Veny Lie, Owner Ven’s Club Music School Kelapa Gading menceritakan kepada Kabari, telah belajar piano sejak usia 3,5 tahun. Saat awal belajar piano, tentu atas dorongan orangtua. Namun, seiring berjalannya waktu, Veny mengaku menikmati belajar piano. “Saya sejak umur 3,5 tahun sudah belajar piano sampai SMA tidak pernah putus, satu bulan pun tidak pernah vakum,“ ungkap Veny.

Setelah belajar beberapa tahun, saat SD, Veny mulai mengikuti kompetisi dan selalu juara. Bahkan saat SMP, Veny mulai mengajar piano. “Karena saya berasal dari kota kecil, Pematang Siantar di Sumatera Utara, kalau kita menang lomba itu otomatis disenengin sama orang sekampung. Karena itu, saya mulai terima murid, mereka adalah tetangga-tetangga satu kota,” kisah Veny.

Karena sangat menikmati belajar dan mengajar piano, pasca tamat SMA, Veny memutuskan studi musik dan pindah Jakarta. Veny belajar musik di Yamaha Conservatory, Jakarta.

Setelah di Jakarta, selain studi, Veny membuka kursus piano. Saat itulah, Veny memiliki kesempatan untuk mengajar piano kepada anak berkebutuhan khusus. “Tahun 2003, kebetulan dapat satu murid, adik dari siswa saya. ‘Orang tuanya bilang ke saya, Ven tolong ajarin anak saya, kebetulan dia terdiagnosa autisme’. Saat itu, saya tidak mengerti apa itu autisme. Saya pikir ngajar piano, ya sudah datang saja. Selama setengah jam, setelah ketemu anak yang mau saya ajari piano ini, saya kewalahan. Kenapa? Karena anak ini tidak bisa diam, bahkan manjat-manjat sana-sini. Saya pikir, loh kok saya kayak baby sitter ya. Nah, pas orangtuanya datang, saya ngomong, ‘ini anak gak bisa belajar karena lari sana-sini dan manjat-manjat’. Lalu orangtuanya merespon, ‘autisme memang begitu Ven, justru dokter bilang harus ada terapi musik supaya dentingan suara piano itu mempengaruhi ke frekuensi otak’,” cerita Veny.

Karena saat itu, informasi masih terbatas, Veny mulai mencari buku tentang autisme dan mulai memahaminya. Anak autis yang Veny ajari pun mulai mengalami perkembangan. “Dalam tiga bulan awal, anak (autis) ini sudah bisa duduk diam, 5 sampai 10 menit, dan sudah mulai fokus dan lakukan eye contact. Orangtua anak tersebut juga mengatakan bahwa diagnosa dokter, anaknya yang autis mengalami kemajuan. Dari sinilah, informasi ke sebar, jadi banyak yang datang ke saya, terutama yang diagnosa autisme,” ungkap Veny.

Dalam menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus, Veny mengaku tidak mudah. “Terus terang anak berkebutuhan khusus itu, beraneka ragam karakter dan emosinya. Semua terapis pasti mengalami kesulitan. Karena tidak gampang menyampaikan sesuatu, belum tentu mereka bisa menangkap, itu hal yang sangat wajar untuk anak berkebutuhan khusus. Emosi tidak stabil, tidak bisa bicara, hingga gampang tantrum. Sebagai pengajar, di saat kita mau mengajar, tiba-tiba langsung tanpa sebab anak tersebut ngamuk dan langsung jambak kita, atau gigit diri sendiri, atau teriak kencang sekali karena mereka tidak bisa kontrol emosi. Di saat itu mungkin perkenalan awal, semua terapis atau pun guru belum bisa tahu karakter si anak. Nanti setelah pertemuan beberapa kali, kita akan tahu sendiri, kalau dia sudah mau marah, kakinya mulai digerakin dulu. Dari situ kita sudah mulai stand by, jangan sampai membuat dia emosinya langsung naik, jadi kita berusaha bikin dia cooling down,” tukas Veny.

