dan pipa. Dari situ, kecintaannya pada musik tradisional Cina tumbuh semakin kuat.
Bagi Shinta, musik Mandarin lebih dari sekadar suara, itu adalah jembatan budaya. “Menyanyi dan bermain alat musik Mandarin adalah hobi yang selalu saya bawa ke mana pun. Saat punya waktu luang, saya pasti kembali ke musik,” ujarnya.
Ia pun mengidolakan penyanyi kenamaan Zhoushen, yang ia kagumi atas kemampuan teknik vokalnya yang luar biasa.
Kini, Shinta ingin lebih banyak memperkenalkan keindahan musik dan budaya Tiongkok kepada masyarakat Indonesia. Ia percaya bahwa selain suara yang indah, pelafalan bahasa Mandarin yang tepat juga kunci penting dalam membawakan lagu-lagu Mandarin dengan penuh rasa.
“Banyak penyanyi Indonesia yang suaranya bagus, tapi pelafalan Mandarin itu penting supaya maknanya sampai,” katanya.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 213