Setiap anak kebutuhan khusus memiliki kemampuan menguasai piano yang berbeda-beda. “Misalnya anak yang gampang konsentrasi, satu bulan itu sudah kelihatan hasilnya tapi kalau ada anak yang bicara saja gak bisa, membaca pun gak bisa bahkan tidak sekolah sama sekali, itu biasanya butuh waktu hingga tiga bulan. Bagi saya pribadi, selalu target ke diri sendiri, saat ngajar pada pertemuan pertama, itu merupakan adapatasi, itu tugas guru. Selanjutnya pertemuan kedua, kita harus mempelajari si anak itu apa yang dia mau, apa yang bikin dia senang. Untuk pertemuan ketiga, biasanya saya selalu berusaha dia mulai dengar suara piano tanpa nangis, tanpa tutup telinga, karena kebanyakan dari mereka sangat sensitif dengan suara. Kemudian pertemuan keempat, dia mulai memberikan tangannya buat saya pegang, karena tidak semua mau disentuh. Lalu kita bisa masukin lagu pelan-pelan. Nah, setelah 10 kali pertemuan, biasanya sudah kelihatan hasil dia sanggup memainkan sebuah lagu tanpa dipegang oleh saya. Jadi dia akan main sendiri dan orang tuanya akan melihat hasil sendiri. Saya tidak mau orang tua membuang-buang uang. Jadi saya biasa targetkan 12 kali pertemuan. Dalam 1 bulan itu 4 kali pertemuan. Dalam 3 bulan kalau tidak ada hasil sama sekali, saya persilahkan off jika orang tua mau berhenti boleh pindah ke jenis terapi lain. Tetapi kalau dalam 12 kali pertemuan itu ada hasil walaupun cuma sedikit, misalnya yang awalnya tidak mau disentuh (tangan) sama sekali kemudian dia mulai memberikan jari, berarti itu sudah ada pendekatan yang bagus, itu saya sarankan boleh lanjutkan,” cerita Veny.

Bagi anak berkebutuhan khusus, dalam satu sesi pertemuan, disarankan cukup 30 menit dan dalam seminggu satu kali saja. “Kecuali memang anaknya senang, mau belajar piano, dalam seminggu bisa 2-3 pertemuan,” terang Veny.

Selain untuk anak-anak berkebutuhan khusus, Veny juga membuka kelas reguler. “Untuk kelas reguler, biasanya saya arahkan mereka untuk kuliah musik. Ada juga siswa-siswa saya yang memiliki kemampuan bagus, saya angkat sebagai asisten untuk mengajarkan anak- anak yang kelas pemula, atau bagi yang punya passion dan kesabaran bagus, mereka bantu saya mengajar anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Veny.

Bagi Veny, anak-anak berkebutuhan khusus merupakan anak Istimewa. Karena itu, untuk mengapresiasi mereka, Veny mampu membawa anak-anak ini tampil di konser nasional maupun internasional.

“Saya mengajarkan anak-anak berkebutuhan khusus, dengan melihat perkembangan mereka, saya memberanikan diri mengajak mereka untuk konser yang saya buat. Dari situ saya melihat ternyata mereka bisa diatur di atas panggung dengan memberi hormat, lalu ada tepukan tangan mereka tidak ter-distrack. Mereka tahu bahwa di atas panggung, tidak boleh gerak kemana-mana. Dari situ saya mulai termotivasi, untuk ikut sertakan anak-anak ini di konser nasioal. Awalnya memang ditolak, karena mereka (penyelenggara) takut mengganggu peserta lainnya. Ada juga pihak penyelenggara acara takut senar piano putus. Saya berusaha yakinkan penyelenggara, bahwa saya berani jamin anak-anak ini tidak mengacaukan acara. Tetapi tolong ijinkan saya diatas panggung bersama mereka, akhirnya saya membawa beberapa peserta ke atas panggung. Jadi mereka sudah bisa mengikuti konser nasional. Belum lama ini, mereka mengikuti konser international di Malaysia. Saya membawa 11 orang anak untuk tampil,” kata Veny bangga.

Veny juga bersyukur anak-anak didiknya, secara khusus yang berkebutuhan khusus bisa mengikuti ujian skala internasional. “Bagi murid berkebutuhan khusus, semua bisa mengikuti ujian internasional. Biasanya kita latih, paling lambat 6 bulan sebelum kita ikutsertakan untuk ujian internasional. Dan, mereka mendapatkan sertifikat tanpa ada tertulis special needs student, jadi mereka dianggap seperti murid normal lainnya,” ujar Veny.

Lebih dari 2 dekade menjadi pengajar piano bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Veny berharap agar anak-anak berkebutuhan khusus bisa menghidupi diri sendiri melalui kemampuan mereka bermain piano. “Saya berharap mereka bisa perform, di mall atau pun di hotel. Mereka diberikan uang transport, jadi bisa menghidupi diri sendiri,” harap Veny.

Tak hanya itu, kebanggaan Veny yang lain adalah memiliki siswa down syndrome yang sudah mendapatkan rekor MURI beberapa tahun lalu.

Terus bersinar Veny. Tetap menginspirasi.

Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 207.

Simak wawancara Kabari bersama Veny Lie, Owner Ven’s Club Music School Kelapa Gading dibawah ini.